Selasa, 11 Agustus 2009

Pokok - Pokok Perubahan UU PPh baru

Agus Susilo

Undang-undang pajak penghasilan yang baru kini sudah disahkan oleh DPR. Beberapa tarif pajak dipotong sehingga diperkirakan potential lost pajaknya mencapai Rp 40 triliun. Wajib pajak yang tak ber-NPWP akan dikenakan pajak yang lebih tinggi.

Berikut pokok-pokok pikiran dalam UU Pajak Penghasilan (PPh) yang baru disahkan oleh DPR, di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (2/9/2008).

  1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Penurunan tarif PPh dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP).
    1. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.
    2. Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010.
      Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.
    3. Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.
    4. Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.
    5. Bagi WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.
    6. Bagi WP penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan kepatuhan WP.
  2. Bagi WP yang telah mempunyai NPWP dibebaskan dari kewajiban pembayaran fiskal luar negeri sejak 2009, dan pemungutan fiskal luar negeri dihapus pada 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.
  3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang pribadi ditingkatkan sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri Keuangan menjadi undang-undang.
  4. Penerapan tarif pemotongan/pemungut an PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP.a. Bagi WP penerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemotongan 20% lebih tinggi dari tarif normal.b. Bagi WP menerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 yang tidak mempunyai NPWP, dikenai pemotongan 100% lebih tinggi dari tarif normal.c. Bagi WP yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 yang tidak mempunyai NPWP dikenakan pemungutan 100% lebih tinggi dari tarif normal.
  5. Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.
    1. Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial
    2. Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.
    3. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.
  6. Pengecualian dari objek PPh
    1. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.
    2. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.
    3. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak
  7. Surplus Bank Indonesia ditegaskan sebagai objek pajak. Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus BI. Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian surplus BI adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.
  8. Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Sabtu, 08 Agustus 2009

“BERMANIS-MANIS” AGAR BANYAK WARGA MASYARAKAT BER-NPWP

BERMANIS-MANIS” AGAR BANYAK WARGA MASYARAKAT BER-NPWP

NAMA : MUHAMAD SUN’AN

NPM : 0700070020

Untuk mencapai keberhasilan suatu sistem perpajakan taxpayer identification atau identitas Wajib Pajak sangat penting. Dalam konteks ini, muncullah istilah ”tax systems may not be successful unless taxpayers can be identified”. Untuk kepentingan itu, Australia sejak tahun 1989 memberikan insentif yang cukup besar agar wajib pajaknya memiliki Tax File Number (TFN). Ternyata terdapat perbedaan perlakuan perpajakan yang lebih menguntungkan buat mereka yang memiliki TFN, seperti: (i) pengurangan pemotongan PPh yang lebih kecil sebesar 20% atas pembayaran gaji dibanding mereka yang tidak memiliki TFN yang dipotong 48.25%; (ii) mendapatkan tunjangan “ngganggur” dan sakit; (iii) tunjangan karena pension atau cacat; dan (iv) bebas pajak atas bunga tabungan. Fasilitas itu, pada awalnya memang diperuntukkan agar wajib pajak memiliki TFN dengan memberikan manfaat langsung atas kepemilikan TFN untuk mereka.


Negara lain, seperti Sri Langka, kurang lebih melakukan langkah yang sama saat mensosialisasikan pentingnya tax identification bagi penduduknya, yaitu dengan cara menawarkan tax amnesty bagi mereka yang mendaftar dan mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).


Langkah ekstensifikasi NPWP yang diambil pemerintah Indonesia


Ilustrasi di atas, tampaknya relevan untuk kasus Indonesia yang saat ini telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), satu dari trio UU perpajakan yang tengah digodok dan dibahas di Parlemen. Sistem perpajakan Indonesia tidak akan berhasil tanpa mengidentifikasi profil wajib pajak, tanpa pengetahuan terhadap berapa banyak jumlah wajib pajak terdaftar. Untuk itu, NPWP menjadi krusial bagi administrasi perpajakan, tidak saja sebagai tanda bukti pengenal diri atau identitas wajib pajak, tetapi lebih dari itu NPWP juga merupakan sarana pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan (tax compliance) yang dari sana Negara akan memperoleh sumber penerimaan pajak guna dipakai dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.

Memperhatikan data statistik kepemilikan NPWP di kalangan wajib pajak Indonesia, khususnya wajib pajak orang pribadi yang masih relative rendah tingkat kesadarannya (orang pribadi yang efektif memiliki NPWP dengan identitas jelas sebanyak 6 juta orang dengan jumlah pembayar pajak sebanyak 1,1 juta orang dari kurang lebih 200-an juta penduduk Indonesia saat ini), kita dapat memetik pelajaran dari kasus di dua Negara di atas. Tendensi ke arah itu, dapat dilihat dari Undang-undang (UU) pajak yang masih telah rampung dibahas DPR saat ini. UU Pajak penghasilan (PPh), diperkenalkan perlakuan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran gaji yang berbeda antara karyawan yang memiliki NPWP dan yang tidak ber-NPWP. Terhadap mereka yang ber-NPWP dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 atas gaji yang lebih kecil dari karyawan yang tidak memiliki NPWP sehingga perbedaan ini akan secara nyata dinikmati oleh mereka yang dianggap lebih complied (dengan kepemilikan NPWP) dan memacu mereka yang belum ber-NPWP untuk segera mendaftar guna mendapatkan manfaat (benefit) yang telah dinikmati oleh teman-temannya yang telah lebih dahulu ber-NPWP. Insentif lain yang diperkenalkan oleh pemerintah dalam UU KUP baru adalah diberikannya sunset policy dimana dalam Pasal 37A ayat (2) disebutkan bahwa “Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar”.

Kabar gembira lainnya terdapat tambahan kenikmatan (benefits) bagi mereka yang ber-NPWP, yaitu berupa pembebasan pembayaran fiskal luar negeri bagi mereka yang akan bertolak ke luar negeri. Sebagaimana diketahui, berdasarkan regulasi perpajakan yang berlaku, setiap individu yang akan melakukan perjalanan ke luar negeri diwajibkan membayar fiskal luar negeri (FLN) sebesar: (i) Rp 1.000.000 untuk setiap kali perjalanan menggunakan pesawat udara; (ii) Rp 500.000 dengan menggunakan kapal laut; dan (iii) Rp 250.000 apabila perjalanannya melalui darat.

Pembebasan FLN bagi mereka yang ber-NPWP mulai tahun 2009, merupakan bagian dari kampanye positif bagi mereka yang belum ber-NPWP untuk segera ber-NPWP. Ditilik dari substansinya, FLN sebenarnya adalah pajak pendahuluan bagi orang pribadi, yang dapat dikreditkan saat yang bersangkutan melakukan finalisasi perhitungan SPT PPh akhir tahun. Jadi dari segi penerimaan pemerintah, sebenarnya tidak berpengaruh apakah dibebaskan atau tidak, karena jika dibayar saat individu yang bersangkutan bertolak ke luar negeri, toh di akhir tahun, pembayaran FLN itu dapat menjadi kredit pajak. Pengaruh hanya akan terjadi pada cash flow, dimana saat dikenakan FLN atas keberangkatan orang pribadi ke luar negeri, pemerintah telah meng-akselerasi penerimaannya, tanpa menunggu perhitungan PPh wajib pajak orang pribadi yang bersangkutan di akhir tahun. Keuntungan lain dari rencana pembebasan FLN tsb bagi WPOP yang ber-NPWP adalah: (i) ia tidak lagi disibukkan dengan beban administratif penyimpanan tanda bukti pembayaran FLN yang mudah (rentan) tercecer dan hilang; (ii) kemungkinan pelaporan SPT PPh WPOP lebih bayar akibat klaim FLN dapat dihindari sehingga meng-encourage WPOP untuk membiasakan pelaporan SPT secara benar.

Akankah success story di atas berulang untuk Indonesia?

Menurut sumber resmi Pihak Departemen Keuangan, kebijakan diatas terasa dilematis bagi pemerintah mengingat penerimaan FLN terus meningkat dari semula rata-rata Rp 1,3 trilyun di 2005 menjadi Rp 2,5 trilyun di 2007. Harapan kita tentunya kehilangan penerimaan tersebut dapat tergantikan atau bahkan terlampaui oleh potensi penerimaan pajak dari kepemilikan NPWP bagi wajib pajak-wajib pajak baru dan multiflier effect dari pembebasan FLN ini. Pembebasan FLN ini memang memiliki konsekuensi industri pariwisata domestik untuk berbenah menyiapkan diri berkompetisi menarik wisatawan lokal karena di era Asean Tourism Agreement dewasa ini, setiap Negara anggota ASEAN diharapkan dapat menghapus semua hambatan keluar-masuk orang, termasuk FLN. Rencana pembebasan FLN buat mereka yang ber-NPWP juga ditengarai dapat memberikan kesempatan yang lebih terbuka buat warganegara Indonesia yang ingin menyerap dan menuntut ilmu di Negara-negara yang lebih maju dan berpartisipasi lebih aktif dalam pergaulan internasional.

Sekali lagi, agar trade-off kehilangan penerimaan dari sumber FLN dapat tergantikan atau bahkan terlampaui oleh penerimaan pajak dari wajib pajak yang baru memiliki NPWP berikut imbas perekonomian lanjutannya, pemerintah memang harus bekerja lebih keras dan professional lagi. Pengalaman “bermanis-manis” agar banyak warga masyarakat ber-NPWP di Australia dan Sri Langka menghasilkan buah manis keberhasilan reformasi sistem perpajakan di dua Negara itu. Pertanyaannya kemudian untuk kasus kita adalah apakah “bermanis-manis” memberikan pembebasan FLN bagi mereka yang ber-NPWP dapat meningkatkan jumlah WPOP efektif terdaftar dan membayar pajak? Sudahkah dikaji apakah insentif yang ditawarkan tersebut memang cukup “manis” menurut perspektif warga masyarakat? Perlukah “pemanis” tambahan?

Cerita sukses moga-moga akan berulang di Indonesia. Amin.

Reformasi Perpajakan

" Reformasi Perpajakan"

Mustafid Amna


Banyak pandangan miring terhadap lambatnya proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung saat ini. Ada yang menilai kelambatan ini karena pemerintah tidak melakukan terobosan dan lebih memilih jalur pemulihan secara gradual, yang berarti jalan di tempat.

Pemerintah sesungguhnya memilih kombinasi keduanya, Ada yang bertahap, tetapi ada juga yang secara drastis dan signifikan karena infrastrukturnya memungkinkan. Di bidang keuangan negara, misalnya, pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan yang signifikan.

Saat ini pemerintah melakukan reformasi di tiga bidang utama, yakni pajak, bea dan cukai, serta anggaran. Reformasi pajak sebagai prioritas, tujuan utamanya adalah meningkatkan kepatuhan perpajakan.

Di mana-mana, terutama di kota-kota besar, terlihat banyak billboard dan videotron berisi kampanye sadar dan peduli pajak. Hasilnya mulai terlihat. Tambahan jumlah wajib pajak dalam tiga tahun terakhir lebih banyak ketimbang total wajib pajak dalam 10 tahun sebelum reformasi dilakukan.

Perbaikan moral, kedisiplinan, dan kemampuan aparat adalah pekerjaan utama yang paling berat. Kritik yang paling banyak adalah terjadinya negosiasi antara petugas dan wajib pajak. Dalam hal penetapan besarnya restitusi, pengawasan terhadap laporan keuangan wajib pajak, penagihan tunggakan, sampai hal-hal kecil dalam soal pengisian surat pemberitahuan tahunan (SPT) , masih sering terdengar adanya ketidaksesuaian yang berbuntut negosiasi.

Wajib pajak merasa diperlakukan tidak fair dan tidak memiliki saluran memadai untuk membela diri, sementara pemerintah sering dituduh sewenang-wenang dalam mempergunakan kekuasaannya.

Itulah wacana yang akrab masuk ke telinga saya. Apakah itu benar? Saya kurang tahu persis, karena terjadi di lapangan dan sulit dibuktikan.

Yang jelas, pemerintah sering menindak aparat pajak yang menyalahgunakan wewenangnya. Menurut rekan saya di Inspektorat Jenderal, pemberian teguran, tindakan, sampai pemecatan pegawai Departemen Keuangan paling banyak terjadi pada Direktorat Jenderal Pajak.

Untuk itu, di samping perbaikan akhlak, moral, dan tanggung jawab pejabat, secara terus-menerus dilakukan perbaikan sistem, administrasi, dan kebijakan perpajakan yang bisa mengurangi pertemuan antara wajib pajak dan petugas.

Ada dua lompatan yang siginifikan dalam reformasi pajak. Pertama, pembukaan Kantor wajib pajak besar, diikuti uji coba untuk wajib pajak menengah dan kecil dengan sistem perpajakan modern.

Pada Kantor wajib pajak besar tersebut, dibentuk account representative yang bertujuan mengetahui segala tingkah laku, ruang lingkup bisnis, dan segala sesuatu yang berkaitan dangan hak dan kewajiban wajib pajak yang diawasinya (knowing your taxpayer). Dan pelayanan kepada wajib pajak dapat dilakukan secara tuntas pada satu meja. Sudah terdengar banyak hal positif dari para wajib pajak yang dilayani dalam kantor ini.

Lompatan kedua adalah usulan terhadap perubahan atau amendemen undang-undang perpajakan, yakni Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan, Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Intinya adalah mengubah tarif, subyek, dan obyek pajak agar kompetitif.

Kita lihat bahwa pemerintah mengusulkan penurunan tarif PPh badan, menaikkan pendapatan tidak kena pajak dua kali lipat, penyederhanaan tarif PPh dan PPnBM (pajak penjualan atas barang mewah). Dalam soal subyek dari obyek pajak, pemerintah mengusulkan perluasan agar ada rasa keadilan kepada seluruh wajib pajak.

Dalam soal administrasi, dilakukan berbagai macam penyederhanaan perpajakan, misalnya dalam goal mempercepat proses restitusi, memperpendek waktu penyimpanan dokumen, waktu dan metoda pembayaran, dan lain sebagainya.

Sebagai imbangannya. dalam amendemen undang-undang tersebut diusulkan penalti tarif lebih tinggi bagi wajib pajak yang sengaja tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Selain itu, mereka yang sengaja melakukan penghindaran pajak serta mengisi SPT dangan tidak jujur akan dikenai tindakan hukum yang setimpal.

Usulan dan persandingan atas amendemen tersebut juga telah datang dari berbagai pihak secara konkret dan tertulis. Dialog terus dilakukan agar ada kesamaan visi dan arah reformasi perpajakan nasional dalam amendemen tersebut.

Saya melihat pada umumnya para wakil wajib pajak prinsipnya setuju dangan arah reformasi, tetapi perlu dilengkapi dangan berbagai hal. Misalnya dalam soal prosedur pengawasan dan restitusi, perlakuan terhadap berbagai subyek dan obyek pajak, kesetaraan perlakuan terhadap wajib pajak dan petugas pajak, sampai ke masalah hukumnya.

Tidak mengherankan jika banyak yang berharap dari perbaikan fundamental kebijakan perpajakan, karena demikian sentralnya masalah ini. Reformasi ekonomi, keuangan negara, dan penegakan hukum memang bisa dimulai dari pajak.

Namun, yang perlu diingat, reformasi undang-undang perpajakan yang semangatnya adalah untuk meminimalkan pertemuan antara aparat pajak dan wajib pajak tidak akan berhasil tanpa adanya moral dan etika yang baik dari kedua belah pihak.