Selasa, 28 April 2009

Angsuran PPh Pasal 25 Dalam Masa Transisi Tahun Pajak 2009

Singgih Hermawan NPM: 0700070077 Brevet Gel. IV

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah mengalami amandemen sebanyak 4 kali. Namun amandemen tarif Pajak Penghasilan terjadi pada tahun 1994 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan berlaku 1 Januari 1995 dan Tahun 2000 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan berlaku 1 Januari 2001 serta Tahun 2009 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan berlaku 1 Januari 2009.

Dengan demikian sebagai akibat adanyan perubahan tarif Pajak Penghasilan, menyebabkan terjadinya perubahan penghitungan PPh Pasal 25 pada tahun pajak 2009.

Pembahasan

A. Tahun Buku = Tahun Takwim*

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 25 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan bahwa besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian SPT Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.

Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah akhir bulan ketiga tahun pajak berikutnya dan bagi Wajib Pajak badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, maka besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.

Contoh 1 :

Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak orang pribadi pada bulan Februari 2009, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari 2009 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2008, misalnya sebesar Rp1.000.000,00.

Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan bahwa besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:

    • Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
    • Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Mengingat ketentuan dalam Pasal 17 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tarif Pajak Penghasilan mulai tahun pajak 2009 berubah, maka agar angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2009 mendekati jumlah Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak 2009, Pajak Penghasilan yang terutang tahun pajak 2008 sebagai dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan PPh Pasal 25 tahun 2009 dihitung dengan tarif baru.

Demikian pula mengenai PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan PPh Pasal 24 yang diperhitungkan sebagai kredit pajak dihitung secara proporsional, karena pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan yang dilakukan dalam tahun pajak 2008 dihitung dari jumlah perkiraan penghasilan neto, sedangkan untuk tahun pajak 2009 dihitung dari penghasilan bruto dan adanya perubahan tarif pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan.

Oleh karena itu angsuran bulanan PPh Pasal 25 pada tahun pajak 2009 untuk bulan-bulan sejak Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dihitung dengan cara sebagai berikut :

  1. PPh terutang atas PKP menurut SPT Tahun 2008 dihitung menggunakan tarif lama.
  2. Perhitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sesuai dengan tarif lama.
  3. PPh terutang atas PKP menurut SPT Tahun 2008 dihitung dengan menggunakan tarif baru.

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2009 adalah perbandingan PPh Terutang tarif baru (angka 3) dengan tarif lama (angka 1) dikalikan dengan besarnya angsuran menurut tarif lama (angka 2).

Contoh 2 :

Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.

PPh Pasal 25 Tahun 2009

Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.

Contoh 3 :

Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.

PPh Pasal 25 Tahun 2009

Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.

B. Tahun Buku ≠ Tahun Takwim

Bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan berlaku ketentuan serupa sesuai ketentuan Pasal 25 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008 dengan memperhatikan tahun buku Wajib Pajak tersebut.

Contoh 4 :

Pembukuan Wajib Pajak mulai tanggal 1 April dan berakhir pada tanggal 31 Maret. Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 disampaikan oleh Wajib Pajak Badan pada bulan Juli 2009, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan April s.d. Juni 2009 adalah sebesar angsuran pajak bulan Maret 2009, misalnya sebesar Rp1.000.000,00.

Bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sejak Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan berlaku ketentuan serupa sesuai ketentuan Pasal 25 ayat (3) UU Nomor 36 Tahun 2008, dengan memperhatikan tahun buku Wajib Pajak tersebut

    1. Bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 1 Januari 2009 tetapi berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2009, yaitu tahun pajak 2008, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tetap dihitung berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
    2. Bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 1 Juli 2009, yaitu tahun pajak 2009, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Kesimpulan dan Saran

Seharusnya pemerintah dalam hal ini Dirjen Pajak dapat sesegera mungkin menerbitkan petunjuk pelaksanaan terkait dengan Angsuran Bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam Masa Transisi Tahun Pajak 2009 mengingat Wajib Pajak memerlukan adanya kepastian hukum dalam menjalankan kewajiban perpajakannya dan petunjuk pelaksanaan tersebut tentunya akan berlaku surut sejak 1 Januari 2009.

* Untuk Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha real estat dan jasa konstruksi pada tahun pajak 2009 tidak memiliki kewajiban angsuran PPh Pasal 25 karena atas penghasilan dari usaha pokoknya telah dikenakan PPh Final.

MENJADIKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK SEBAGAI RUMAH KEDUA BAGI WAJIB PAJAK “

Oleh : Mohamad Arif Prasaja


hawa panas menyengat,siang itu bapak A yang merupakan seorang kurir dari sebuah perusahaan sedang dalam perjalanan menuju kantor pajak,ada beberapa SPT yang harus ia laporkan,terbayang sudah antrian panjang yang harus dijalaninya,belum lagi wajah-wajah sombong dan arogan petugas yang harus ia hadapi atau bahkan kata-kata pedas yang harus diterimanya dari petugas jika SPT yang dibawanya ternyata salah atau kurang lengkap padahal bukan dia yang membuat SPT tersebut,hanya sebatas mengantarkan…”

Ilustrasi singkat di atas merupakan salah satu gambaran kondisi kantor pajak dimasa lalu, tentunya tidak dapat digeneralisir bahwa semua kantor pajak seperti itu namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut memang terjadi di beberapa kantor pajak ,pertanyaannya sekarang adalah,apakah setelah reformasi perpajakan dilaksanakan,hal-hal tersebut telah berubah dan menjadi lebih baik ??

Antrian panjang merupakan hal yang lazim terjadi di kantor – kantor pelayanan pajak terutama pada tanggal – tanggal akhir batas waktu penyampaian laporan SPT baik masa maupun tahunan.Hal ini menyebabkan Wajib Pajak membutuhkan waktu lama untuk menyampaikan laporan SPT,adakalanya setelah menunggu begitu lama dan kemudian dipanggil ke loket ternyata ada yang salah atau kurang pada laporan SPT-nya sehingga harus kembali lagi.Lamanya waktu mengantri mengakibatkan Wajib Pajak enggan menyampaikan laporan SPT sendiri dan lebih memilih menggunakan kurir atau pos.Masalah lain muncul ketika ternyata laporan SPT yang dibawa oleh kurir ternyata salah dan petugas pajak kesulitan menerangkan letak kesalahan kepada Wajib Pajak karena kurir tidak memahami permasalahan.

Untuk mengatasi permasalahan di atas dapat dilakukan dengan memberikan pengertian kepada Wajib Pajak untuk segera menyampaikan laporan SPT tanpa menunggu batas waktu sehingga tidak terjadi penumpukan di akhir – akhir batas waktu. Selain itu perlu disiapkan petugas pajak dengan kualitas dan kuantitas yang memadai untuk melayani Wajib Pajak,kualitas dalam artian petugas pajak memiliki kemampuan di bidang perpajakan yang mencukupi serta memiliki ketrampilan dan kecepatan dalam menerima laporan SPT dari Wajib Pajak,kuantitas dalam artian jumlah petugas yang melayani Wajib Pajak mencukupi. Petugas pajak yang bertugas di loket pelayanan biasanya mempunyai tugas-tugas yang lain sehingga ketika petugas pajak tersebut ada tugas lain yang harus diselesaikan maka loket pelayanan ditinggalkan,oleh sebab itu perlu disiapkan petugas pelayanan dengan jumlah yang memadai agar loket pelayanan tidak pernah kosong.

Petugas pelayanan juga harus didukung dengan peralatan yang memadai,komputer yang mencukupi serta sistem yang lancer karena seringkali antrian terjadi gara-gara adanya gangguan pada sistem. Selain itu perlu disiapkan ruang tunggu yang nyaman,baik dari segi luas maupun pendingin udara yang mencukupi untuk menjaga udara tetap sejuk.

Dengan perbaikan – perbaikan dalam pemberian pelayanan,diharapkan Wajib Pajak akan lebih nyaman dan pada akhirnya akan lebih banyak Wajib Pajak yang menyampaikan laporan SPT nya sendiri tanpa menggunakan jasa kurir sehingga terjalin komunikasi yang lebih baik antara Wajib Pajak dan petugas pajak.

PELAYANAN PBB DI KANTOR KAMI

Oleh : Rizka Nur Farikhati


Sejak dimulainya era modernisasi Direktorat Jenderal Pajak yang menjadi awal Pelayanan satu atap bagi Wajip Pajak ( WP ) PPh, PPN, PBB dan BPHTB, Pajak Bumi dan Bangunan yang tadinya dilayani dalam suatu kantor tersendiri yaitu KPPBB dipecah per-kelurahan dan digabung dengan KPP sesuai wilayah kelurahannya.

Masa-masa transisi penggabungan tersebut awalnya terasa berat, apalagi jika belum mempelajari Standart Operating Procedure ( SOP ) dengan benar. Lempar melempar tanggung jawab yang tak jelas siapa sebenarnya yang harus melaksanakan, hingga system yang masih belum dimengerti apalagi oleh pegawai KPP.

KPPBB dipecah per wilayah, begitupun pegawainya. Dibagi ke KPP-KPP yang satu Kanwil. Terjadilah transfer of knowledge dari pegawai KPP ke pegawai KPPBB, begitupun sebaliknya. Kami yang dari KPP belajar SISMIOP dari pegawai KPPBB, dan kami mulai belajar melayani Wajib Pajak PBB.

Pelayanan PBB antara lain, pencetakan SPPT setiap tahun untuk diserahkan ke WP PBB dan dilakukan pelunasan, pengurangan PBB, keberatan, proses mutasi atau ganti nama dan pecah data objek jika ada peralihan hak kepemilikan, serta pendaftaran data baru jika ada tanah dan bangunan yang belum terdaftar di KPP.

Seksi-seksi yang terkait antara lain, seksi Pelayanan yang bertugas menjadi penerima WP pertama kalinya, seksi Ekstensifikasi yang bertugas meneliti dan ke lapangan jika permintaan WP berupa data baru, mutasi atau pecah data objek.Seksi Pengawasan dan Konsultasi ( Waskon ) dan Account Representartive ( AR ) untuk pengurangan dan keberatan PBB, serta seksi PDI untuk melakukan perekaman.

KPP Pratama Pasar Minggu terdiri dari dua kecamatan, yaitu kecamatan Pasar Minggu yang terdiri dari tujuh kelurahan dan kecamatan Jagakarsa yang terdiri dari enam kelurahan. Jadi seluruhnya ada 13 kelurahan. Sementara, daerah Pasar Minggu dan Jagakarsa adalah daerah yabg masih berkembang. Banyak tanah kosong yang diperjualbelikan dan dibangun perumahan dan townhouse baru, yang otomatis dengan peralihan hak kepemilikan tanah dan bangunan tersebut akan menjadi tugas bagi KPP kami jika ada permohonan data baru, data pecah dan mutasi.

Kami pastinya berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik bagi Wajib Pajak yang melakukan permohonan. Tapi apa daya, kadang karena keterbatasan Sumber Daya Manusia masih saja ada Wajib Pajak yang tidak puas dan tak jarang melampiaskan kekesalannya kepada kami.

Untuk jumlah perekam di seksi PDI mungkin tidak masalah. Merekam permohonan Wajib Pajak yang ditulis dalam SPOP dan L-SPOP hanya membutuhkan waktu sebentar. Seksi Pelayanan yang menerima permohonan, membukukan dan mengirimkan ke seksi Ekstensifikasi serta mencetak hasil perekaman PBB juga relatif membutuhkan waktu yang sedikit, tapi karena ada mutasi pegawai baru-baru ini menyebabkan berkurangnya tenaga PBB di Pelayanan. Yang jelas terlihat sangat kejar tayang adalah seksi Ekstensifikasi, dengan Kepala Seksi yang sudah pensiun, diganti sementara oleh Pjs, dengan pensiunnya beberapa pegawainya, dengan dimutasinya pegawai produktifnya, tinggallah beberapa pegawai saja yang produktif untuk meneliti dan mengecek ke lapangan permohonan data baru, data pecah dan mutasi dari Wajib Pajak.

Permohonan data baru, data pecah dan mutasi biasanya akan ditulis batas pengambilan satu bulan setelah tanggal pelayanan, tapi pada kenyataannya setelah lewat satu bulan, permohonan tersebut belum selesai dikerjakan. Proses yang lama tentu saja ada di seksi Ekstensifikasi. Dengan banyaknya berkas dan sedikitnya SDM, jadilah kombinasi yang pas untuk Wajib Pajak menumpahkan kekesalannya. Ada yang sudah berkali-kali datang belum selesai juga, ada yang datanya tidak lengkap terpaksa dipending prosesnya dan tidak terima, bahkan kesalahan-kesalahan kecil seprti salah menulis nama dan RT/RW.

Solusi awal mungkin dengan penambahan Sumber Daya yang efektif, bukan yang sekedar absen dan menerima gaji tanpa kerja nyata. Untuk saat ini, Sumber Daya-lah yang sangat dibutuhkan seksi Ekstensifikasi.

Belum lagi, dengan kebijakan menaikan nilai tanah dan bangunan di Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang ( SPPT ), yang tentu saja membuat pajak yang harus dibayar Wajib Pajak menjadi lebih besar, yang pastinya menimbulkan protes dari sebagian Wajib Pajak yang tidak terima. Akhirnya banyak permohonan pengurangan maupun keberatan atas SPPT PBB yang sudah dibagikan ke Wajib Pajak.

Bahkan masih ada saja Wajib Pajak yang tidak mendapat SPPT dari kelurahan, ada yang tidak diantarkan, ada yang hilang, jadilah KPP harus mencetak ulang bagi Wajib Pajak yang membutuhkannya.

Sebagai pegawai yang sudah digaji besar untuk melakukan pelayanan prima terhadap Wajib Pajak, tentu kami berusaha untuk terus belajar dan memberi yang terbaik, agar tidak ada Wajib Pajak yang kecewa. Tapi untuk hal-hal yang di luar kemampuan kami, apa boleh buat. Kami hanya berharap, pengambilan pegawai produktif, diganti juga dengan pegawai yang produktif. Jadi tidak ada kekurangan Sumber Daya yang menyebabkan pelayanan menjadi tidak prima.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Oleh : Aditya Chandra Utama



Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

I. Pengertian

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 19 tanggal 9 November1994.PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

II. Objek PBB

Objek PBB adalah “Bumi dan/atau Bangunan

  • Bumi : Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Contoh : sawah, ladang, kebun, tanah, pekarangan, tambang, dll.
  • Bangunan : Konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia. Contoh : rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dll.

III. Objek PBB Yang Dikecualikan

Objek yang dikecualikan adalah objek yang :

  1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.
  2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala.
  3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dan lain-lain.
  4. Dimiliki oleh Perwakilan Diplomatik berdasarkan azas timbal balik dan Organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

IV. Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata :

  • mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;
  • memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
  • memiliki, menguasai atas bangunan, dan atau;
  • memperoleh manfaat atas bangunan.

Wajib Pajak adalah Subyek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak.

V. Cara Mendaftarkan Objek PBB

Orang atau Badan yang menjadi Subjek PBB harus mendaftarkan Objek Pajaknya ke Kantor Pelayanan PBB atau Kantor Penyuluhan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek tersebut, dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang tersedia gratis di Kantor Pelayanan PBB/Kantor Penyuluhan Pajak setempat.

VI. Dasar Pengenaan PBB

Dasar pengenaan PBB adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. NJOP ditentukan per wilayah berdasarkan keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan terlebih dahulu memperhatikan :

  1. harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;
  2. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan telah diketahui harga jualnya;
  3. nilai perolehan baru;
  4. penentuan nilai jual objek pengganti.

VII. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)

NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena pajak. Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota setinggi-tingginya Rp 12.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu kali dalam satu Tahun Pajak.
  2. Apabila wajib pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang mendapatkan pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek Pajak yang nilainya terbesar dan tidak bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.

VIII. Dasar Penghitungan PBB

Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
Besarnya NJKP adalah sebagai berikut :

  • Objek pajak perkebunan adalah 40%
  • Objek pajak kehutanan adalah 40%
  • Objek pajak pertambangan adalah 20%
  • Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):

IX. Tarif PBB

Besarnya tarif PBB adalah 0,5%.

X. Rumus Penghitungan PBB

Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP

a. Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
= 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,2% x (NJOP-NJOPTKP)
b. Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
= 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)

XI. Tempat Pembayaran PBB

Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.

XII. Saat Yang Menentukan Pajak Terutang

Saat yang menentukan pajak terutang menurut Pasal 8 ayat 2 UU PBB adalah keadaan Objek Pajak pada tanggal 1 Januari. Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
Contoh : A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996. Kewajiban PBB Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997 kewajiban PBB menjadi tanggung jawab B.

Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
Contoh : A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996. Kewajiban PBB Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997 kewajiban PBB menjadi tanggung jawab B.

Pajak

Oleh : Trio Martha Dinata


Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Definisi

Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :

  • Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
  • Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
  • Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.

Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.

Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Ciri pajak

Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:

  1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
  2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
  3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
  4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundag-undangan.
  5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).

Fungsi pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

  • Fungsi anggaran (budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

  • Fungsi mengatur (regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

  • Fungsi stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

  • Fungsi redistribusi pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Syarat pemungutan pajak

Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai maswalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:

  • Pemungutan pajak harus adil

Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.

Contohnya:

  1. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak
  2. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak
  3. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran
  • Pengaturan pajak harus berdasarkan UU

Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:

  • Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya
  • Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum
  • Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak
  • Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian

Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.

  • Pemungutan pajak harus efesien

Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.

  • Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.

SUNSET POLICY DAN TIDUR NYENYAK

Nama : Anggiat Asi Martua Togatorop

NPM : 0700070087


Dimulai dari awal tahun 2008 Direktorat Jenderal Pajak mengkampanyekan kebijakan Sunset Policy yang disertai dengan kalimat 'tidur nyenyak'. Kampanye dilaksanakan sangat gencar dengan menggunakan berbagai media. Namun demikian, meskipun kampanye sudah dilaksanakan secara besar-besaran, kebijakan sunset policy belum mendapat respon yang luas dari masyarakat. Rendahnya respon masyarakat lebih dikarenakan kurangnya pemahaman yang memadai tentang konsep sunset policy serta kaitan antara sunset policy dengan Tidur Nyenyak. Masyarakat pada umumnya, belum memperoleh penjelasan tentang manfaat yang dapat langsung dirasakan melalui sunset policy.

Apakah sebenarnya Sunset Policy itu?. Mengapa tiba tiba muncul kebijakan seperti itu?. Kalau kita mencari dalam Undang Undang KUP terbaru pun, istilah Sunset Policy tidak akan ditemukan. Tapi ada satu hal dalam Undang-Undang KUP Tahun 2008 yang bisa menjadi latar belakang munculnya sunset policy ini yaitu bahwa Undang Undang KUP Tahun 2008 memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menghimpun data perpajakan dan mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya untuk memberikan data kepada Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan ini memungkinkan Direktorat Jenderal Pajak mengetahui ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat. Untuk menghindarkan masyarakat dari pengenaan sanksi perpajakan yang timbul apabila masyarakat tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara benar, Direktorat Jenderal Pajak di tahun 2008 ini memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mulai memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela dan melaksana kannya dengan benar. Namun demikian, sebenarnya istilah sunset policy ini merujuk kepada fasilitas penghapusan sanksi administrasi berdasarkan ketentuan Pasal 37 A undang-undang Nomor 28 Tahun 2007. Sunset policy adalah semacam pengampunan pajak yang terbatas pada sanksi administrasi berupa bunga yang tidak akan dikenakan apabila Wajib Pajak yang berhak menyampaikan Surat Pemberitahuan tertentu.

Ada dua jenis sunset policy berdasarkan ketentuan yaitu :

1. Sunset Policy Untuk Wajib Pajak Baru

Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar bagi Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun 2008 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya.

Fasilitas pembebasan sanksi ini khusus diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi saja yang mendaftarkan diri secara sukarela dalam tahun 2008. Wajib Pajak yang memperoleh NPWP dalam tahun 2008 berdasarkan hasil ekstensifikasi termasuk dalam kriteria mendaftarkan diri secara sukarela ini sehingga dapat menggunakan fasilitas sunset policy.

Termasuk dalam lingkup penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi meliputi penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang terkait dengan pembayaran:

a. Pajak Penghasilan Pasal 29;

b. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2); dan/atau

c. Pajak Penghasilan Pasal 15.

yang dibayar sendiri dan dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan.

2. Sunset Policy Untuk Wajib Pajak Lama

Yang dimaksud dengan Wajib Pajak Lama adalah Wajib Pajak yang sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak sebelum 1 Januari 2008. Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak diberikan kepada Wajib Pajak lama, baik Orang Pribadi maupun Badan, yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007.

Termasuk dalam lingkup pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak meliputi pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang terkait dengan pembayaran:

a. Pajak Penghasilan Pasal 29;

b. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2); dan/atau

c. Pajak Penghasilan Pasal 15,

yang dibayar sendiri dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Lalu mengapa harus ikut serta dalam program sunset policy ini ?. Apa manfaat yang bisa di ambil?. Banyak orang menganggap bahwa sunset policy ini sebenarnya adalah sebuah jebakan. Banyak menganggap kebijakan ini hanyalah akal-akalan Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak dan jumlah NPWP secara instan. Namun jika kita perhatikan kesadaran masyarakat Indonesia dalam hal kewajiban perpajakan sekarang ini masih rendah. Dalam kondisi kesadaran yang rendah itu, maka apabila sanksi yang keras pada UU KUP diperlakukan tanpa adanya pemahaman yang baik oleh masyarakat bisa menimbulkan gejolak dan mungkin ada efek kontra produktif. Dengan pertimbangan tersebut masyarakat perlu diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela. Kesempatan itu diberikan dalam bentuk pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Kesempatan untuk menyampaikan pembetulan SPT inilah yang dalam kampanye disebut sebagai sunset policy atau pengampunan pajak. Wajib pajak yang menyampaikan SPT dalam rangka sunset policy akan memperoleh manfaat :

  1. Sunset policy memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk menyampaikan SPT baru apabila dalam tahun yang bersangkutan belum pernah menyampaikan SPT. Dengan kesempatan ini, maka wajib pajak tidak dikenakan sanksi administrasi karena keterlambatan penyampaian SPT. SPT yang seharusnya disampaikan untuk tahun pajak 2006 dan tahun-tahun sebelumnya, dapat disampaikan pada tahun 2008 tanpa dikenakan sanksi. Ini artinya wajib pajak terhindar dari sanksi berupa denda administrasi sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
  2. Sunset policy memberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak. Dengan demikian wajib pajak akan terhindar dari denda atas keterlambatan pelunasan kekurangan pajak sebesar 2% (dua persen) per bulan dari pajak yang kurang dibayar.
  3. SPT yang disampaikan dalam rangka sunset policy tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar. Dengan demikian, maka wajib pajak terhindar dari kemungkinan dikenakan kekurangan pembayaran dan denda pada saat pemeriksaan maupun setelah dilakukan pemeriksaan. Ini artinya wajib pajak terhindar dari kemungkinan adanya sanksi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar dan sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar dalam hal sudah dilakukan pemeriksaan namun belum dilakukan penyidikan, wajib pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT.

Illustrasi penghapusan sanksi berupa denda dapat kita lihat dari contoh berikut :

Mora Smith seorang pengusaha bengkel motor Roda Emas yang telah beroperasi sejak tahun 2004. Sampai dengan tanggal 3 1 Desember 2007, Mora Smith belum memiliki NPWP. Mora Smith bermaksud memanfaatkan Sunset Policy. Oleh karena itu, Mora Smith mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP pada tanggal 5 Agustus 2008. Dan selanjutnya pada tanggal 15 Agustus 2008 Mora Smith menyampaikan SPT Tahunan PPh. Penghasilan yang diperoleh selama ini yang melebihi PTKP adalah pada tahun 2004,2005,2006 dan 2007. Pajak-pajak yang kurang dibayar menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2004 sampai 2007 tersebut telah dilunasi Mora Smith pada tanggal 1 5 Agustus 2008.

Menurut SPT Tahunan PPh yang disampaikan, pajak yang kurang dibayar untuk tahun pajak 2004 sebesar Rp 500.000, tahun pajak 2005 sebesar Rp 1.000.000, tahun pajak 2006 sebesar Rp 1.500.000, dan tahun pajak 2007 sebesar Rp 2.000.000. Oleh karena Mora Smith memanfaatkan Sunset Policy dengan menyampaikan SPT Tahunan PPh-nya dalam tahun 2008, maka Mora Smith memperoleh fasilitas penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang kurang dibayar dengan perhitungan sebagai berikut:

  • Untuk penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2004:
    Mulai tanggal 25 Maret 2005 s.d. I5 Agustu us 2008 (2% X 41 bulan X Rp 500 ribu) = Rp 410.000
  • Untuk penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2005:
    Mulai tanggal 25 Maret 2006 s.d. 1 5 Agustus 2008 (2% X 29 bulan X Rp 1 juta) = Rp 580.000
  • Untuk penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2006:
    Mulai tanggal 25 Maret 2007 s.d. 15 Agustus 2008 (2% X 17 bulan X Rp 1,5 juta) = Rp 510.000
  • Untuk penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007:
    Mulai tanggal 25 Maret 2008 s.d. 1 5 Agustus 2008 (2% X 5 bulan X Rp 2 juta) = Rp 200.000

Sanksi administrasi sebesar Rp 1.700.000 (Rp 410.000 + Rp 580.000 + Rp 510.000 + Rp 200.000) tersebut dihapuskan sehingga Mora Smith hanya wajib melunasi pokok pajaknya sebesar Rp 5.000.000
(Rp 500.000 + Rp 1.000.000 + Rp 1.500.000 + Rp 2.000.000). Penghapusan sanksi sebesar itu dijaman sekarang merupakan hal yang patut disrukuri.

Mulai tahun pajak 2009 tepatnya pada 28 Februari 2009, setelah program sunset policy berakhir, Direktorat Jenderal Pajak akan menginstensifkan pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak tentu saja dilakukan terhadap wajib pajak yang tidak memanfaatkan sunset policy. Sebagai konsekuensinya, terhadap wajib pajak ini akan dikenakan sanksi apabila terdapat ketidakbenaran yang terungkap pada saat pemerikasaan pajak. Bagi wajib pajak yang telah memanfaatkan sunset policy, tidak dilakukan pemeriksaan, sehingga tidak perlu khawatir akan dikenakan sanksi dan denda. Karena tidak ada kekhawatiran lagi, maka wajib pajak ini bisa menikmati tidur yang nyenyak.

Pelayanan Prima di Kantor Pelayanan Pajak

Nama : Tito Eka Nugroho

NPM : 0700700079


Perjalanan reformasi birokrasi nampaknya tak terasa sudah dimulai sejak tahun 2002 yang dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak. DJP sebagai instansi reformasi birokrasi yang memberikan pelayanan prima dan pelaksanaan good governance dalam mengelola perpajakan yang baik, efektif, dan efisien. Artinya upaya reformasi birokrasi ini adalah bagi pembangunan perpajakan nasional. Reformasi birokrasi di tubuh DJP lebih dikenal dengan kata Modernisasi. Modernisasi tidak hanya sebatas peraturan (kebijakan) perpajakan, yakni Amandemen Undang-Undang Pajak, melainkan secara komprehensif dan simultan menyentuh instrumen perpajakan lainnya seperti sistem, institusi, pelayanan kepada masyarakat wajib pajak, pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan, serta tak kalah pentingnya moral, etika, dan integritas petugas pajak.


KPP Pra Modern

Perubahan Kantor Inspeksi Pajak diubah menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang menjalankan fungsi pelayanan untuk jenis Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sedangkan KP. PBB (Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan) yang berfungsi sebagai kantor pelayanan untuk jenis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). Fungsi pemeriksaan dijalankan oleh Karikpa (Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak) yang sebelum disebut Unit Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (UP3) dan Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP-4) yang sebelum disebut Kantor Penyuluhan sebagai fungsi penyuluhan.

Struktur organisasi pada fungsi pelayanan di KPP Pra Modern berdasarkan jenis pajak seperti Seksi PPh Badan, PPh Perseorangan, PPh Pemotongan Pemungutan, dan PPN. Pada struktur ini fungsi pelayanan dilakukan oleh KPP namun pemeriksaan juga dilaksanakan oleh KPP selain Karikpa, Fungsional Kanwil, dan Fungsional Kantor Pusat DJP sehingga terjadi fungsi ganda. Begitu juga dengan pelayanan tidak bersifat satu atap (one stop service) karena mengingat jenis pajak PPh dan PPN diadministrasikan oleh KPP sedangkan jenis pajak PBB dan BPHTB oleh KP. PBB. Pengajuan keberatan sebelum modern diproses di KPP disamping Kanwil dan Kantor Pusat DJP, hal ini memunculkan dualisme fungsi, karena yang memeriksa adalah KPP dan proses penyelesaian keberatan juga dilakukan di KPP untuk aristasi KPP. Hal inilah yang mendorong dibentuknya KPP Modern.

Pada saat ini WP mengeluhkan standar pelayanan petugas pajak yang kurang baik sehingga WP enggan berurusan dengan kantor pajak. Meski ada petugas berpenampilan ramah, akan tetapi keramahtamahan itu sekadar basa-basi karena tujuannya justru mengharapkan sesuatu imbalan dari WP. Lebih-lebih jika WP mempunyai masalah administrasi yang belum lengkap maka keadaan ini akan dimanfaatkan oleh petugas pajak untuk memberdaya WP

KPP Modern

Sejak tahun 2002 merupakan kegiatan yang dinamis bagi pembangunan era baru perpajakan modern. Selain membentuk dan mengoperasikan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar, dan KPP Madya yang menerapkan prinsip modernisasi administrasi perpajakan, pada tahun 2007 seluruh KPP di pulau Jawa telah dimodernisasi, yakni sebagai KPP Pratama. Dan tahun 2008, seluruh KPP sebagai unit kerja perpajakan yang langsung melayani wajib pajak telah menerapkan modernisasi perpajakan.

Dalam struktur yang modern ini terdapat perbedaan yang cukup signifikan yakni yang dulunya struktur organisasi KPP Pra Modern berdasarkan jenis pajak diubah menjadi berdasarkan fungsi guna debirokratisasi pelayanan seperti Seksi Pelayanan dan Seksi Pemeriksaan dibentuk secara terpisah. Pelayanan perpajakanpun sudah mulai satu atap (one stop service) karena semua jenis pelayanan perpajakan baik jenis pajak PPh, PPN, PBB, dan BPHTB dilakukan di KPP Pratama sedangkan untuk KPP WP Besar dan KPP Madya hanya jenis pajak PPh dan PPN, sehingga menyebabkan adanya peleburan KP.PBB ke KPP Pratama. Proses penyelesaian keberatan hanya ada di tingkat Kanwil, mengingat di Kanwil tidak menjalankan fungsi pemeriksaan lagi karena fungsi pemeriksaan sepenuhnya dilaksanakan oleh KPP Modern yang menyebabkan pula dileburnya Karikpa ke KPP Modern.

Pelayanan Prima KPP Modern

Dengan model KPP Modern diharapkan DJP dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat dalam masalah perpajakan.

Perbedaan KPP Modern yang sekarang sangat kontras dibandingkan dengan KPP Pra Modern, perbedaan itu misalnya tampilan gedung kantor yang dirancang dengan konsep kantor yang modern, front office yang standar di Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) sebagai aplikasi “one stop service” perpajakan, tersedianya alat-alat bantu di TPT seperti help desk yang siap melayani informasi, dan konsultasi perpajakan yang bersifat umum, dan lainnya.

Pembentukan contact center : complain center, call center, non filers activation center. Dimana pengaduan yang diterima oleh complain center akan dikoordinasikan dengan unit terkait dan akan ditindaklanjuti dalam waktu 3 hari kerja dan jenis-jenis pengaduan termasuk mengenai pelayanan, konsultasi, pemeriksaan, keberatan dan banding. Adapun media penyampaian pengaduan dapat melalui e-mail, pos, nomor telpon bebas biaya, atau langsung.

Ruang kerja pegawai didesain secara terbuka sebagai wujud keterbukaan (transparancy) pajak. Tentu saja wajib pajak tidak boleh memasuki hingga ruang kerja pegawai, karena pegawai akan secara langsung melayani wajib pajak di tempat terbuka seperti ruang konsultasi. Dalam melayani wajib pajak secara khusus dan mendalam ada pegawai yang yang telh ditunjuk secara resmi yaitu Account Representative (AR) yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan secara khusus. Dalam hal pelayanan pun lebih mudah karena dapat menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi terkini yang dikenal dengan sebutan e-system antara lain e-payment (pembayaran pajak secara on line), e-registrasion (pendaftaran wajib pajak melalui internet), e-filling (pelaporan pajak melalui internet), e-spt (pengisian SPT dengan program yang telah disediakan DJP), dan e-counseling (konsultasi secara on line).

Petugas pajak yang berkualitas tinggi berbasis kompetensi dan penerapan Kode Etik Pegawai yang diawasi oleh Komite Kode Etik Pegawai, Komisi Ombudsman Nasional, Tim Khusus Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan, dan Subdirektorat Kantor Pusat DJP yang menangani Pengawasan Internal (Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi SDA) .

Reformasi perpajakan di segala lini yang telah disusun oleh DJP akan sia-sia jika tanpa dukungan dari pihak eksternal maupun dari pihak internal. Sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam melangsungkan modernisasi pajak adalah dengan menyeimbangkan reward dan punishment serta menegakkan ketertiban etika, moral, dan integritas petugas pajak. DJP-pun telah menyusun sebuah Kode Etik Pegawai DJP yang diatur dalam Permenkeu No 1/PMK.3/2007 tanggal 23 Juli 2007 tentang 9 kewajiban pegawai dan 8 larangan pegawai baik kepada masyarakat WP, sesama pegawai, atau pihak lain dengan sanksi setinggi-tingginya pemberhentian dengan tidak hormat dan serendah-rendahnya pernyataan tidak puas secara tertulis.

Modernisasi perpajakan ini bukanlah milik Direktorat Jenderal Pajak , juga milik masyarakat yakni Wajib Pajak. Dengan demikian slogan ”Pajak, Bersama Anda Membangun Bangsa” atau ”Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya” harus kita dukung sepenuhnya agar hasil yang dicapai dapat menjadi milik bersama..

Relasi Fasilitas Bebas Fiskal Luar Negeri Menggunakan NPWP Dengan Peningkatan Jumlah NPWP

Oleh : Endro Susilo


Awal tahun 2009 sungguh hari-hari yang bersejarah bagi jutaan warga kita, terutama bagi mereka yang sering mengadakan kunjungan kerja di luar negeri, bagi yang hendak bersekolah di Negara tetangga kita, atau yang sekedar jalan-jalan berekreasi menghabiskan tabungan dan berbelanja di Singapore sebagai trend. Karena mulai tanggal 1 Januari 2009 Direktorat jenderal Pajak membebaskan penumpang pesawat udara dan kapal laut dari kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi mereka yang memeiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Orang Pribadi. Namun bagi yang tidak memeiliki NPWP dikenakan fiskal berlipat dari tahun-tahun sebelumnya yaitu menjadi Rp.2.500.000,00 jika memakai pesawat udara atau Rp.1.000.000,00 jika dengan kapal laut. Sebelum tahun 2009 tarif fiskal adalah Rp.1.000.000,00 dan Rp.500.000,00.

Namun demikian kebijakan selalu seperti dua sisi keping mata uang. Ada yang pro dan ada yang kontra. Bagi mereka yang berNPWP ini kabar gembira namun bagi mereka yang tidak mempunyai NPWP merasa sangat terbebani, kebijakan ini dianggap tidak populer serta tidak pro rakyat, bahkan diawal pemberlakuan Fiskal Luar Negeri ada sebagian akademisi yang hendak mengajukan class action ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan peraturan ini. Oleh mereka FLN itu berbenturan dengan UUD 1945 pasal 23A dan Undang-Undang no 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat UU no 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pada dasarnya pemberlakuan FLN tahun ini lebih mudah dan lebih luas cakupan Subjek Pajak yang dapat menikmati pembebasan dari membayar fiskal luar negeri ini. Sebelum Tahun 2009 pembebasan FLN hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil warga negara kita yaitu hanya mereka yang benar-benar tinggal menetap lebih banyak di luar negeri, anggota misi, anak-anak dibawah 12 tahun, pemegang passport dinas yang sedang bertugas dinas ke luar negeri, pilot dan pelaut, serta Tenaga Kerja Indonesia yang dikirim Depnakertrans melalui Perusahaan Pengiriman Jasa Tenaga Kerja Indonesia. Di tahun 2009 ini Warga Negara RI yang dapat menikmati bebas FLN jauh lebih banyak. Selain warga yang memenuhi kriteria diatas diperluas bagi mereka yang mempunyai NPWP beserta anggota keluarga sedarah atau semenda yang menjadi tanggungannya yang jumlahnya tidak dibatasi, tidak seperti jumlah tanggungan maksimal dalam penghitungan PTKP yang berjumlah 3 orang, serta anak-anak dibawah 21 tahun. Dan bagi mereka yang “mengaku” berpenghasilan di bawah Penghasilan tidak Kena Pajak dapat mengisi Surat Pernyataan Berpenghasilan di bawah PTKP di atas materai 6000. Sungguh ini suatu kebijakan angin surga bagi mereka yang berekonomi mapan dan punya hobi jalan-jalan ke luar negeri .

Semenjak pemberlakuan peraturan pembebasan FLN dengan NPWP, jumlah penerimaan dari sektor Fiskal Luar negeri di Bandara Internasional Soekarno-Hatta sangat kecil yaitu hanya berkisar 200 juta s/d 750 juta rupiah per hari, jika dibandingkan dengan sebelum tahun 2009 yang perharinya dapat mencapai 2 milyar s/d 4 milyar rupiah. Ini disebabkan mereka yang biasa bepergian ke luar negeri diwajibkan membayar fiskal 1 juta per orang, kini mereka dapat menikmati fasilitas bebas fiskal dengan NPWP. Sebagian besar mereka yang berNPWP mengikutsertakan semua anggota keluarga mereka menghabiskan masa liburan panjang ke Malaysia, Singapura, dan sebagian lagi ke Thailand serta ke China sebagai negara tujuan favorit.

Untuk sebagian warga berlomba-lomba membuat NPWP setelah berlakunya kebijakan baru ini agar dapat ikut menikmati fasilitas pembebasan dari membayar Fiskal Luar Negeri. Sehingga semua Kantor pelayanan Pajak diseluruh Indonesia melayani pembuatan NPWP yang meningkat secara signifikan di awal tahun 2009 ini. Sampai dengan bulan April 2009 ini jumlah NPWP terdaftar telah mencapai 10 juta lebih, sehingga target 10 juta NPWP yang dicanangkan DJP telah mencapai kemajuan yang luar biasa. Ini awal yang baik bagi perpajakan di Indonesia, dimana warga berbondong-bondong mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP. Selama kebijakan ini dikawal secara serius dan didukung oleh sumber daya manusia yang jeli serta kepemimpinan yang terus terfokus suatu saat tidak pelak lagi di kemudian hari negara kita akan menikmati pajak yang dibayarkan oleh Wajib Pajak untuk pembangunan berbagai infrastruktur dan biaya pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang akan menjadikan bangsa Indonesia lebih berdaulat dan bermartabat di dunia internasional.

Tujuan awal Direktorat Jenderal Pajak memberlakukan kewajiban NPWP merupakan bagian dari program Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak untuk menjaring lebih banyak lagi Wajib Pajak yang mendaftarkan diri untuk mempunyai NPWP. Dengan demikian nantinya DJP mempunyai data base yang kuat tentang wajib Pajak, sehingga untuk tahun-tahun berikutnya DJP diharapkan akan mampu menghimpun penerimaan pajak dari sektor Pajak Penghasilan orang pribadi dapat meningkat secara signifikan. Sebagai sebuah keniscayaan yang tak dapat dipungkiri, Indonesia sangat mengandalkan penerimaan negara dari sektor pajak setelah penerimaan dari sektor ekspor migas dan komoditi lain tak dapat lagi diandalkan. Untuk saat ini penerimaan Pajak sebagian besar ditopang dari PPH Badan dan juga PPN, padahal negara akan lebih kuat jika prosentase penerimaan pajak dari Wajib Pajak Orang Pribadi cukup signifikan dari jumlah penerimaan total dari sektor pajak.

Tujuan lain dari kebijakan Departemen Keuangan melalui DJP ini adalah tuntutan sebagai stimulus fiskal yang sangat diperlukan untuk mengembalikan kegoncangan perekonomian Indonesia akibat krisis ekonomi global yang berasal dari carut marutnya perekonomian negara Amerika ini. Diharapkan pula kegiatan ekonomi di sektor riil dalam negeri dapat tetap bergerak .

Untuk memperkuat data base Wajib Pajak, DJP harus mempunyai akses yang lebih besar terhadap data orang yang berpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak ke atas dinegeri ini, koneksi data antar institusi pemerintah yang mendukung juga harus lebih bermutu. Keterbukaan lembaga tertentu untuk bersedia memberikan data transaksi-transaksi keuangan yang akurat juga sangat diperlukan. Kemudian semua data yang relevan itu harus diadministrasikan dengan benar dan rapi. Selanjutnya untuk dilakukan pengolahan data dengan melakukan penelitian dan melakukan cross check. Menindaklanjuti semua temuan transaksi yang relevan dengan perpajakan yang seharusnya Wajib Pajak tunaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk kemudian dilakukan penegakan hukum (law enforcement). Dengan demikian akan semakin sempit ruang gerak bagi Wajib Pajak busuk yang berusaha menghindar dari kewajiban yang seharusnya mereka tunaikan. Demi DJP yang mempunyai visi dan misi menjadi institusi pemerintah yang mengelola pajak dengan bersih dan profesional. Sebagai warga negara kita harus ikut menjadi bagian yang sejalan dan mendukung untuk kemajuan Negara yang kita cintai.

Dapat kita amati, banyaknya Wajib Pajak baru yang antusias mendapatkan NPWP adalah moment luar biasa yang harus kita cermati. Wajib Pajak baru harus selalu dipantau dan dibina akan kewajiban perpajakan mereka. Menanamkan kesadaran membayar pajak dan memberikan mereka ketenangan akan dialokasikannya pajak yang dibayarkan untuk pembangunan tidaklah mudah. Para pembayar pajak menginginkan aparatur pemerintah yang bersih, peduli, dan professional, serta transparansi yang memudahkan mereka melakukan kontrol.

Dalam pelaksanaan Fiskal Luar Negeri di Bandara Soekarno-Hatta dapat dijumpai puluhan ribu NPWP baru yang diterbitkan di awal-awal tahun 2009 ini dipergunakan sebagai sarana mendapatkan fasilitas Bebas Fiskal Luar Negeri untuk Wajib Pajak terdaftar bersama-sama anggota keluarga mereka. Namun masih banyak sekali celah atau kekurangan yang tidak dapat mengatasi permasalahan yang terjadi dilapangan, sehingga membutuhkan penyempurnaan peraturan yang berfungsi menutup celah-celah itu oleh pimpinan di level atas yang belum dilakukan. Sebagai contoh banyak NPWP yang diterbitkan di tahun 1980-an yang hanya berjumlah 10 digit digunakan untuk mendapatkan fasilitas Bebas Fiskal bagi Wajib Pajak dan yang dapat menjadi tanggungannya. Setelah WP ditanya mereka tak tahu NPWP yang baru yang sekarang berjumlah 15 digit itu, dengan alasan selama ini masih menggunakan NPWP yang lama itu, dan selama itu pula tak ada komplain dari KPP tempat mereka menyampaikan SPT tahunan mereka. Ada pula yang beralasan tak dikasih tahu oleh KPP tempat terdaftar NPWP mereka yang baru. Celah yang berikutnya tidak adanya peraturan yang membatasi usia maksimal dan alat pembuktian seseorang masih bisa ditanggung oleh pemilik NPWP. Dengan alasan masih sekolah, belum bekerja, sudah tidak bekerja lagi, masih menumpang bersama orang tua dan lain-lain. Tidak adanya jumlah maksimal yang dapat ditanggung oleh pemilik NPWP juga merupakan sebuah celah yang sangat riskan. Ini semua adalah sebagian kecil permasalahan yang masih harus disempurnakan oleh pimpinan-pimpinan di Departemen Keuangan serta DJP pada khususnya.

Dengan jumlah NPWP yang telah mencapai angka 10 juta kita patut bersyukur, karena sudah semakin banyak Wajib Pajak sadar akan pentingnya NPWP sebagai sarana administrasi perpajakan dan sebagai identitas Wajib Pajak. Berikutnya bagaimana DJP mampu atau tidak memanajemenkan jumlah Wajib Pajak yang besar itu menjadi sebuah potensi penerimaan Pajak yang kemudian akan sangat membantu kemajuan bangsa . Ini sebuah tantangan bagi fiskus di Indonesia.

Dengan sumber daya manusia yang bermutu menganalisa data-data Wajib Pajak yang ada dan mempunyai rintegeritas tinggi, mamajemen yang rapi, kemampuan memberi kepuasan Wajib Pajak dalam pelayanan perpajakan serta menanamkan kepercayaan WP terhadap DJP, penegakan hukum adalah sebagian kunci pokok yang harus terpelihara untuk kemakmuran bersama.

Berakhirnya Rezim Surga Pajak, Empat Negara Bertahan di Daftar Hitam OECD.

Oleh : Sidiq Adi Widagdya



Kemarahan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy terhadap pasar yang terlalu liberal saat pertemuan KTT pemerintahan G-20 di Excel Centre,Dockland, London, didukung oleh Kanselir Jerman Angela Merkel. Mereka menginginkan agar pasar dapat diatur dengan regulasi yang jelas. Sasaran lainnya adalah negara surga pajak ((ax haven) juga dikendalikan.

Negara-negara itu yang umumnya produk buatan kolonialis Inggris seperti Singapura, Hongkong, dan 33 negara atau teritori lainnya yang juga menjadi tax haven.

Negara tersebut dianggap sebagai pelindung para kapitalis pemangsa, lokasi penyimpanan uang haram, lokasi aksi-aksi spekulasi yang telah melahirkan fenomena kanibal di sektor keuangan (Kompas. 5 April 20091.

Untuk mengatasi krisis keuangan global perlu reformasi regulasi dan peraturan dalam sistem keuangan, salah satunya soal pengaturan fax haven dengan kehadiran Financial Stability Board.

G-20 juga sepakat mendesak sebuah upaya untuk standardisasi akuntansi, aturan mengenai hedge fund yang selama ini tidak mudah tersentuh dan aturan mengenai tax haven.

Para pemimpin G-20 juga sepakat masalah kerahasiaan perbankan harus diakhiri dan tidak ada toleransi lagi bagi negara ataupun teritori pelindung para penghindar pajakdan kejahatan kerah putih lainnya.

Dampak dari krisis finansial yang hebat membuat negara-negara maju menginginkan pajak yang dilarikan korporasi penghindar pajak (rax awiders) dapat kembali menjadi hak negaranya.

Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) telah mengumumkan kriteria negara-negara atau teritori sebagai surga pajak. Empat negara masuk dalam daftar hitam atau black, list karena tidak kooperatif, yaitu Filipina, Uruguay. Kosta Rika, dan Malaysia (Labuan).

Mereka menolak menerapkan asas transparansi perbankan ataupun informasi mengenai pajak dalam skim exchange information.

OECD menyusun daftar negara atau teritori fax haien berdasarkan tiga kategori. Pertama, negara yang siap melakukan pertukaran informasi atau telah mengimplementasikan standar perpajakan dan perbankan dengan baik (white list).

Kedua, mereka siap untuk bertindak atau sudah berkomitmen, tetapi belum sepenuhnyamengimplementasikan standar perpajakan dan perbankan dengan baik (grey list).

Ketiga, negara atau teritori yang belum sepakat menerapkan asas transparansi atau belum mau berkomitmen (black list).

Surga pajak termasuk entitas politik yang menawarkan pengenaan pajak yang rendah dan pelindung bagi penghindar pajak. Surga pajak atau off-shore center menurut OECD Report on Harmful Tax Competition (1988) didefinisikan dalam empat kriteria. Dua kriteria surga pajak adalah pengenaan pajak yang rendah atau nihil dan memberikan kesempatan kepada nonresiden untuk menghindari pajak di negaranya dan melayani aktivitas ilegal.

Selain itu, surga pajak tidak melakukan pertukaran informasi perpajakan yang efektif berdasarkan UU atau praktik administratifnya dan tidak transparan dalam menjalankan kegiatannya.

Lebih rendah


Otoritas pajak di Indonesia lebih menekankan surga pajak adalah negara yang mengenakan tarif pajak lebih rendah 20% dari Indonesia dan negara yang tidak mengenakan pajak penghasilan.

Juga termasuk negara yang tidak mempunyai fa* treaty (P3B) dengan kita sebagaimana ketentuan yang mengacu pada Pasal 18 Ayat (3c) UU PPh Nomor 36 tahun 2008.

Dengan tidak memberikan informasi \mengenai pajak untuk kepentingan perusahaan dari negara lain, diartikan sebagai tempat pencucian uang (money taundry) yang masif.

Di Amerika banyakdipertanyakan mengapa institusi-institusi finansial yang diberikan jaminan (bail out) pemerintah masih saja tetap beroperasi di negara atau teritori tax i haven.

Tidak berlebihan mengapa tax haven tetap menarik minat investor asing karena uang mereka dapat diinvestasikan dengan aman dan tetap dijaga kerahasiaannya, serta terlindung dari institusi penyidik pajak internasional.

Diduga sekitar 400 kantor bank-bank internasional beroperasi di negara dan teritori tax haven. Sekitar dua pertiga dari hedge fund terkenal di bursa internasional pun mempunyai representatif office di sinitermasuk kurang lebih 2 juta perusahaan top dunia (elah mendaftarkan asetnya sedikitnya 10 triliun dolar AS di wilayah ini. Bagi Indonesia, penghapusan tax haivn akan banyak memberi manfaat dalam mengurangi insentif arus modal keluar yang bertujuan menghindari pajak. Dana-dana hasil kejahatan ataupun yang dicuri dari negara oleh sekelompok orang akan kembali dan memperkuat cadangan devisa negara, karena tidak ada tempat lagi untuk bersembunyi. Secara tidak langsung akan memperkuat nilai tukar rupiah, dan dapat meningkatkan investasi guna menunjang penerimaan pajak. Walaupun timbul


polemik, hal tersebut setidaknya membuka I lembaran baru I danj transparansi dalam sistem perpajakan internasional. Ada tekanan dari G-20 bahwanegara yang I menolak atau j tidak mau I bekerja sama I dalam i memberikan informasimengenai pajak akan dikenai sanksi berat, antara lain dicabut dari keanggotaan Bank Dunia dan IMF.

Masalah kerahasiaan bank (bank secrecy) dianggap salah satu yang memperburuk krisis keuangan global karena tax haven yang menyembunyikan aset-aset global. Ada dugaan rax haven ini memberikan tempat berlindung yang nyaman bagi para pejabat untukmenyembunyikan dana-dana ilegal hasil korupsi, ataupun pengusaha hitam yang melarikan dana dari kejaran aparat hukum di negerinya.

Dampak kerasnya OECD menerapkan asas transparansi infonnasi dengan membuat daftar negara atau teritori yang masuk daftar hitam membuat tiga negara Uni Eropa yang memiliki aturan kerahasiaan bank akan mengubah kerahasiaan undang-undang perbankan, yaitu Luksemburg, Austria, dan Belgia.

Sementara itu. Swiss dan Liechtenstein tetap masuk dalam grey list karena menyatakan baru siap mengubah kerahasiaan sistem perbankannya (Associated Press, 2-04-2009).

Singapura bergegas ke luar dari daftar abu-abu (grey list) dengan akan mengamendemen UU Pajak pada tahun ini juga. Singapura dianggap belum mengimplementasikan aturan pajak internasional sesuai dengan standar OECD, khususnya mengenai pertukaran mini in.im perpajakan melalui Avoidance of Double Taxation Agreements (DTAs). Di luar Singapura ada 38 negara yang dimasukkan dalam grey list (Media Indonesia. 7-04-2009).

Kemungkinan sanksi berat akan dikenakan kepada bank-bank di negara mana saja di dunia yang tetap melakukan transaksi dengan negara surga pajak yang masuk daftar hitam OECD.

Sanksi lainya, adanya pengucilan atas fax haven dari n.ikui ii.iki.ii internasional, khususnya di bidang keuangan dan perbankan. Akan dibuat daftar dan pengenaan sanksi bagi para investor, baik entitas maupun perorangan, yang melakukan transaksi dengan fax Inn m. sehingga dijauhi dari aktivitas bisnis internasional.

Saat ini dan ke depan, era kerahasiaan perbankan dan surga pajak (fax haven) sudah berakhir.

PENAGIHAN SABAGAI UJUNG TOMBAK PENERIMAAN PAJAK ?

Oleh : Mahadi Rahma Handika


Pernah terpikir dibenak saya, kapankah bangsa ini bisa terlepas dari lilitan utang luar negeri, yang sampai sekarang jumlahnya sudah mencapai ribuan trilyun?. Tegakah kita merelakan cucu atau cicit kita harus menanggung beban utang yang tidak pernah mereka lakukan. Bukan berarti harapan untuk menjadi bangsa yang mandiri telah tertutup rapat, tetapi untuk meraihnya kita harus berjuang sekuat tenaga untuk membayar hutang sekaligus mencukupi kebutuhan negara. Harapan besar itu ada di PAJAK, baik Pajak sebagai policy atau Pajak sebagai sumber penerimaan negara.

Di Indonesia, Pajak sebagai sumber penerimaan negara mulai dirasakan gregetnya, pada era pemerintahan reformasi. Direktorat Jenderal Pajak mulai melakukan langkah konkrit dengan membentuk Kantor Pelayanan Wajib Pajak Khusus untuk mengurangi kebocoran peneraimaan pajak , dengan memperbaiki sitem perpajakan, penggalian potensi Wajib Pajak yang intensif, dan perbaikan penghasilan bagi pegawainya. Setelah beberapa tahun berjalan, dinilai program ini cukup berhasil, sehingga dibentuklah KPP modern dengan sistem yang sama dengan KPP WP Khusus diseluruh Indonesia. Hingga kini KPP diseluruh Indonesia telah dimodernisasi. Diharapakan kedepan penerimaan Pajak akan terus meningkat, sehingga kita tidak tergantung lagi terhadap utang luar negeri.

Perbaikan intern KPP modern bisa dilihat dari berubahnya susunan seksi yang berada didalamnya. Kini ada sepuluh seksi di KPP modern yang terdiri dari Pelayanan, PDI, Pemeriksaan (Ditambah dengan kelompok fungsional), Waskon I, Waskon II, Waskon III, Waskon IV, Subag Umum, Penagihan dan Eksteksifikasi Perpajakan. Dari kesembilan seksi tersebut, telah mencakup seluruh tugas pekerjaan pekerjaan yang dahulu dikerjakan oleh tiga kantor yaitu, KPP, KPPBB dan Rikpa. Kini bisa dikatakan pelayanan all taxes dapat dilayani dalam satu meja di KPP. Bagi Wajib Pajak hal ini bisa menyederhanakan prosedur administrasi dan birokrasi, efisiensi waktu dan tenaga, meminimalisasi (bisa dikatakan nol) biaya tak resmi dan kemudahan pengurusan pajak.

Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.

Struktur Organisasi KPP Pratama

Tugas KPP yang sekarang mulai disoroti sebagai ujung tombak KPP modern adalah tugas Penagihan. Dalam sambutannya saat Rapim Kepala KPP seluruh Indonesia beberapa bulan yang lalu, Dirjen Pajak – Darmin Nasution mengungkapkan bahwa ”Penagihan diharapkan menjadi ujung tombak KPP dalam menghimpun penerimaan Pajak”. Dengan kata lain, Penagihan selama ini kurang dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan pajak. Padahal potensinya sangat besar, karena potensi tersebut sudah berwujud namun belum dapat dicairkan. Potensi tersebut berupa Surat Tagihan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak. Didalamnya telah tercantum jelas, berapa jumlah yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Tugas penagihan hanya mencairkan tagihan tersebut dari Wajib Pajak ke Kas Negara, yang sampai saat ini mencapai ratusan trilyun rupiah. Bila atas utang pajak tersebut dibayarkan separuhnya saja, betapa besar tambahan penerimaan negara tiap tahunnya.

Dalam struktur organisasi KPP modern, tugas Penagihan dijalankan fungsinya oleh seksi Penagihan. Tugas penagihan berawal dari adanya ketetapan yang diterbitkan kepada wajib pajak dan belum dilunasi. Atas ketetapan tersebut Penagihan bertugas menagih kepada Wajib Pajak agar membayar seluruh utang pajaknya atas ketetapan tersebut. Prakteknya diilapangan, Penagihan dilakukan mulai dari himbauan kepada Wajib Pajak, berupa surat himbauan atau konsultasi agar Wajib pajak melunasi hutang pajaknya. Apabila sampai dengan 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran STP/SKP wajib Pajak belum melunasi utang pajaknya, dilakukan tindakan Teguran. Dalam tahap ini, Teguran masih masuk dalam penagihan pasif, karena Petugas Pajak hanya melakukan upaya administrasi tanpa melakukan tindakan penagihan, dengan mendatangi dan menagih langsung kepada Wajib Pajak. Bila sampai dengan 21 hari sejak diterbitkan Surat Teguran tersebut Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajaknya, maka penagihan aktif mulai dilakukan oleh petugas pajak, dengan cara menerbitkan Surat Paksa dan diberitahukan kepada Wajib Pajak. Petugas penagihan aktif dilakukan oleh petugas khusus yang telah dibekali pendidikan khusus pula, yang disebut dengan Juru Sita. Juru Sita mendatangi Wajib Pajak dan memberitahukan Surat Paksa. Dalam Prakteknya kendala utama Juru Sita adalah sulitnya menemukan alamat Wajib Wajak ”yang sebenarnya”, sehingga Surat Paksa kurang berpengaruh signifikan terhadap kesadaran Wajib Pajak untuk melunasi Utang Pajaknya. Sering kali Surat Paksa berakhir di meja Kepala Kelurahan dimana Wajib Pajak terdaftar. Karena bila alamat Wajib Pajak tidak ditemukan, Juru Sita harus membuat surat keterangan yang ditanda tangani pejabat kelurahan yang menyatakan Wajib Pajak tidak ada ditempat terdaftar. Bila sudah seperti ini maka tindakan penagihan aktif selanjutnya tidak dapat dilakukan. Berbeda apabila Wajib Pajak ditemukan, bila 2 x 24 jam sesudah pemberitahuan Surat Paksa Wajib Pajak belum juga melunasi Hutang Pajaknya, maka tindakan penagihan aktif selanjutnya adalah penerbitan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) terhadap aset Wajib Pajak. Bila sampai dengan 1 hari sejak terbit SPMP Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajaknya, maka dilakukan Penyitaan terhadap aset Wajib Pajak. Kendala utama dalam tahap ini adalah tidak sebandingnya aset yang dimiliki wajib pajak dengan jumlah utang pajak Wajib Pajak. Setelah dilakukan Penyitaan, 14 hari sejak tanggal Pelaksanaan Sita dilakukan Lelang terhadap aset Wajib Pajak. Secara garis besar Tindakan Penagihan dapat digambarkan sebagai berikut :

Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.

    • Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.SKP/STP

      7 hari sejak jatuh tempo pembayaran

    • Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.Teguran

      21 hari sejak diterbitkan Surat Teguran

    • Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.Surat Paksa

                Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.2 X 24 Jam sesudah pemberitahuan Surat Paksa

    • Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.SPMP

      1 hari sejar terbit SPMP

    • Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.SITA

      14 hari sejak tanggal pelaksanaan lelang

    • Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.Lelang

    Sumber : SE Dirjen Pajak No SE-13/PJ.75/1998 tanggal 20-11-1998

Kondisi di lapangan sangat komplek bila dibandingkan dengan teori dan peraturan. Selain tindakan penagihan yang dipaparkan penulis diatas, masih terdapat tindakan penagihan yang dapat dilakukan kepada penunggak pajak, diantaranya adalah Pemblokiran rekening bank wajib pajak, penagihan seketika dan sekaligus, dan sandra badan (Gizeling). Pemblokiran lebih efektif dilakukan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki aset tetapi mempunyai cash flow yang besar. Kebanyakan Wajib Pajak seperti ini bergerak dalam bidang jasa. Kendala dilapangan adalah kerahasiaan bank yang tidak dapat ditembus oleh DJP. Penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila WP akan meningggalkan Indonesia, Akan membubarkan /dibubarkan negara perusahaannya atau memindahkan barang yang dimiliknya dan terjadi penyitaan barang milik WP yang dilakukan pihak ketiga, karena dalam hal ini DJP mempunyai hak mendahului. Gizeling dilakukan apabila WP akan meninggalkan Indonesia dengan niat menghindari kewajiban perpajakannya untuk selamanya.

Intinya, peran penagihan sebagai ujung tombak penerimaan pajak akan sangat efektif apabila law enforcment ditegakkan. Untuk mendukung upaya tersebut harus dibarengi dengan penciptaan SDM yang handal, Sarana dan prasarana yang memadai dan kesadaran WP itu sendiri. Sering kali ketika DJP mengalami masalah hukum dengan Wajib pajak, akan bermuara pada kalahnya DJP di pengadilan Pajak, karena banyak peraturan sumir antara peraturan diatasnya dan antara pajak dengan hukum perdata. Upaya Dirjen Pajak untuk memperbaiki sistem perundangan perpajakan di Indonesia harus kita apresiasi secara positif, karena perubahan tidak akan tercipta secara instan. Untuk itulah mari kita dukung upaya dirjen pajak, sehingga Direktorat Jenderal Pajak dapat menjadi tumpuan penerimaan negara, dan Penagihan sebagai ujung tombak penerimaan pajak.