Rabu, 30 Desember 2009

Disusun oleh :

Nama : M.Hasbi

NPM : 0800070054

Kelas : B


PERANAN PAJAK DALAM KEBIJAKAN FISKAL

Salah satu kebijakan penting yang berada di dalam otoritas pemerintah adalah kebijakan fiskal, dan pelaku dari kegiatan ekonomi secara makro ialah Negara. Negara berperan untuk mengatur kegiatan ekonomi agar terjaga stabilitas ekonomi dan mensejahterakan rakyatnya agar tidak mengalami kemiskinan dan pengangguran. Salah satu kegiatan ekonomi yang dilakukan pemerintah adalah membuat APBN, mengatur inflasi agar tidak terjadi krisis ekonomi, membangun ekonomi dengan pertumbuhan yang signifikan dan merata.

Pertumbuhan ekonomi sangat berpengaruh pada kebijakan fiskal yang terwujud dalam APBN. Ketika APBN digunakan sesuai dengan waktu dan tempat yang tepat maka inflasi yang akan terkendali dengan baik sehingga berdampak pada pertumbuhan yang signifikan dan merata dalam ruang lingkup makro yaitu Negara.

Untuk itu kita perlu mengkaji peranan pajak dalam kebijakan fiskal yang termasuk dalam sumber penerimaan suatu Negara. Agar kita mengetahui seberapa pentingkah pajak dalam suatu Negara yang merupakan sumber penerimaan Negara.

Pajak sudah dikenal sejak ratusan tahun atau lebih seribu tahun yang lalu. Konsep pajak pada masa itu jauh berbeda dengan masa sekarang. Intinya adalah pengalihan harta dari suatu pihak kepada pihak yang lain dengan paksaan yang digunakan untuk kepentingan pihak yang berkuasa. Secara bertahap dan melalui berbagai perubahan yang disertai dengan pemberontakan, revolusi atau perlawanan lain, lambat laun dalam masa yang lama, pajak yang berbentuk seperti dahulu mengalami perubahan. Dari ketakutan untuk membayar pajak sampai kepada kesadaran untuk membayar pajak. Sistem perpajakan mengalami pelbagai perubahan dari masa lampau hingga sekarang. Bila masa lalu pajak ditetapkan atas kehendak penguasa secara sepihak maka pajak pada masa sekarang telah berubah sebagai suatu keputusan berdasarkan dengan tujuan untuk kepentingan rakyat banyak.

Pengertian Pajak

Pajak adalah iuran wajib yang harus di keluarkan oleh wajib pajak yang berpenghasilan di atas PTKP. Pajak merupakan sumber penerimaan suatu Negara

Jenis-jenis pajak yang di pungut oleh pemerintah, antara lain:

      a. Pajak penghasilan (PPH)

      b. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa (PPN)

      c. Pajak penjualan atas barang mewah

      d. Pajak bumi dan bangunan (PBB)

      e. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan

      f. Bea materai

      g. Pajak daerah dan retribusi daerah

Fungsi pajak dibagi menjadi empat, yaitu fungsi budgetair (penerimaan),fungsi regular (mengatur), fungsi stabilitas dan fungsi redistribusi pendapatan.

      a. Fungsi budgetair (penerimaan) yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Pajak haruslah digunakan untuk membiayai kepentingan penyelenggaraan pemerintahan, oleh sebab itu pajak harus di atur senetral mungkin dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain.

      b. Fungsi regular (mengatur), pajak dsamping berfungsi mengisi kas negara, juga berfungsi untuk mengatur sebagai usaha pemerintah untuk turut campur dalam segala bidang guna tercapainya tujuan-tujuan lain pemerintah.

      c. Fungsi Stabilitas, dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

      d. Fungsi Redistribusi Pendapatan, Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat

Kebijakan Fiskal

Setiap tahun pemerintah menyiapkan anggaran keuangan yang disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja yang mempunyai fungsi sebagai kebijakan keuangan pemerintahan dalam memperoleh dan mengeluarkan uang yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan. Anggaran ini memperlihatkan jumlah pendapatan dan belanja yang diantisipasikan dalam tahun berikut.

Kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang di ambil oleh pemerintah dalam bidang Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN) dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian.

Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi negara, yang dapat juga diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya dalam merealisasikan tujuan-tujuan ekonomi.

Pada umumnya kebijakan fiskal suatu negara meliputi tindakan pemerintah tentang perpajakan, kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan bantuan-bantuan pemerintah. Dengan kebijakan fiskal pemerintah dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional, kesempatan kerja, investasi, distribusi penghasilan dan sebagainya.

Berbagai macam pendapatan yang diterima oleh Negara, antara lain:

      1. Penerimaan Dalam Negeri, terdiri atas:

        a. Pajak dalam negeri

        b. Pajak perdagangan internasional, yaitu Bea masuk dan Tarif ekspor

      2. Hibah

      Adalah penerimaan atau bantuan yang berasal dari swasta, baik dalam negeri maupu luar negeri dan pemerintah luar negeri.

Peranan Pajak Dalam Kebijakan Fiskal

Pajak merupakan bagian yang terbesar dari pendapatan Negara. Dari sudut Pemerintahan pertimbangan pajak dihubungkan dengan kebutuhan keuangan pemerintah untuk mampu menjalankan pemerintahan. Pandangan ini sering tidak sejalan dengan faktor keadilan maupun yang lain. Akibatnya pembayar pajak berusaha agar penghasilan lebih kecil dari yang seharusnya sehingga beban pajak yang dilaporkan juga menjadi lebih kecil.

Kemudian tentang kebijakan fiskal, adalah suatu komponen penting kebijakan publik. Kebijakan fiskal meliputi kebijakan pemerintah dalam penerimaan, pengeluaran dan utang. Peranan kebijakan fiskal dalam suatu ekonomi ditentukan oleh keterlibatan pemerintah dalam aktivitas ekonomi, yang khususnya itu kembali ditentukan oleh tujuan sosio-ekonominya, komitmen ideologi, dan hakikat sistem ekonomi.

Dalam literatur keuangan negara, ada beberapa teori yang memberikan pembenaran bagi negara untuk memungut pajak dengan cara dipaksa. Adam Smith dalam bukunya Wealt Of Nations mengemukakan empat asas dalam pemungutan pajak, yaitu:

      a. Equality (persamaan), asas ini menekankan bahwa setiap warga negara memiliki kewajiban memberikan sumbangsinya kepada negara, seanding dengan kemampuan mereka masing-masing, sesuai dengan perlindungan dan manfaat yang mereka terima dari negara.

      b. Certaintly (kepastian), asas ini menekankan bahwa setiap wajib pajak harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran pajak. Dalam hal ini kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subyek dan objek pajak.

      c. Convinency of payment (asas menyenangkan), pajak seharusnya dipungut dari wajib pajak pada waktunya dengan cara yang menyenangkan.

      d. Low cost of collection (asas efisiensi), asas ini menekankan bahwa biaya pemugutan pajak tidak boleh lebih besar dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan anggaran negara.

Dalam bidang ekonomi, untuk mencegah agar industri ekonomi dalam negeri karna tidak mampu bersaing dengan hasil produksi luar negeri, maka pemerintah dapat menerapkan pengenaan tarif yang tinggi bagi hasil produksi luar negeri yang ingin masuk ke dalam negeri.

Dalam bidang sosial, kecendrungan masyarakat untuk hidup mewah dapat di minimalisasi dengan mengenakan tarif pajak yang tinggi terhadap barang mewah. Dengan demikian, secara teoritis terjadi redistribusi pendapatan dalam masyarakat.

Kebijakan fiskal dianggap sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi prilaku manusia yang dapat dipengaruhi melalui insentif atau meniadakan insentif yang disediakan dengan meningkatkan pemasukan pemerintah ( melalui perpajakan, pinjaman, atau jaminan terhadap pengeluaran pemerintah). Dalam teori tentunya, sistem perpajakan yang digunakan oleh Negara-negara modern mengusulkan agar berdasarkan teori sosio-politik dan keuntungan sosial maksimum dengan tujuan kesejahteraan umum rakyat.

KESIMPULAN

Pajak pada hakikatnya mempunyai peranan penting dalam kebijakan fiskal. Melihat kebijakan fiskal tersebut, meliputi kebijakan pemerintah dalam penerimaan, pengeluaran, dan utang. Maka, pajak memang memberikan kontribusi yang signifikan. Ada beberapa fungsi pajak sendiri, selain berfungsi sebagai sumber utama penerimaan Negara (budgetary) seperti yang telah dikemukakan diatas, juga berfungsi sebagai alat pengatur (regulatory) dan mengawasi kegiatan swasta dalam perekonomian.

Begitu pentingnya peranan pajak sampai aktivitas rutin harian kita juga tidak ada yang terlepas dari sentuhan pajak, mulai dari tempat tinggal, tempat usaha, pendapatan bahkan perbelanjaan yang dikenakan PPN. Pajak selalu terkait dengan semua itu. Dengan input (penerimaan pajak) di semua masyarakat kini, hendaknya output ( penggunaan anggaran) oleh pemerintah juga dapat dirasakan oleh masyarakat luas.

Disusun oleh :

Nama : M.Hasbi

NPM : 0800070054

Kelas : B

DITJEN PAJAK HINDARI TAX HOLIDAY

Oleh : Chindrayani


DITJEN PAJAK HINDARI TAX HOLIDAY

Ditjen Pajak menyatakan pihaknya tidak memiliki rencana untuk menerapkan kebijakan pemberian insentif pembebasan pajak dalam masa tertentu {tax holiday) meskipun Kadin Indonesia gencar menuntut pemberlakuan fasilitas tersebut. Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan di beberapa negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) dan C20 kebijakan tax holiday kurang populer dan cenderung dihindari. "Kalau negara menerapkan tax holiday sama halnya kayak tax haven countries, jadi bisa dikucilkan gitu," katanya kepada Bisnis, pekan ini.

Dia menjelaskan saat ini pemerintah telah banyak memberikan insentif pajak di luar tax holiday yang jauh lebih besar manfaatnya bagi dunia usaha misalnya fasilitas investment allowance, lose carry forward, dan fasilitas penurunan tarif pajak."Insentif banyak disamping tax holiday. Jadi untuk sementara waktu kami [Ditjen Pajak] nggak punya rencana untuk itu (menerapkan tax holiday]," tegasnya.

Di pihak lain, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Fiskal dan Moneter Haryadi B. Sukamdani mengatakan sebenarnya saat ini beberapa negara masih memberlakukan kebijakan tax holiday untuk menarik investasi baru."Kaitan dengan G20 dan OECD yang ditentang adalah upaya penghindaran pajak khususnya melalui negara tax haven. Jadi ini hal berbeda," tegasnya.

Menurut dia, dalam Tav holiday akan diketahui besaran investasinya dan asal dananya serta diketahui besaran pajak yang akan diterima oleh negara pemberi tax holiday setelah habis masa tax holiday sehingga tidak ada kaitannya dengan praktik penghindaran pajak."Bila ada pandangan dari pihak G20/OECD yang menentang tax holiday oleh negara berkembang, hal tersebut lebih pada ketidaksukaan beberapa pihak mereka," jelasnya.

Membukukan Transaksi Leasing, Akuntansi ( PSAK 30 ) Versus Pajak

OLEH :

ERYC RICARDO S.

NPM. 0600070129







Membukukan Transaksi Leasing, Akuntansi ( PSAK 30 ) Versus Pajak

Perlakuan Akuntansi

PSAK No. 30 (Revisi 2007) tentang Sewa dalam paragraf 8 mengatur bahwa suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan jika sewa tersebut mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset. Suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa operasi jika sewa tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset.

Paragraf 10 menjelaskan bahwa klasifikasi sewa sebagai sewa pembiayaan atau sewa operasi didasarkan pada substansi transaksi dan bukan pada bentuk kontraknya. Contoh dari situasi yang secara individual atau gabungan dalam kondisi normal mengarah pada sewa yang diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan adalah :

  1. sewa mengalihkan kepemilikan aset kepada lessee pada akhir masa sewa;
  2. lessee mempunyai opsi untuk membeli aset pada harga yang cukup rendah dibandingkan nilai wajar pada tanggal opsi mulai dapat dilaksanakan, sehingga pada awal sewa dapat dipastikan bahwa opsi memang akan dilaksanakan;
  3. masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis aset meskipun hak milik tidak dialihkan;
  4. pada awal sewa, nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum secara substansial mendekati nilai wajar aset sewaan; dan
  5. aset sewaan bersifat khusus dan dimana hanya lessee yang dapat menggunakannya tanpa perlu modifikasi secara material.

Lebih lanjut, paragraf 16 menjelaskan bahwa untuk sewa pembiayaan pada awal masa sewa, lessee mengakui sewa pembiayaan sebagai aset dan kewajiban dalam neraca sebesar nilai wajar aset sewaan atau sebesar nilai kini dari pembayaran sewa minimum, jika nilai kini lebih rendah dari nilai wajar. Penilaian ditentukan pada awal kontrak.

Sedangkan dalam paragraf 29 diatur mengenai pencatatan sewa operasi, bahwa pembayaran sewa dalam sewa operasi diakui sebagai beban dengan dasar garis lurus (straight-line basis) selama masa sewa kecuali terdapat dasar sistimatis lain yang dapat lebih mencerminkan pola waktu dari manfaat aset yang dinikmati pengguna.

Untuk jenis transaksi leasing berupa transaksi jual dan sewa-balik (sale and lease back) dapat terjadi bahwa nilai aset tercatat aset yang dialihkan kepada leasing company berbeda dengan nilai pembelian/pembiayaan oleh leasing company tersebut.

Paragraf 56 PSAK No. 30 mengatur bahwa jika suatu transaksi jual dan sewa-balik merupakan sewa pembiayaan, selisih lebih hasil penjualan dari nilai tercatat tidak dapat diakui segera sebagai pendapatan oleh penjual-lessee, tetapi ditangguhkan dan diamortisasi selama masa sewa.

Perlakuan Perpajakan

Secara perpajakan, pencatatan transaksi leasing diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991. KepMenKeu ini hanya mengatur mengenai pencatatan transaksi leasing secara sale and lease back dengan hak opsi sehingga untuk jenis leasing lainnya misalnya Pembiayaan Konsumen harus mengacu kepada PSAK No. 30.

Dalam praktek sehari-hari, sering ditemukan kesalahpahaman dari accounting perusahaan sehingga dalam perpajakan memperlakukan transaksi Pembiayaan Konsumen layaknya Sale and Lease Back dengan Hak Opsi.

Menurut KepMenKeu No. 1169 tersebut, kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai Sewa Guna Usaha (SGU) dengan hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut :

  1. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama ditambaha dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
  2. Masa sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang modal Golongan I, 3 tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 tahun untuk Golongan Bangunan;
  3. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Ketentuan perpajakan memperlakukan SGU dengan Hak Opsi secara berbeda dari akuntansi. Adapun perbedaannya sebagai berikut :

Secara akuntansi, pencatatan dilakukan secara Capital Lease, dimana :

  1. aktiva leasing langsung dibukukan sebagai aktiva tetap leasing dan disusutkan sesuai dengan masa manfaatnya;
  2. lessee membebankan biaya penyusutan aktiva SGU dan beban bunga SGU

Secara perpajakan, dilakukan secara Operating Lease, dimana :

  1. aktiva tetap leasing baru diakui setelah lessee melaksanakan hak opsinya, dengan biaya perolehan sebagai dasar penyusutan sebesar nilai opsi tersebut
  2. lessee membebankan angsuran pokok dan bunga SGU sebagai biaya leasing

Sedangkan untuk transaksi pembiayaan konsumen, pencatatan secara akuntansi maupun perpajakan sama, yaitu dilakukan secara Capital Lease.

Contoh illustrasi (Sale and Lease Back dengan Hak Opsi) :

PT A memperoleh fasilitas pembiayaan berupa Sale and Lease Back dengan Hak Opsi atas 1 unit Mesin Press dengan rincian transaksi sebagai berikut :

Harga beli dari supplier = Rp 1.144.800.000; Pembayaran Uang Muka (D/P) kepada Supplier = Rp 300.000.000; Sisa Hutang kepada Supplier = Rp 844.800.000.

Pembiayaan oleh Leasing Company = Rp 844.800.000; Masa Angsuran = 20/11/2004 s/d 20/10/2007 (36 bulan); Angsuran Pokok = Rp 844.800.000; Bunga Angsuran = Rp 201.312.000

Jurnal Akuntansi (PSAK No. 30) :

Aktiva Tetap - Mesin 1.144.800.000
Kas 300.000.000
Hutang Supplier 844.800.000

(membukukan transaksi pembelian aktiva tetap dari supplier)

Hutang Supplier 844.800.000
Hutang Leasing 844.800.000

(membukukan transaksi pengalihan aktiva tetap ke leasing company)

Hutang Leasing 26.144.498
Biaya Bunga Leasing 12.412.502
Kas 38.557.000

(membukukan pembayaran angsuran bulanan SGU)

Jurnal Perpajakan (KepMenKeu No. 1169)

Aktiva Tetap - Mesin 1.144.800.000
Kas 300.000.000
Hutang Supplier 844.800.000

(membukukan transaksi pembelian aktiva tetap dari supplier)

Hutang Supplier 844.800.000
Jaminan Leasing 300.000.000
Aktiva Tetap Mesin 1.144.800.000

(membukukan transaksi pengalihan aktiva tetap ke leasing company)

Biaya Leasing 38.557.000
Kas 38.557.000

(membukukan pembayaran angsuran bulanan SGU)

Secara perpajakan, jika pada akhir masa leasing, lessee menggunakan hak opsinya maka dalam pembukuan lessee membukukan aktiva tetap sebagai dasar penyusutan sebesar Rp 300.000.000 yaitu sebesar nilai jaminan leasing. Selama masa SGU, jaminan leasing dibukukan sebagai Aktiva Lain-lain.

Sedangkan, jika transaksinya berupa Pembiayaan Konsumen, maka pencatatan akuntansi dan perpajakan harus sesuai PSAK No. 30 (jurnal pertama).

PAJAK DALAM ISLAM

PAJAK DALAM ISLAM

Oleh

Abu Ibrahim Muhammad Ali, edited by Ubaidillah (080070031)


Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang lainnya, Allah dengan tegas mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Nya, juga atas segenap makhluk-Nya. [1] Kezhaliman dengan berbagai ragamnya telah menyebar dan berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, dan ini merupakan salah satu tanda akan datangnya hari kiamat sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” [HR Bukhari kitab Al-Buyu : 7]

Di antara bentuk kezhaliman yang hampir merata di tanah air kita adalah diterapkannya sistem perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat secara umum, terutama kaum muslimin, dengan alasan harta tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama. Untuk itulah, akan kami jelaskan masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal berkaitan dengan pajak tersebut, di antaranya ialah sikap kaum muslimin yang harus taat kepada pemerintah dalam masalah ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

DEFINISI PAJAK

Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Al-Usyr [2] atau Al-Maks, atau bisa juga disebut Adh-Dharibah, yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak” [3]. Atau suatu ketika bisa disebut Al-Kharaj, akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus.[4]

Sedangkan para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau Al-Asysyar.

Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”[5]

MACAM-MACAM PAJAK

Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah :

- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.

- Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.

- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

- Pajak Barang dan Jasa

- Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)

- Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.

- Pajak Transit/Peron dan sebagainya.

ADAKAH PAJAK BUMI/KHARAJ DALAM ISLAM?

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam.

1). Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yang berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.

2). Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.

HUKUM PAJAK DAN PEMUNGUTNYA MENURUT ISLAM

Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.

Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-NIsa : 29]

Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]

Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.

Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.

“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]

Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib” [7]

Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716]

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti” [Lihat : Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi]

KESEPAKATAN ULAMA ATAS HARAMNYA PAJAK

Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja” [8]

PAJAK BUKAN ZAKAT

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian beliau melanjutkan : “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat..” [9]

Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya.

1). Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya [10]. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat.

2). Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir [11] karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin

3). Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak. [12].

4). Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang cicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya. [Lihat Al-Amwal oleh Abu Ubaid Al-Qasim]

PERSAKSIAN PARA SALAFUSH SHALIH TENTANG PAJAK

1). Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab : “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya” [Syarh Ma’anil Atsar 2/31]

2). Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah, di dalamnya ia berkata : “Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah.

“…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” [Hud : 85]

Kemudian beliau melanjutkan : “Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya (kepada kita), terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah yang akan membuat perhitungan dengannya” [Ahkam Ahli Dzimmah 1/331]

3). Imam Ahmad rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum muslimin, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam [13]

4) Imam Al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (4/366) : “Yang ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pungutan sepersepuluh adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, sesungguhnya ia bukanlah pajak. Zakat termasuk bagian dari harta yang wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang yang berhak)”

5). Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (10/61) :” Yang dimaksud dengan sebutan Shahibul Maks, adalah mereka yang biasa memungut pajak dari para pedagang yang berlalu di wilayah mereka dengan memberi nama Al-Usyr. Adapun para petugas yang bertugas mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau yang bertugas memungut upeti dari para ahli dzimmah atau yang telah mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka hal ini memang ada dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas dalam hal itu. Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan berbuat zhalim. Wallahu a’lam.

6). Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Nailul Authar (4/279) mengatakan : “Kata Shahibul Maks adalah para pemungut pajak dari manusia tanpa haq”.

7). Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan : “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.

PEMERINTAH BERHAK ATAS RAKYATNYA

Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya, Al-Muhalla (4/281) ; “Orang-orang kaya ditempatnya masing-masing mempunyai kewajiban menolong orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-miskin) apabila tidak ditegakkan/dibayar zakat kepada fakir-miskin..”

Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah.

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan ….” [Al-Isra : 26]

Dalam ayat di atas dan nash-nash semisalnya, seperti Al-Qur’an surat An-Nisa ; 36, Muhammad : 42-44 dan hadits yang menunjukkan bahwa : “Siapa yang tidak mengasihi orang lain maka dia tidak dikasihi oleh Allah” [HR Muslim : 66], semuanya menunjukkan bahwa orang-orang fakir dan miskin mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang-orang kaya. Dan barangsiapa (di antara orang kaya melihat ada orang yang sedang kelaparan kemudian tidak menolongnya, maka dia tidak akan dikasihi oleh Allah: [16]

BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?

Setelah jelas bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kezhaliman yang nyata, timbul pertanyaan : “Apakah seorang muslim menolak dan menghindar dari praktek pajak yang sedang berjalan atau sebaliknya?”

Jawabnya.

Setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan. Memang, pajak termasuk kezhaliman yang nyata. Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan pemipimpin tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur/batal, bahkan setiap muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya bukan kepada kemaksiatan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin : “Bolehkah melawan/memberontak?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan shalat” [15]

Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana seharusnya rakyat menyikapinya. Dalam sebuah hadits yang shahih, setelah berwasiat kepada kaum muslimin agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya (selagi dia muslim). [16]

Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.

“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847]

Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan : “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu) [17]

DIANTARA SUMBER PEMASUKAN NEGARA

Di antara sumber pemasukan negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ialah.

1). Zakat, yaitu kewajiban setiap muslim yang mempunyai harta hingga mencapai nishabnya. Di samping pemilik harta berhak mengeluarkan sendiri zakatnya dan diberikan kepada yang membutuhkan, penguasa juga mempunyai hak untuk menarik zakat dari kaum muslimin yang memiliki harta, lebih-lebih apabila mereka menolaknya, kemudian zakat itu dikumpulkan oleh para petugas zakat (amil) yang ditugaskan oleh pemimpinnya, dan dibagikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah : 60. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya amil-amil zakat yang ditugaskan oleh pemimpin kaum muslimin baik yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ataupun generasi berikutnya.

2). Harta warisan yang tidak habis terbagi. Di dalam ilmu waris (faraidh) terdapat pembahasan harta yang tidak terbagi. Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ahli faraidh. Pendapat yang pertama, harus dikembalikan kepada masing-masing ahli waris disesuaikan dengan kedekatan mereka kepada mayit, kecuali salah satu dari istri atau suami. Pendapat kedua mengatakan, semua harta yang tidak terbagi/kelebihan, maka dikembalikan ke baitul mal/kas negara. Walau demikian, suatu ketika harta yang berlebihan itu tidak bisa dikembalikan kepada masing-masing ahli waris, semisal ada seorang meninggal dan ahli warisnya seorang janda saja, maka janda tersebut mendapat haknya 1/6, dan sisanya –mau tidak mau- harus dikembalikan ke baitul mal. [18]

3). Jizyah, adalah harta/upeti yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya. [19]

4). Ghanimah dan fai’. Ghanimah adalah harta orang kafir (al-harbi) yang dikuasai oleh kaum muslimin dengan adanya peperangan. Sedangkan fai’ adalah harta orang kafir al-harbi yang ditinggalkan dan dikuasai oleh kaum muslimin tanpa adanya peperangan. Ghanimah sudah ditentukan oleh Allah pembagiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal : 41, yaitu 4/5 untuk pasukan perang sedangkan 1/5 yang tersisa untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya melalui baitul mal. Sedangkan fai’ pembagiannya sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr : 7, yaitu semuanya untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya (juga) melalui mal.

5). Kharaj, hal ini telah kami jelaskan dalam point : Adakah Pajak Bumi Dalam Islam?”, diatas.

6). Shadaqah tathawwu, yaitu rakyat menyumbang dengan sukarela kepada negara yang digunakan untuk kepentingan bersama.

7). Hasil tambang dan semisalnya.

Atau dari pemasukan-pemasukan lain yang dapat menopang anggaran kebutuhan pemerintah, selain pemasukan dengan cara kezhaliman semisal badan usaha milik negara.

PENUTUP

Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kita mengingat kembali bahwa kemiskinan, kelemahan, musibah yang silih berganti, kekalahan, kehinaan, dan lainnya ; di antara sebabnya yang terbesar tidak lain ialah dari tangan-tangan manusia itu sendiri. [Ar-Rum : 41]

Di antara manusia ada yang terheran-heran ketika dikatakan pajak adalah haram dan sebuah kezhaliman nyata. Mereka mengatakan mustahil suatu negara akan berjalan tanpa pajak.

Maka hal ini dapat kita jawab : Bahwa Allah telah menjanjikan bagi penduduk negeri yang mau beriman dan bertaqwa (yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya), mereka akan dijamin oleh Allah mendapatkan kebaikan hidup mereka di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak, sebagaimana Allah berfirman.

“Seandainya penduduk suatu negeri mau beriman dan beramal shalih, niscaya Kami limpahkan kepada merka berkah (kebaikan yang melimpah) baik dari langit atau dari bumi, tetapi mereka mendustakan (tidak mau beriman dan beramal shalih), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [Al-A’raf : 96]

Ketergantungan kita kepada diterapkannya pajak, merupakan salah satu akibat dari pelanggaran ayat di atas, sehingga kita disiksa dengan pajak itu sendiri. Salah satu bukti kita melanggar ayat di atas adalah betapa banyak di kalangan kita yang tidak membayar zakatnya terutama zakat mal. Ini adalah sebuah pelanggaran. Belum terhitung pelanggaran-pelanggaran lain, baik yang nampak atau yang samara.

Kalau manusia mau beriman dan beramal shalih dengan menjalankan semua perintah (di antaranya membayar zakat sebagaimana mestinya) dan menjauhi segala laranganNya (di antaranya menanggalkan beban pajak atas kaum muslimin), niscaya Allah akan berikan janji-Nya yaitu keberkahan yang turun dari langit dan dari bumi.

Bukankah kita menyaksikan beberapa negeri yang kondisi alamnya kering lagi tandus, tetapi tatkala mereka mengindahkan sebagian besar perintah Allah, maka mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah berupa berkah/kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi, mereka dapat merasakan semua kenikmatan dunia. Sebaliknya, betapa banyak negeri yang kondisi alamnya sangat strategis untuk bercocok tanam dan sangat subur, tetapi tatkala penduduknya ingkar kepada Allah dan tidak mengindahkan sebagian besar perintah-Nya, maka Allah hukum mereka dengan ketiadaan berkah dari langit dan bumi mereka, kita melihat hujan sering turun, tanah mereka subur nan hijau, tetapi mereka tidk pernah merasakan berkah yang mereka harapkan. Allahu A’lam.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya'ban 1427/2006. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]

__________

Footnotes

[1]. Lihat Ali-Imran : 117 dan HR Muslim 2578 dari jalan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu.

[2]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182

[3]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab Al-Arabi

[4]. Lihat Al-Mughni 4/186-203

[5]. Dinukil definisi pajak ini dari buku Nasehat Bijak Tuk Para Pemungut Pajak oleh Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, dan sebagai amanah ilmiah kami katakan bahwa tulisan ini banyak mengambil faedah dari buku tersebut.

[6]. Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.

[7]. Lihat Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani

[8]. Lihat Nasehat Bijak hal. 75-77 oleh Ibnu Saini, dan Al-washim wal Qawashim hal. 49 oleh Dr Rabi Al-Madkhali.

[9]. Lihat Nasehat Bijak Tuk Pemungut Pajak hal. 88 oleh Ibnu Saini

[10]. Lihat At-Taubah : 60

[11]. Lihat Al-Mughni 4/200

[12]. Asal perkataan ini diucapkan oleh Al-Jashshah dalam Ahkamul Qur’an 4/366

[13]. Lihat Iqadh Al-Himmam Al-muntaqa Jami’ Al-Ulum wal Hikam hal. 157

[14]. Asal perkataan ini dinukil dari perkataan Ibnu Hazm rahimahullah, dengan penyesuaian. (Lihat. Al-Muhalla bil-Atsar dengan tahqiq Dr Abdul Ghaffar Sulaiman Al-Bandari 4/281-282

[15]. HR Muslim : 1855 dari jalan Auf bin Malik Al-Asyja’i Radhiyallahu ‘anhu

[16]. Hadits no. 28 dalam kitab Al-Arbaun An-Nawawi diriwayatkan oleh Abu Dawud no 2676, dan Ahmad 4/126.

[17]. Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93

[18]. Lihat Al-Khulashoh Fi Ilmi Al-Faro’idh hal. 375-385

[19]. Lihat Lisan Al-Arab 2/280/281 cetakan Dar Ihya At-Turots

PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH

PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH

“Selamat!Anda mendapatkan hadiah berupa uang tunai seratus juta rupiah..Jangan lupa yaa, pajak ditanggung pemenang!”

Seringkali kita mendengar atau mengetahui perkataan seperti ini dari berbagai media, yang memberikan hadiah kepada pemenang kuis/ undian dengan embel-embel kata “pajak ditanggung pemenang”. Saya kira tidak ada seorang pun yang tidak senang jika mendapat hadiah, apalagi bila berupa uang atau benda berharga lainnya. Akan tetapi, akhir-akhir ini semakin marak terjadi penipuan yang mengatasnamakan pajak terhadap hadiah melalui telepon seluler. Untuk itu, kita sebagai pihak penerima hadiah sebaiknya perlu mencermati aturan main atas pajak hadiah ini.

Pada hakikatnya, hadiah akan menjadi tambahan kemampuan ekonomis bagi yang menerima, dan setiap penghasilan pasti ada pajaknya, termasuk hadiah.

Pajak atas hadiah merupakan withholding tax, yaitu pajak penghasilan yang dipotong dan disetor oleh pihak lain yaitu pihak yang memberikan hadiah. Penerima hadiah, bisa merupakan Orang Pribadi maupun Badan, hanya menerima jumlah netto dari hadiahnya saja. Yang berkewajiban untuk memotong dan menyetorkannya ke kas negara adalah pemberi hadiah.

Dasar Hukum:

  1. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000;
  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Hadiah Undian.
  3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-395/PJ/2001 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah Dan Penghargaan

Perlakuan perpajakan untuk hadiah dapat dibagi menjadi 3, yaitu:

  1. Pajak atas Hadiah Undian

    Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan melalui undian.

Tarif:

    25% (duapuluh lima persen) dari jumlah bruto hadiah atau nilai pasar hadiah berupa natura dan bersifat final.

      Jangan lupa, bagi yang tidak memiliki NPWP dapat dikenakan pajak dengan tarif 20% lebih tinggi dari yang seharusnya.

    Ketentuan lebih lanjut dapat dilihat juga pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Hadiah Undian.

  1. Pajak atas Hadiah atau Penghargaan Perlombaan

    Hadiah atau penghargaan perlombaan ini terdiri dari:

    1. Hadiah atau penghargaan perlombaan,

      yaitu hadiah atau penghargaan yang diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.

    1. Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya,

      yaitu hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah.

    1. Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi dalam kegiatan tertentu.

    Terhadap hadiah-hadiah di atas, dikenakan Pajak Penghasilan dengan ketentuan sbb:

    • Jika penerima hadiah adalah Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri:

      dikenakan PPh pasal 21 sebesar tarif PPh pasal 17 Undang-undang PPh.

    • Jika penerima hadiah adalah Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT:

      dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20% (duapuluh persen) dari jumlah bruto dengan memperhatikan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku,

    • Jika penerima hadiah adalah Wajib Pajak badan termasuk BUT:

      dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah penghasilan bruto

  1. Pajak atas hadiah langsung

    Hadiah langsung adalah hadiah dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.

    Hadiah langsung ini tidak termasuk dalam pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan Pajak Penghasilan.

Sementara itu, Bagi penyelenggara undian atau pemberi hadiah, perlu diperhatikan pula tentang Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan atas pajak hadiah tersebut. Jangan sampai pihak penyelenggara undian atau pemberi hadiah, yang bisa berupa orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi atau penyelenggara lainnya termasuk pengusaha yang menjual barang atau jasa yang memberikan hadiah dengan cara diundi ini lalai dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Saat terutang PPh atas hadiah adalah sebagai berikut:

  • PPh atas hadiah dan penghargaan terutang pada saat akhir bulan dilakukannya pembayaran atau diserahkannya hadiah, tergantung peristiwa yang terjadi lebih dahulu.
  • PPh dipotong oleh penyelenggara undian atau pemberi hadiah sebelum hadiah atau penghargaan diserahkan kepada yang berhak.
  • Penyelenggara undian atau pemberi hadiah wajib membuat dan memberikan bukti pemotongan PPh atas Hadiah atau Undian tersebut, rangkap 3:
    • lembar ke-1 untuk penerima hadiah;
    • lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak;
    • lembar ke-3 untuk Penyelenggara/ Pemotong.

Kemudian, penyelenggara undian atau pemberi hadiah wajib menyetorkan PPh yang telah dipotong dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya Pajak (secara kolektif). Setelah itu penyelenggara undian atau pemberi hadiah juga wajib melaporkan pembayaran pajaknya dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong terdaftar paling lambat tanggal 20 (duapuluh) bulan berikutnya setelah dibayarkannya atau diserahkannya hadiah undian tersebut.

Selamat menikmati hadiah Anda, dan jangan lupa mengingatkan kewajiban pemberi hadiah untuk menyetorkannya ke kas negara!

©2009

DWIYANG TERUNANING RATRI

NPM 0800070042

Pelaporan SPT via Internet? Kenapa Tidak..

Oleh : Nofrizal

Pelaporan SPT via Internet? Kenapa Tidak..

Menuju good governance melalui modernisasi pajak sesuai dengan perkembangan kondisi dan dunia usaha yang selalu berubah, Direktorat Jendral Pajak (DJP) merasa perlu untuk menyesuaikan dan menyempurnakan struktur organisasinya dengan melakukan modernisasi administrasi perpajakan salah satunya dengan menerapkan sistem teknologi informasi dalam pelayanan perpajakan. Satu contoh nyatanya adalah pelaporan pajak secara elektronik melalui internet atau yang terkenal dengan sebutan e-Filing.

Dalam hal cara penyampaian SPT, WP dapat menyampaikan SPT dengan cara:

  • Secara langsung atau ke KPP, atau
  • Melalui Pos secara tercatat, atau
  • Melalui jasa ekspedisi atau jasa kurir yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Pajak, atau
  • Menggunakan Media penyimpana elektronik seperti CD, atau
  • WP dapat menyampaikan SPT secara elektronik (e-filling) melalui satu atau beberapa perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) ditunjuk oleh Ditjen Pajak.

Dari sisi WP (WP) sendiri, WP akan mempersiapkan laporan keuangan yang akurat dan dokumen terkait. Setelah melakukan rekonsiliasi fiskal atas perhitungan laba-rugi komersial, kemudian dihitung besarnya pajak yang masih harus dibayar (PPh Pasal 29). Selanjutnya mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh. Hal ini tidak lah merepotkan jika WP tersebut adalah WP dengan kategori WP kecil, lalu bagaimana dengan WP-WP besar? Pastinya sungguh merepotkan dan tidak efisien karena WP besar tersebut, dalam hal ini perusahaan-perusahaan atau WP Badan, harus mengurus ribuan faktur pajak. Sebab selain memakan waktu yang lama, data yang dihasilkan juga tidak akurat.

Sedangkan bagi Ditjen Pajak, dalam waktu bersamaan akan mengelola penerimaan SPT Tahunan PPh dalam jumlah besar. Sehingga dibutuhkan sistem, administrasi dan pelayanan yang lebih cepat di seluruh KPP.

Oleh karena itu, Ditjen mengeluarkan terobosan untuk mengantisipasi hal tersebut yaitu dengan menyampaikan SPT secara elektronik atau yang dikenal dengan e-filing.

Dalam hal pelaporan SPT, secara umum yang selama ini dilakukan adalah dengan menyampaikan SPT tersebut langsung ke KPP, atau dikirim melalui pos tercatat. Namun terkait dengan Peraturan Dirjen Pajak No. KEP-88/PJ/2004 jo KEP-05/PJ/2005, telah ditetapkan cara lain tersebut, yakni secara elektronik, yang dikenal dengan nama e-Filing.

e-Filing adalah sebuah layanan pengiriman atau penyampaian SPT secara elektronik baik untuk Orang Pribadi maupun Badan (perusahaan, organisasi) ke Direktur Jendral Pajak melalui sebuah ASP (Application Service Provider atau Penyedia Jasa Aplikasi) dengan memanfaatkan jalur komunikasi internet secara online dan real time, sehingga WP tidak perlu lagi melakukan pencetakan semua formulir laporan dan tidak perlu lagi datang ke KPP karena WP telah mendapatkan nomor tanda terima elektronik ketika berhasil menyampaikan SPT melalui e-Filing kecuali di minta oleh KPP untuk menyampaikan kelengkapan SPT.

Dengan menggunakan e-Filing para WP dapat:

  1. Melaporkan pembayaran berbagai jenis pajak, seperti pajak Orang Pribadi (OP), Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
  2. Mendapatkan real time acknowledgment (konfirmasi pelaporan pajak), yang berarti nomor konfirmasi langsung didapatkan, nomor konfirmasi tersebut berupa Nomor Tanda Terima ASP (NTPA) dan Nomor Tanda Terima Elektronik (NTTE).

Untuk dapat menggunakan fasilitas e-Filing pelanggan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Sudah terdaftar sebagai WP (WP) atau sudah memiliki NPWP (Nomor Pokok WP);
  2. Memiliki komputer yang memadai dan terkoneksi ke Internet, sehingga computer dapat terhubung dengan web service ASP;
  3. Dalam komputer tersebut telah terinstal / menggunakan Internet Explorer (IE) versi 5.5 atau yang lebih baru yang nantinya akan dipakai untuk mengakses aplikasi pengiriman data SPT.

Dan syarat-syarat WP dapat menikmati layanan e-Filing adalah sebagai berikut:

  1. Memiliki Electronic Filing Identification Number (EFIN) yang diperoleh dari KPP, setiap KPP memiliki petugas khusus yang memiliki kewenangan, berupa username dan password aplikasi pendaftaran EFIN yang ada di aplikasi Portaldjp di KPP untuk mendaftarkan EFIN.
  2. Memiliki aplikasi SPT (e-SPT) dimana nantinya data elektronik yang ada di e-SPT tersebut yang akan di kirimkan ke DJP dan submission data ke ASP.
  3. Sertifikat Digital (Digital Certificates) yang dikeluarkan oleh DJP yang didapatkan setelah melakukan registrasi di ASP.

Selain itu, Perusahaan penyedia jasa aplikasi (ASP) harus memenuhi syarat sebagai berikut :

  • Berbentuk badan;
  • Memiliki izin usaha penyedia jasa aplikasi (ASP);
  • Mempunyai Nomor Pokok WP (NPWP) dan telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  • Menandatangani perjanjian dengan Direktorat Jenderal Pajak.

Adapun jenis SPT yang dapat di sampaikan melalui e-Filing adalah sebagai berikut:

  1. SPT Tahunan PPh Badan / OP;
  2. SPT Masa PPN;
  3. SPT Masa PPh meliputi Pasal 4 ayat (2), pasal 15, pasal 21, pasal 22, pasal 23, dan pasal 26.

Lalu bagaimanakah langkah teknis untuk dapat menikmati e-Filing tersebut?

Tata cara penyampaian SPT (e-SPT) secara elektronik (e-Filing) melalui perusahaan penyedia aplikasi diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jendral Pajak nomor: KEP-05/PJ./2005 tanggal 12 Januari 2005. Setiap WP (Orang Pribadi maupun Badan) dapat melakukan e-Filing dengan cara sebagai berikut:

  1. Mengajukan Permohonan ke KPP dimana WP terdaftar;

    Permohonan diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar sesuai dengan contoh surat permohonan sebagaimana tersebut pada Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 05/PJ/2005, dengan melampirkan fotokopi kartu Nomor Pokok WP atau Surat Keterangan Terdaftar dan dalam hal Pengusaha Kena Pajak disertai dengan fotokopi Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

    Permohonan dapat disetujui apabila :

    1. Alamat yang tercantum pada permohonan sama dengan alamat dalam database (master file) WP di Direktorat Jenderal Pajak; dan
    2. Bagi WP yang telah mempunyai kewajiban menyampaikan SPT, telah menyampaikan :
      • SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi atau Badan untuk Tahun Pajak terakhir;
      • SPT Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Tahun Pajak terakhir;
      • SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 6 (enam) Masa Pajak terakhir.

    Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan atas permohonan yang diajukan oleh WP untuk memperoleh Electronic Filing Identification Number (eFIN) paling lama 2 (dua) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.

    Dalam hal Electronic Filing Identification Number (eFIN) hilang, WP dapat mengajukan permohonan pencetakan ulang dengan syarat menunjukkan asli kartu Nomor Pokok WP atau Surat Keterangan Terdaftar dan dalam hal Pengusaha Kena Pajak, asli Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak .

  1. Pendaftaran dan Digital Certificate;

    WP yang sudah mendapatkan EFIN dapat mendaftarkan diri melalui satu atau beberapa Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang ditunjuk oleh DirekturJenderal Pajak.

    Setelah WP mendaftarkan diri, Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) mengirimkan kepada WP tata cara penyampaian SPT secara elektronik (e-Filing), Aplikasi e-SPT disertai dengan petunjuk penggunaannya dan informasi lainnya.

    WP meminta Sertifikat (digital certificate) ke Direktorat Jenderal Pajak melalui website Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP).

    Sertifikat (digital certificate) diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan Electronic Filing Identification Number (eFIN) yang didaftarkan oleh WP pada suatu Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP).

    Sertifikat (digital certificate) seterusnya akan digunakan sebagai alat yang berfungsi sebagai pengaman data WP dalam setiap proses penyampaian SPT secara elektronik (e-Filing) melalui suatu Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) ke Direktorat Jenderal Pajak.

  1. Penyampaian SPT

    SPT (e-SPT) yang telah diisi secara benar, jelas dan lengkap disampaikan secara elektronik melalui suatu Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) oleh WP ke Direktorat Jenderal Pajak.

    SPT yang telah dinyatakan lengkap oleh Direktorat Jenderal Pajak, kepada WP diberikan Bukti Penerimaan secara elektronik (NTTE). Akan tetapi jika SPT tidak lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan pemberitahuan kepada WP bahwa SPT yg di sampaikan tersebut tidak lengkap.

Mengenai kemanan data SPT yang disampaikan melalui e-Filing ASP, memberikan jaminan kepada WP bahwa SPT beserta lampirannya yang disampaikan secara elektronik dijamin kerahasiaannya, dan diterima di Direktorat Jenderal Pajak secara lengkap dan real time serta diakui oleh pihak WP dan Direktorat Jenderal Pajak. Sebab Data digital pelaporan pajak yang terkirim melalui jaringan komunikasi, akan mengalami proses acak (encryption) sehingga hanya sistem komputer DJP yang dapat menterjemahkan data acak tersebut. Verifikasi juga dilakukan untuk memastikan bahwa dalam perjalanan data tersebut tidak mengalami perubahan dari data asli yang dikirim, untuk menjamin keabsahan data, artinya e-Filing berupa “bertugas” mengantarkan data elektronik SPT yang di hasilkan melalui program aplikasi e-SPT dari WP ke DJP, tanpa mengubah isi data tersebut.

Lalu, apa saja keuntungan yang dapat dirasakan oleh WP apabila mereka menggunakan e-Filing sebagai sarana untuk melaporkan data SPT mereka?

  • e-Filing adalah merupakan sarana tercepat dalam melakukan pelaporan pajak (SPT), dengan proses real time dan dapat dilakukan setiap saat (24 jam sehari/7 hari seminggu), tanpa gangguan jaringan internet tentunya, sehingga dapat mempercepat proses transaksi, meningkatkan dan efisiensi, menekan biaya dan waktu.
  • Efisiensi waktu, WP cukup duduk di depan komputer mereka yang terhubung ke internet untuk melakukan pelaporan, tanpa harus mendatangi KPP.
  • WP menerima konfirmasi untuk laporan yang telah dilakukan langsung pada saat laporan tersebut diterima di DJP.
  • WP mendapatkan kesempatan akses ke berbagai kemudahan dan informasi perpajakan di Perusahaan ASP seperti tax calculator, kurs pajak, peraturan pajak terkini dan informasi lainnya seputar pajak.
  • Dari segi efisiensi meningkat karena jika terjadi kesalahan input data dan sebagainya aplikasi yg digunakan untuk pengisian laporan (e-SPT) akan melakukan cek dan dapat dilakukan perbaikan.
  • Mengurangi penggunaan kertas.
  • Penggunaan biaya pun akan berkurang jika dibandingkan dengan pelaporan SPT secara manual, seperti biaya komunikasi, transportasi dan pencetakan.
  • Waktu lebih sedikit dan biaya lebih rendah untuk pelaporan dan pemeliharaan data pajak.
    Selain dari sisi efisiensi biaya, biaya yang dikeluarkan untuk layanan e-filing terjangkau.

    Dari beberapa kelebihan tersebut, tentunya sistem e-Filing masih memiliki beberapa kelemahan, seperti koneksi internet yang terkadang lambat atau malah terputus, sehingga menggangu proses pelaporan SPT WP.

PPh Pasal 22

NAMA: HASAN MUSTOFA

KELAS/NPM : B/ 0800070048

PPh Pasal 22


PPh Pasal 22 diidentikkan dengan Pemungutan PPh atau PPh Pungut, padahal dalam kenyataannya lebih banyak aspek pemotongan di dalamnya. PPh Pasal 22 adalah Pemotongan/pemungutan PPh yang tergantung pada badan-badan pemungutnya dan transaksi tertentu, artinya bahwa apabila Anda bertransaksi tertentu dengan Wajib Pajak Badan Pemungut PPh Pasal 22 baru Anda akan terutang PPh Pasal 22. Transaksi tertentu yang dipotong/pungut PPh Pasal 22 ini meliputi:

  • pembelian barang dalam negeri;
  • impor barang dari luar negeri; dan
  • penjualan hasil produksi tertentu di dalam negeri

Pemungut PPh Pasal 22 ini adalah badan-badan yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat Penunjukan Khusus sebagai Pemungut PPh Pasal 22.


PEMBELIAN BARANG DALAM NEGERI

Pembelian barang dalam negeri yang terutang PPh Pasal 22 adalah pembelian oleh Badan Pemungut yang terdiri:

    • Dirjen Anggaran, Bendaharawan Pemerintah dan BUMN/BUMD yang dananya berasal dari APBN/APBD; dan
    • 10 Badan/BUMN tertentu meliputi: Bank Indonesia (BI), BPPN, BULOG, PT. TELKOM, PT.PLN, PT.Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, dan PERTAMINA, serta bank-bank BUMN, baik yang dananya berasal dari APBN maupun non APBN;

    dengan tarif PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari Harga Pembelian(tanpa PPN)

    • Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul, PPh Pasal 22 terutang sebesar 0,25% dari Harga Pembelian (tidak termasuk PPN)

PPh Pasal 22 ini dipungut dan disetorkan oleh pemungut pada saat pelaksanaan pembayaran dengan menggunakan Surat Setoran Pajak. SSP tersebut ditandatangani oleh Pemungut tetapi nama dan NPWP atas nama WP rekanan, SSP ini berfungsi sebagai sarana kredit Pajak.


IMPOR BARANG LUAR NEGERI

Badan Pemungut untuk transaksi impor ini adalah Ditjen Bea dan Cukai dan Bank Devisa.

Setiap Wajib Pajak yang melakukan impor akan dipungut PPh Pasal 22 Impor oleh Ditjen Bea dan Cukai, apabila tidak memunyai LKP (Lembar Kebenaran Pemeriksaan) atau menyetor sendiri PPh Pasal 22 impor yang terutang melalui Bank Devisa apabila mempunyai LKP. Pemungutan ini tidak berlaku apabila atas impor tersebut dikecualikan dari pemungutan PPh 22 atau mendapat fasilitas pembebasan.

Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah sebagai berikut:

    • 2,5% x Nilai Impor (bagi importir yang memiliki Angka Pengenal Impor (API))
    • 7,5% x Nilai Impor (bagi importir yang tidak menggunakan API)
    • 7,5% x Nilai Lelang (bagi pemenang hasil lelang impor yang tidak dikuasai)

Nilai impor = Harga Patokan Impor (CIF) + Bea Masuk + Pungutan Pabean lainnya

Untuk menghitung Nilai Impor digunakan kurs berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.


PENJUALAN HASIL PRODUKSI TERTENTU DI DALAM NEGERI

    • Pertamina serta badan usaha yang bergerak dalam bidang BBM jenis Premix, Super TT dan gas;
    • Penyalur / agen premium, solar, pelumas, gas, dan minyak tanah dari Pertamina, atau premix dari perusahaan penyedia premix wajib menyetor PPh Pasal 22 Final melalui bank persepsi sebelum penebusan DO (Delivery Order) ke Pertamina atau Perusahaan Penyedia premix tersebut.
    • PPh Final yang terutang = Tarif persentase x nilai penjualan
      Jenis Produk SPBU Pertamina SPBU Swasta
      Premium, Premix, Solar 0,25% x Harga Jual 0,3% x Harga Jual
      Minyak tanah 0,3% x Harga Jual
      Gas LPJ 0,3% x Harga Jual
      Pelumas 0,3% x Harga Jual
    • Apabila penjualan dilakukan kepada selain SPBU swasta/pertamina maka PPh Pasal 22 terutangnya bersifat tidak final.
    • Industri Semen, Baja, Otomotif, dan Kertas :

      - Industri produk berupa semen, baja, dan kertas wajib memungut PPh Pasal 22 pada saat transaksi penjualan produk-produk tersebut.


      - PPh Pasal 22 yang terutang adalah sebagai berikut :

      Pemungut PPh Dasar Hukum PPh Pasal 22
      Tidak Final
      Industri Semen KEP-401/PJ./2001 0,25% x Harga Jual
      Industri Baja KEP-01/PJ/1996 0,30% x Harga Jual
      Industri otomotif KEP-32/PJ./1995 0,45% x Harga Jual
      Industri kertas KEP-69/PJ./1995 0,10% x Harga Jual

WAJIB PAJAK BADAN TERTENTU SEBAGAI PEMUNGUT PPh PASAL 22 DARI PEMBELI ATAS PENJUALAN BARANG YANG TERGOLONG SANGAT MEWAH

  • Pemungut adalah Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungut wajib memungut PPh pada saat melakukan penjualan
  • Besarnya PPh adalah sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM dan tidak final.

Barang yang tergolong sangat mewah adalah:

a. pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000,00 ;

b. kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00 ;

c. rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500 m2 ;

d. apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2 ;

e. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, spart utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.


TIDAK DIKENAKAN PPh PASAL 22

  1. Impor barang atau penyerahan barang di dalam negeri yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.
  2. Impor sementara yang semata-mata untuk diekspor kembali (dilaksanakan oleh DJBC).
  3. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah (tanpa SKB)
  4. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos (tanpa SKB)
  5. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk ekspor.
  6. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara / KPKN (tanpa SKB)
  7. Impor kembali (re-impor) yang meliputi barang - barang yang telah diekspor kemudian di impor kembali dalam kualitas yang sama atau barang - barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan pengerjaan dan pengujian yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh DJBC.
  8. Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai.