Kamis, 07 Januari 2010

Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Boleh Memakai Norma

Oleh : Nur Kolis

WPOP yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp 600 juta dalam satu tahun buku wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali yang bersangkutan memilih menyelenggarakan pembukuan. Ketentuan itu tertuang pada pasal 14 UU PPh, hal mana besarnya peredaran bruto tersebut dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Definisi menjalankan kegiatan usaha yang dimaksud adalah usaha apapun di berbagai bidang entah pertanian, industri, perdagangan, atau lainnya. Sednagkan pekerjaan bebas umumnya terkait dengan keahlian atau profesi yang dijalankan endiri oleh tenaga ahli yang bersangkutan anatara lain: pengacara, akuntan, konsultan, notaris, atau dokter. Maksudnya, mereka membuka praktek sendiri dengna nama sendiri. Jika mereka hanya bekerja atau berstatus karyawan, misalnya seorang akuntan bekerja di Kantor Akuntan Publik, maka mereka tidak termasuk WPOP yang menjalankan pekerjaan bebas.

Jika omset setahun sudah mencapai Rp 600 juta atau lebih, tidak lagi termasuk penguasaha kecil, WPOP yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas itu tidak bisa lagi menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. Otomatis juga dia harus menyelenggarakan pembukuan, tidak bisa lagi sekadar melakukan pencatatan. Namun pejabat KPP tadi mensinyalir adanya pengusaha, WPOP, yang justru sengaja menurunkan omzetnya, malah ada yang sampai menolak order hanya gara-gara tidak mau terkena kewajiban pembukuan.

Bagi WPOP yang tidak memilih untuk menyeleggarakan pembukuan, tetapi melakukan pencatatan penghasilan netto atau pekerjaan bebasnya dihitung dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto. Untuk kepentingan itu, WPOP yang bersnagkutan wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma penghitungan penghasilan Netto kepada Dirjen Pajak paling lama tiga bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.

Pemberitahuan yang disampaikan dalam jangka waktu tersebut dianggap disetujui, kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata WPOP tersebut tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto. Jika WPOP tidak melakukan pemberitahuan, maka dia dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Dalam hal WPOP memilih menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan nettonya tidak lagi dihitung menggunakan Norma penghitungan Penghasilan Netto, melainkan laba-rugi fiskal berdasarkan pembukuannya. Ketentuan ini juga berlaku terhadap WPOP yang tidak memberitahukan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto kepada irjen Pajak sehingga dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Penggunaan Norma Penghitungan

Norma Penghitungan Penghasilan Netto ditetapkan oleh Dirjen Pajak dalam persentase tertentu berdasarkan jenis usaha dan kelompok wilayah masing-masing. Untuk saat ini, Norma Perhitungan Penghasilan Netto yang berlaku sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-536/PK./2000, hal mana kelompok wilayah dibedakan menjadi tiga, yaitu ibukota propinsi (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar, dan Pontianak), ibukota propinsi lainnya, dan daerah lainnya (selin ibukota propinsi).

Penghasilan netto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka presentase Norma Penghitungan Penghasilan Netto dengna peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam satu tahun. Dalam menghitung besarnya PPh yang terutang oleh WPOP, sebelum dilakukan penerapan tarif umum terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan netto.

Pejabat KPP tadi menjelaskan, bagi WPOP yang mempunyai lebihd ari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, penghitungan dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan pengelompokkan wilayah. Penghasilan netto mereka ini merupakan penjumlahan penghasilan netto dari masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas.

Bentuk dan tata cara pencatatan

Bentuk dan tata cara pencatatan, seperti ditetapkan dalam Pasal 28 ayat (12) UU KUP diatur dengan Keputusan Dirjen pajak, yang sekarang berlaku adalah KEP-520/PJ/2000. pada prinsipnya pencatatan harus mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

Pencatatan harus dibuat secara lengkap dan benar, serta didukung dengna dokumen yang dijadikan dasar penghitungan peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final. Pencatatan dalam suatu tahun pajak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

Pencatatan harus dapat menggambarkan sejumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Bagi WPOP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas jumlah peredaran atau penerimaan bruto dari masing-masing jenis usaha dan atau tempat usaha , pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas jumlah peredaran atau penerimaan bruto dari masing-masing jenis usaha dan atau tempat usaha yang bersangkutan.

WPOP yang melakukan kegiatan usaha yang bersnagkutan bebas yang boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan penghasilan Netto harus mencatat peredaran atau penerimaan bruto, penghasilan yang bukan objek pajak, dan penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final.

Sedangkan WPOP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas harus mencatat penghasilan bruto dan penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final.

Pencatatan yang dilakukan akan menjadi dasar penyusunan SPT Tahunan PPh, hal mana WPOP harus mencantumkan jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto setiap bulan selama setahun. Dalam hal WPOP menerima penghasilan sehubungan dengna pekerjaan, yang sudah dipotong PPh-nya oleh pemberi kerja, menyimpan formulir 1721-A1 sudah dianggap melakukan pencatatan, kemudian untuk SPT tahunan PPh-nya wajib dilampirkan fotokopi formulir 1721-A1.

Sanksi bagi WPOP yang tidak membuat pencatatan atau tidak sepenuhnya membuat pencatatan, atau tidak menyimpan bukti pencatatan, atau tidak menyimpan bukti pencatatan dipersamakan dengan sanksi bagi pengusaha yang wajib menyelenggarakan pembukuan-termasuk WPOP yang dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan karena tidak melakukan pemberitahuan kepada Dirjen Pajak-tetapi tidak menyelenggarakan pembukuan dengan baik.

Penghasilan netto bagi WP yang melanggar ketentuan pencatatan atau pembukuan dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan penghasilan Netto ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen)dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Seperti disinggung sebelumnya bagi WPOP yang tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan maupun melakukan pencatatan. Merujuk pada keputusan Menteri Keuangan No. 535/KMK.04/2000, WPOP yang tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh adalah mereka yang penghasilan nettonya tidka melebihi PTKP. Jadi ternyata, yang tidak wajib pembukuan maupun pencatatan adalah WPOP yang tidak wajib NPWP.

◊◊◊◊◊

PELUANG OPTIMALISASI PENERIMAAN NEGARA DENGAN PEMBEBASAN FISKAL DAN PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI PERPAJAKAN

NAMA : SILVIA RAHMA PUTRI

KLS : A

NPM : 0800070027

TUGAS ARIKEL PERPAJAKAN

Saat ini sedang berkembang wacana pemberlakuan bebas fiskal bagi warga negara Indonesia yang melakukan perjalanan ke luar negeri. Reaksi pertama atas keluarnya wacana itu adalah pandangan soal bakal anjloknya penerimaan negara dari sisi fiskal. Maklum, dengan mengenakan fiskal Rp 1 juta per orang, pemerintah bisa meraup penerimaan dalam jumlah lumayan untuk menopang APBN.

Namun, pemerintah cerdas dan taktis. Rencana pemberlakuan bebas fiskal itu bukannya tanpa syarat. Sebab, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan mewajibkan warga negara yang bepergian ke luar negeri memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Kebijakan Ditjen Pajak membebaskan biaya fiskal bagi pemilik NPWP diyakini berdampak positif meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Langkah itu merupakan insentif yang akan direspons masyarakat. Kepemilikan NPWP di Indonesia masih sangat rendah, yakni sekitar 6 juta.

Kebijakan Ditjen Pajak tersebut merupakan terobosan karena selama ini banyak orang Indonesia yang ke luar negeri tidak memiliki NPWP, padahal mereka termasuk kelompok ekonomi mampu. Langkah itu juga mempermudah mereka yang berusia di bawah 21 tahun untuk bepergian ke luar negeri karena mereka tidak akan terkena biaya fiskal lagi.

Diyakini. Ditjen Pajak tentu sudah menghitung plus-minus kebijakan itu. Kebijakan tersebut justru akan mendatangkan pemasukan negara yang lebih besar. Seperti diketahui, mulai 2009 semua calon penumpang penerbangan atau pelayaran menuju luar negeri akan dibebaskan dari kewajiban membayar biaya fiskal jika menunjukkan bukti kepemilikan NPWP.

Kebijakan itu diterapkan karena pemerintah dan DPR ingin mendorong penduduk Indonesia untuk memiliki NPWP sehingga jumlah pembayar pajak di dalam negeri akan semakin banyak.


Saat ini semua penumpang pesawat terbang atau pelayaran internasional yang berangkat dari bandara udara internasional di Indonesia wajib membayar biaya fiskal Rp I juta per orang. Itu merupakan salah satu sumber penerimaan negara bukan pajak bagi pemerintah.

Dengan adanya keputusan tersebut, semua penumpang berusia 21 tahun ke atas wajib membayar fiskal kecuali yang bersangkutan bisa menunjukkan NPWP-nya.

Jika ada anak atau istri yang hendak bepergian ke luar negeri, mereka bisa bebas fiskal asal menunjukkan NPWP ayah atau suaminya. Hal itu dimungkinkan karena Indonesia menganut prinsip satu NPWP dalam satu keluarga.

Dengan asumsi terdapat 10 persen saja warga negara Indonesia yang kerap bepergian ke luar negeri, berani terdapat sekitar 22 juta warga negara yang berpotensi menjadi wajib pajak dan oleh karenanya wajib memiliki NPWP. Ketika pada saat ini baru terdapat sekitar 6 juta wajib pajak, tentu potensi penerimaan negara dari para wajib baru akan semakin meningkat.

Bertambahnya jumlah wajib pajakdengan NPWP baru bakal mendongkrak penerimaan negara secara signifikan. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu repot-repot lagi mencari sumber penerimaan lain seperti utang luar negeri atau utang domestik.

Layanan Lebih Baik

Peningkatan penerimaan negara dari wajib pajak bakal mendorong pemerintah memberikan layanan lebih baik kepada warga pembayar pajak yang patuh.

Program-program pembangunan di bidang infrastruktur, seperti jalan tol, jalan raya, kelistrikan, rumah saku.gedung sekolah, pasar tradisional, dan tempat-tempat pelayanan umum lain, juga bisa digenjot.

Alhasil, kegiatan belanja pemerintah akan meningkat sehingga bisa mendorong roda perekonomian. Maraknya program pembangunan atas beban negara memberikan bukti nyata kepada para wajib pajak bahwa pajak yang mereka bayarkan benar-benar dikelola dengan efisien dan efektif untuk menunjang pelayanan publik.

Perbaikan layanan publik serta infrastruktur yang semakin baik akan menjadi faktor utama penarik investasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Skenario seperti itu sudah terbukti berhasil di negara-negara yang menerapkan standar pajak yang sifatnya investor friendly seperti di Denmark, Swiss. Norwegia, dan Austria.

Menjadi masuk akal bila negara-negara tersebut memiliki infrastruktur yang sangat baik sehingga mampu mengundang masuk investor asing dan turis mancanegara. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu negara eksotis yang layak dikunjungi turis asing karena kelak memiliki infrastruktur yang baik, nilai-nilai seni budaya yang tinggi, dan daerah-daerah tujuan wisata yang memiliki keunikan masing-masing.

Kembali ke soal pembebasan fiskal dan kewajiban memiliki NPWP, kini pilihannya terpulang kembali kepada warga negara yang kerap melakukan perjalanan ke luar negeri. Mereka bebas memilih antara membayar fiskal tanpa harus memiliki NPWP atau tidak membayar fiskal namun memiliki NPWP.

Lebih Bermanfaat

Secara rasional, memiliki NPWP jauh bermanfaat dan patut dilakukan daripada tidak memiliki NPWP. Hal yang sama juga berlaku bagi warga negara Indonesia yang tidak pernah atau jarang melakukan perjalanan ke luar negeri. Hingga sekarang, mungkin mereka tidak pernah ke luar negeri, tapi siapa tahu pada waktu-waktu mendatang mereka kerap melakukan perjalanan ke luar negeri baik* atas nama pribadi, keluarga, maupun kedinasan.

Bahkan, memiliki NPWP tetaplah lebih bijaksana ketimbang tidak memiliki sama sekali. Apalagi kelak pemerintah mensyaratkan kepemilikan NPWP bagi warga negara Indonesia yang hendak melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, bukan hanya kegiatan perjalanan ke luar negeri

PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI PERPAJAKAN

Seperti diketahui, Undang-undang No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (Undang-undang KUP) telah disahkan pada 19 Juni 2007, yang berlaku mulai 2008. Undang-undang tersebut merupakan perubahan ketiga atas UU No.6/1983.

UU No.28/2007 memberikan semacam insentif dalam rangka meningkatkan kepatuhan dengan cara mendorong wajib pajak orang pribadi untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dalam 2008.

Sebagai pelaksana UU itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.03/ 2008 tentang Tata Cara Penyampaian atau Pembetulan Surat Pemberitahuan dan Persyaratan Wajib Pajak yang Dapat Diberikan Penghapusan Sanksi Administrasi Dalam Rangka Penerapan Pasal 37A.

Peraturan Menteri Keuangan tersebut berisi dua hal pokok, pertama memberi kesempatan kepada orang pribadi untuk mendaftarkan diri dan menyampaikan surat pemberitahuan tahunan (SPT) 2007 dan sebelumnya.

Kedua, mendorong wajib pajak badan dan orang pribadi untuk lebih patuh dengan memberikan insentif berupa penghapusan sanksi administrasi berupa bunga bagi mereka yang melakukan pembetulan SPT untuk 2007 dan sebelumnya.

Sanksi administrasi merupakan denda atas keterlambatan pelunasan pajak, termasuk keterlambatan pembayaran PPh Pasal 29. Dalam rangka untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak diberikan perlakuan khusus yaitu mereka yang secara sukarela melakukan pembetulan SPT untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya, yang menyebabkan PPh kurang bayar maka dengan ketentuan ini sanksi administrasi berupa denda tidak ditagih.

Wajib pajak orang pribadi yang diberikan penghapusan sanksi administrasi dalam rangka mendaftarkan diri secara sukarela dan memasukkan SPT untuk 2007 dan sebelumnya, harus memenuhi persyaratan:

  • Secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun 2008;
  • Tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan;
  • Menyampaikan SPT Tahunan 2007 dan sebelumnya terhitung sejak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, paling lambat 31 Maret 2009; dan
  • Melunasi seluruh pajak kurang bayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian SPT Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf c, sebelum SPT Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

· Data dan informasi yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh orang pribadi tersebut di atas tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas pajak lainnya.

Terhadap SPT WP orang pribadi sebagai kelanjutan dari pendaftaran sukarela tersebut tidak akan dilakukan pemeriksaan kecuali:

  • Terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa SPT Tahunan PPh tersebut tidak benar; atau
  • SPT Tahunan PPh menyatakan lebih bayar atau rugi.

· Pembetulan SPT

Wajib pajak yang dicakup dalam rangka pemberian insentif berupa penghapusan sanksi administrasi sebagai akibat dari melakukan pembetulan SPT adalah wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:

Telah memiliki NPWP sebelum 1 Januari 2008;

Terhadap SPT PPh yang dibetulkan belum diterbitkan surat ketetapan pajak;

Terhadap SPT Tahunan PPh yang dibetulkan belum dilakukan pemeriksaan atau dalam hal sedang dilakukan pemeriksaan, pemeriksa pajak belum menyampaikan SPHP;

Telah dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, tetapi pemeriksaan bukti permulaan tersebut tidak dilanjutkan dengan tindakan penyidikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tentang tindak pidana di bidang perpajakan;

Tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan;

  • Menyampaikan SPT Tahun pajak 2006 dan sebelumnya paling lambat 31 Desember 2008;
  • Melunasi seluruh pajak yang kurang bayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian SPT PPh sebagaimana dimaksud .

Dalam hal wajib pajak yang melakukan pembetulan SPT PPh yang sedang dilakukan pemeriksaan tetapi SPHP belum disampaikan maka pemeriksaan dihentikan kecuali untuk pemeriksaan SPT atas pajak lainnya yang menyatakan lebih bayar, atau pemeriksaan tersebut tetap dilanjutkan berdasarkan pertimbangan Dirjen Pajak.

Ketentuan ini juga berlaku bagi SPT PPh yang tidak sedang dilakukan pemeriksaan, tetapi atas SPT jenis pajak lainnya untuk periode yang sama sedang dilakukan pemeriksaan. Terhadap SPT yang dibetulkan berdasarkan ketentuan tersebut di atas tidak akan dilakukan pemeriksaan kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa pembetulan SPT PPh tersebut tidak benar. Apabila terhadap pembetulan SPT dilakukan pemeriksaan karena terdapat data yang menunjukkan pembetulannya tidak benar, Dirjen Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak atas seluruh kewajiban perpajakannya.

· Pelaksanaan dari ketentuan tersebut akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

FUNGSI DAN MANFAAT NPWP Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini. (NOMOR POKOK WAJIB PAJAK)


Nama : Eka Kusuma Sumbodo

          NPM : 0600070034

          Kelas : B (Brevet Pajak A&B)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI TUNAS NUSANTARA

TAHUN AJARAN 2009 / 2010

I. Pendahuluan

Seiring dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan tax ratio,
sejak tahun 2001 pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan untuk
ekstensifikasi dibidang perpajakan. Selain melalui kegiatan
canvassing, upaya eksensifikasi juga dilakukan DJP dengan
cara "memaksa" Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memiliki NPWP secara
system, misalnya kewajiban memiliki NPWP sebagai salah satu syarat
dalam permohonan kredit perbankan bagi wajib pajak orang pribadi.

Dalam siaran pers DJP tanggal 25 Agustus 2005 ditegaskan bahwa
berdasarkan informasi dari Pusat Data Pajak dan sistem komputerisasi
pajak, DJP akan memberikan NPWP (secara jabatan) terhadap:
a. Pemilik tanah dan bangunan mewah;
b. Pemilik mobil mewah;
c. Pemilik kapal pesiar atau yacht;
d. Pemegang saham, baik di dalam negeri maupun di luar negeri;
e. Orang asing;
f. Pegawai tetap yang berpenghasilan di atas PTKP; dan lain-
lain, yang belum ber-NPWP.

Pemberian NPWP secara jabatan tersebut akan dilakukan sejak tanggal 1
September 2005. Dengan demikian diharapkan jumlah Wajib Pajak akan
mencapai 10 juta Wajib Pajak pada tanggal 20 Oktober 2005.

Apabila pemberian NPWP tersebut dilakukan secara serentak, maka dalam
waktu singkat akan terdapat banyak Wajib Pajak baru yang belum atau
bahkan tidak mengetahui tentang hak dan kewajiban-kewajiban yang
harus dilakukannya selaku wajib pajak (setelah memperoleh NPWP).
Pemungutan pajak di Indonesia menggunakan system self assessment,
oleh karena itu wajib pajak harus memahami hak dan kewajiban
perpajakannya agar dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan
baik. Hal ini agar wajib pajak terhindar dari masalah-masalah yang
mungkin timbul dikemudian hari yang mungkin merugikan.

II. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak secara umum

Berdasarkan undang-undang no 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan
tatacara perpajakan, sebagaimana terakhir telah diubah dengan undang-
undang no 16 tahun 2000, terdapat hak dan kewajban wajib pajak
sebagai berikut :

a. Kewajiban Wajib Pajak.

1) Mendaftarkan diri ke KPP untuk memperoleh NPWP.

Dalam rangka program extensifikasi, meskipun Wajib Pajak tidak
(belum) mendaftarkan diri, bagi wajib pajak yang telah memenuhi
syarat untuk memiliki NPWP maka akan diberikan NPWP secara jabatan.
Apabila kepada wajib pajak telah diberikan NPWP secara jabatan, maka
telah menggugurkan kewajiban wajib pajak untuk mendaftarkan diri.

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak
hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain daripada itu,
Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban
dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak
diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya.

2) Wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak.

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang memenuhi syarat untuk
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN, wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk
mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga
berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) serta untuk pengawasan
administrasi perpajakan.

3) Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, formulir Surat
Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor di lingkungan DJP dan
tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang
diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak.

4) Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.

Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata
uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor
pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan. Bagi
Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata
uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam
bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.

5) Wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang ke kas
negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Persepsi.

Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak

6) Wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.

Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan. Dikecualikan dari kewajiban pembukuan,
tetapi diwajibkan melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Pembukuan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan usaha
harus disimpan oleh wajib pajak selama 10 (sepuluh) tahun. Karena
selama jangka waktu tersebut DJP masih dapat melakukan pemeriksaan.

7) Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, Wajib Pajak wajib :
• Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas
Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
• Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
• Memberikan keterangan yang diperlukan.


b. Hak Wajib Pajak

1) Wajib Pajak berhak untuk menerima tanda bukti pelaporan SPT.
Untuk Surat Pemberitahuan yang disampaikan dengan pos tercatat
melalui kantor pos dan giro, maka tanggal pegiriman dianggap sebagai
tanggal penerimaan.

2) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penundaan
penyampaian SPT. Apabila Wajib Pajak ternyata tidak dapat
menyampaikan atau menyiapkan laporan keuangan tahunan atau neraca
perusahaan beserta laporan laba rugi dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis
penyusunan laporan keuangan, sulit untuk memenuhi batas waktu
penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah
ditentukan, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar memperoleh
perpanjangan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan. Perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan hanya dapat diberikan paling
lama 6 (enam) bulan.

3) Wajib Pajak berhak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan yang
telah disampaikan ke KPP. Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat
Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak
untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri dalam jangka waktu 2
(dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan.

4) Wajib Pajak dapat untuk mengajukan permohonan penundaan dan
permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan
kemampuannya. Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak
dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan
yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan, meskipun tanggal jatuh tempo pembayaran telah
ditentukan. Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk
paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang
benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.

5) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penurunan
angsuran PPh Pasal 25.

6) Wajib pajak berhak untuk mengajukan permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak.

7) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan pembetulan
salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam
Surat Ketetapan Pajak.

8) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan keberatan atas Surat
Ketetapan Pajak dan memperoleh kepastian terbitnya keputusan atas
surat keberatannya. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya
kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang
dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib
Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu 3
bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak yang diajukan keberatan

9) Wajib Pajak berhak mengajukan banding ke pengadilan pajak
atas keputusan keberatan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.

10) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penghapusan
atau pengurangan pengenaan sanksi perpajakan serta pembetulan
ketetapan pajak yang salah atau keliru.

11) Wajib Pajak berhak memberikan kuasa khusus kepada orang lain
yang dipercayainya untuk mewakilinya dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.


III. Kewajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.

Kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak setelah terdaftar di
Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki NPWP adalah melakukan pembayaran
dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya. Selain itu, wajib pajak juga memiliki kewajiban
untuk memungut/memotong dan menyetorkan pajak atas penghasilan yang
dibayarkan/ terutang kepada pihak lainnya. Selain Pajak Penghasilan,
bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
juga memiliki kewajiban dibidang PPN dan PPn BM.

Kewajiban pajak yang harus dilakukan bagi masing-masing "jenis" wajib
pajak berbeda-beda. Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang
kewajiban pajak bagi wajib pajak orang pribadi, baik yang berstatus
sebagai karyawan maupun orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
serta kewajiban pajak bagi wajib pajak badan.

A. Kewajiban Pajak Bagi Wajib pajak orang pribadi Karyawan yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan).


1. WPOP Karyawan yang hanya memperoleh penghasilan dari satu
pemberi kerja.


Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas (berstatus sebagai karyawan) dan hanya bekerja pada
satu pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk membayar pajak
sendiri setiap bulan atas penghasilan yang diterima/ diperoleh
sehubungan dengan pekerjaan. WP Orang Pribadi ini juga tidak memiliki
kewajiban untuk membuat laporan (Surat Pemberitahuan Masa) ke Kantor
Pelayanan Pajak setiap bulan.

Perusahaan tempat wajib pajak bekerja (pemberi kerja) memiliki
kewajiban untuk memotong pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan
yang dibayarkan/terutang kepada karyawannya setiap bulan dan
menyetorkannya ke Kas Negara serta melaporkannya ke kantor pelayanan
pajak setempat. Oleh karena itu gaji yang diterima oleh wajib pajak
orang pribadi yang berstatus sebagai karyawan adalah gaji bersih
setelah dipotong pajak penghasilan. Pajak yang terutang atas
Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dikenal dengan istilah PPh
Pasal 21.

Kewajiban yang harus dilakukan oleh WPOP yang berstatus sebagai
karyawan adalah menyampaikan laporan tahunan (menyampaikan SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi) dengan formulir yang telah disediakan.
(Form 1770-S). Apabila wajib pajak orang pribadi ini tidak
menerima/memperoleh penghasilan lain selain dari penghasilan yang
diperoleh dari satu pemberi kerja, maka pada saat menyampaikan SPT
Tahunan tidak akan terdapat PPh yang kurang dibayar.

SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini paling lambat harus dilaporkan 3
bulan setelah berakhirnya tahun pajak (pada tanggal 31 Maret tahun
berikutnya). Jika Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT 1770-S
tersebut maka akan dikenakan sanksi administrasi atas keterlambatan
sebesar Rp 100.000,-. Besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT
PPh OP ini dalam RUU Pajak th 2005 diusulkan menjadi sebesar Rp
250.000,-

Bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT
tetapi isinya tidak benar, atau tidak lengkap, atau melampirkan
keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara diancam dengan sanksi pidana dan
denda. Bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan
SPT tetapi isinya tidak benar karena kealpaannya, diancam dengan
sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling tingi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.

Sementara bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan
surat pemberitahuan atau menyampaikan surat pemberitahuan dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana
penjara paling lama enam (enam) tahun dan denda paling tinggi 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

2. WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang bukan
obyek PPh Final.


Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan
lain selain dari satu pemberi kerja, baik karena bekerja pada lebih
dari satu pemberi kerja maupun memiliki penghasilan lain selain dari
pekerjaan dan penghasilan lain tsb bukan merupakan obyek PPh final,
maka selain diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga
memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh pasal 25 setiap
bulan.

Besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib pajak dihitung
berdasarkan PPh yang terutang dalam SPT Tahunan tahun sebelumnya
setelah dikurangi dengan pemotongan yang dilakukan pihak lain yang
dapat dikreditkan dan dibagi 12 (dua belas).
Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 25 adalah tanggal 15 bulan
berikutnya. Jika jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka
pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pembayaran
Angsuran PPh pasal 25 ini, wajib dilaporkan ke kantor pelayanan
pajak tempat wajib pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya. Apabila jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur maka
penyampaian SPT Masa PPh pasal 25 harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya.

Apabila wajib pajak terlambat melakukan pembayaran PPh pasal 25, maka
akan dikenakan sanksi bunga sebesar 2%/bulan, maksimum 24 bulan
(48%). Sedangkan atas keterlambatan penyampaian SPT Masa PPh 25 akan
dikenakan sanksi sebesar Rp 50.000/ SPT Masa. Seperti halnya dengan
sanksi keterlambatan penyampaian SPT Tahunan, dalam RUU Perpajakan th
2005 besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT masa diusulkan
menjadi sebesar Rp 100.000,-/ SPT Masa.

3. WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang merupakan
obyek PPh Final.


Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan
lain selain dari satu pemberi kerja, dan memiliki penghasilan lain
yang merupakan obyek PPh final, maka selain diwajibkan untuk
melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga memiliki kewajiban untuk
membayar dan melaporkan PPh final pasal 4 (2).

Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran
PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib
pajak) adalah sebagai berikut :

• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
WPOP Karyawan yang menerima/memperoleh penghasilan dari transaksi
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan membayar PPh
final pasal 4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi
pegalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini adalah sebesar 5% dari
nilai yang tertinggi antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan
nilai NJOP.

• Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang dierima/diperoleh oleh WPOP karyawan dari kegiatan
persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final
pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh
yang terutang atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan
atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan.
Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari
jumlah bruto nilai persewaan. Apabila penyewa adalah pemotong pajak
(i.e. WP Badan), maka pelunasan PPh final atas transaksi ini
dilakukan melalui pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak
(penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final
pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima penghasilan) .

Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah
tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah
tanggal 20 bulan berikutnya.

• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ;
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP Karyawan dari kegiatan
Jasa Konstruksi (sebagai usaha sampingan misalnya), Apabila pemakai
jasa bukan merupakan pemotong pajak, maka PPh-nya wajib dibayar
sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan
pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya
dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong pajak
(Pemakai jasa) wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh final
pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa
konstruksi adalah sbb :

a) Jasa Perencanaan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari jumlah
bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi ==> 2% (dua persen) dari jumlah
bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari jumlah
bruto.


B Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas.


Bagi wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha atau
pekerjaan bebas, setelah terdaftar di kantor pelayanan pajak dan
memperoleh NPWP maka akan memiliki kewajiban pajak yang harus
dilaksanakan. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja selain diwajibkan untuk
membayar dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan
dan melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan
atau terutang kepada karyawannya.

Dalam hal WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha kena pajak juga memiliki kewajiban
dibidang PPN. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang telah
ditunjuk oleh dirjen pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23 dan PPh
Final pasal 4 (2), juga memiliki kewajiban dibidang PPh 23 dan PPh
Final Pasal 4 (2).

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak Orang Pribadi yang
melakukann kegiatan usaha/pekerjaan bebas setelah memperoleh NPWP
adalah sebagai berikut :

1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)

Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka memiliki
kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa/ bulanan ke
kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar. Jenis SPT Masa
yang harus disampaikan oleh wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha/pekerjaan bebas terdiri dari :

a. SPT Masa PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Besarnya
angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
yang lalu, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut
oleh pihak lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang
dapat dikreditkan; dibagi 12 (dua belas)

Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari
usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan (Wajib Pajak
baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur, maka pembayaran
Ph Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan
batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Apabila tanggal 20
jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-hari
yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh pemerintah.
Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT Masa PPh
Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah satu SPT Masa
yang wajib disampaikan oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha/pekerjaan bebas, meskipun tidak terdapat pembayaran
(SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.

b. SPT Masa PPh Pasal 21/26

PPh pasal 21/26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan ketentuan
Pasal 21 Undang-undang PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan
dilaporkan oleh pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara
kegiatan.

Wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan
bebas selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh wajib
pajak orang pribadi; wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26.
Batas waktu penyetoran PPh Pasal 21/26 adalah tanggal 10 bulan
berikutnya, namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka
penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan
batas waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila tanggal
20 jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 21/26
harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 21/26 juga merupakan SPT Masa yang wajib
disampaikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas meskipun tidak terdapat penyetoran PPh Pasal
21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan SPT Masa
PPh Pasal 21/26 atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26,
maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk
satu SPT Masa.

Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan pemotongan,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi diatur dalam Keputusan
Dirjen Pajak No KEP-545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

c. SPT Masa PPN

Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta menyampaikan SPT
Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPN adalah 20
hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya).
Seperti halnya pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran
PPN jatuh pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas waktu
pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPN wajib
dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib
Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meskipun
Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPN
maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu
SPT Masa.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak PPN
dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

o Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
o Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam
satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku;
o Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

Ketentuan mengenai PPN diatur dalam Undang-undang no 8 tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No 18
tahun 2000 beserta peraturan pelaksanaannya.


d. SPT Masa PPh Pasal 23/26

Direktur Jenderal Pajak dapat menunjuk Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23. Wajib
Pajak Orang Pribadi tertentu tersebut terdiri dari :

o Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah
(PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan,
yang melakukan pekerjaan bebas;
o Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan
pembukuan.

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu tersebut diatas yang
telah ditunjuk Dirjen Pajak, akan mendapatkan urat Penunjukan Sebagai
Pemotong PPh Pasal 23 dari Kantor Pelayanan Pajak tempat WP teraftar.
WPOP tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh 23, Wajib
memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa.

Apabila terdapat pembayaran/pembebanan biaya berupa sewa, maka WPOP
tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh 23 oleh Dirjen
pajak, diwajibkan untuk memotong, menyetor dan melaporkan PPh 23 yang
terutang atas pembaywan sewa tersebut.

Sesuai dengan ketentuan pasal 26 undang-undang PPh, atas penghasilan
berupa :
a. Deviden;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya ;
yang diterima atay diperoleh oleh Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.

Apabila WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas melakukan
transaksi dengan wajib pajak luar negeri sehubungan dengan
penghasilan tersebut diatas maka memiliki kewajiban untuk memotong,
menyetor dan melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan tersebut
(PPh Pasal 26).

Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh adalah
tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT
Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan berikutnya. Apabila
tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal 23/26 jatuh pada hari libur
maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Namun
apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka
laporan harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP apabila
terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26. Dengan demikian
tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.

e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)

1) PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib
pajak sendiri

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang memperoleh penghasilan yang merupakan obyek PPh
final, maka diwajibkan untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal
4 (2) yang tertuang atas penghasilan tersebut.
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran
PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib
pajak) adalah sebagai berikut :

• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
WPOP yang menerima/memperoleh penghasilan dari transaksi pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan membayar PPh final pasal
4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi pegalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan ini adalah sebesar 5% dari nilai yang
tertinggi antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan nilai
NJOP.

• Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan persewaan
tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final pasal 4 (2).
Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh yang terutang
atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan
wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang
terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto
nilai persewaan.

Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka pelunasan
PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui pemotongan oleh pihak
penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan
(Bukti Potong PPh Final pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima
penghasilan) .

Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah
tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah
tanggal 20 bulan berikutnya.

• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas Penghasilan
yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan Jasa Konstruksi, PPh
yang terutang atas penghasilan tersebut wajib dibayar sendiri oleh
wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan pemotong pajak,
maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya dilakukan
melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong pajak (Pemakai jasa)
wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh final pasal 4 (2) yang
terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :

4% (empat persen) dari jumlah
èa) Jasa Perencanaan Konstruksi
bruto;
2% (dua persen) dari jumlah
èb) Jasa Pelaksanaan Konstruksi
bruto;
4% (empat persen) dari jumlah
èc) Jasa Pengawasan Konstruksi
bruto.


2) PPh final atas penghasilan yang terutang/dibayarkan kepada
pihak lain.

Dirjen Pajak dapat menunjuk Wajib pajak Orang Pribadi tertentu
sebagai pemotong PPh Final Pasal 4 (2) atas transaksi persewaan Tanah
dan atau bangunan. Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang dapat
ditunjuk sebagai pemotong PPh atas transaksi persewaan tanah dan atau
bangunan oleh DJP adalah:

• Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah
(PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan,
yang melakukan pekerjaan bebas yang telah terdafta sebagai Wajib
Pajak Dalam Negeri,
• Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan
pembukuan
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

WPOP tertentu yang telah mendapat surat penunjukan sebagai pemotong
Pajak atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan dari
KPP tempat WP terdaftar memiliki kewajiban untuk memotong,
menyetorkan dan melaporkan PPh final atas penghasilan dari transaksi
persewaan tanah dan atau bangunan yang dibayarkan atau terutang
kepada pihak lain.

PPh yang terutang atas transaksi persewaan tanah dan bangunan
tersebut, wajib disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
dan wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak tempat Wajib pajak
(pemotong) terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak apabila
terdapat transaksi yang berhubungan dengan obyek PPh final, sehingga
tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)

a. SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1770)

Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak diwajibkan untuk
menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Orang Pribadi – SPT 1770).
SPT Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan setelah akhir
tahun pajak/tahun buku. Apabila tahun buku sama dengan tahun takwim
maka SPT Tahunan wajib disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret
tahun berikutnya.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib Pajak adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang :

• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam
1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
• Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek
pajak;
• Harta dan kewajiban;


b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)

Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (SPT 1770), Wajib
Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas
selaku pemotong PPh pasal 21 juga diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan
PPh pasal 21. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim
berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh
Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun
bulanan menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.

Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan
SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong
Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-
lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. Batas waktu
pelaporan ini berlaku juga bagi wajib pajak yang tahun bukunya
berbeda dengan tahun takwim.


C Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Badan

Kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak setelah terdaftar di
Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki NPWP adalah melakukan pembayaran
dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya.

Selain itu, wajib pajak juga memiliki kewajiban untuk
memungut/memotong dan menyetorkan pajak atas penghasilan yang
dibayarkan/ terutang kepada pihak lainnya. Tatacara pemenuhan
kewajiban tersebut diatur dalam undang-undang no 7 tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-
undang No 17 tahun 2000 beserta peraturan pelaksanannya.

Selain Pajak Penghasilan, bagi pengusaha yang telah dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak juga memiliki kewajiban dibidang PPN dan
PPn BM yang ketentuannya diatur dalam Undang-undang no 8 tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah
sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta
peraturan pelaksanaannya.

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah
memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :

1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)

Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka memiliki
kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa/ bulanan ke
kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar. Jenis SPT Masa
yang harus disampaikan oleh wajib pajak badan terdiri dari :

a. SPT Masa PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Besarnya
angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
yang lalu, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut
oleh pihak lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang
dapat dikreditkan; dibagi 12 (dua belas)

Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari
usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan (Wajib Pajak
baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur, maka pembayaran
Ph Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan
batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Apabila tanggal 20
jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-hari
yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh pemerintah.
Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT Masa PPh
Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah satu SPT Masa
yang wajib disampaikan oleh wajib pajak badan, meskipun tidak
terdapat pembayaran (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak
menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25, maka
wajib pajak akan dikenakan sanksi berupa denda sebear Rp 50.000 untuk
satu SPT Masa.

Bagi Wajib Pajak Badan selain yang bergerak dibidang usaha pengalihan
hak atas tanah dan atau bangunan, apabila melakukan transaksi
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan wajib menyetor PPh yang
terutang atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan. Besarnya
PPh yang terutang adalah 5% dari nilai tertinggi antara nilai
transaksi dengan nilai NJOP. PPh yang terutang atas transaki
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan merupakan uang muka pajak
yang dapat dikreditkan dalam PPh Badan pada akhir tahun.

b. SPT Masa PPh Pasal 21/26

PPh pasal 21 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan ketentuan
Pasal 21 Undang-unang PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan
dilaporkan oleh pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara
kegiatan.

Wajib pajak badan selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh waib pajak orang pribadi wajib menyampaikan SPT Masa
PPh Pasal 21. Batas waktu penyetoran PPh Pasal 21 adalah tanggal 10
bulan berikutnya, namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka
penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan
batas waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila tanggal
20 jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 21
harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 21 juga merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan
oleh Wajib Pajak Badan meskipun tidak terdapat penyetoran PPh Pasal
21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan SPT Masa
PPh Pasal 21 atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21, maka
akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk satu SPT
Masa.

Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan pemotongan,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi diatur dalam Keputusan
Dirjen Pajak No KEP-545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

c. SPT Masa PPN

Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta menyampaikan SPT
Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPN adalah 20
hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya).
Seperti halnya pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran
PPN jatuh pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas waktu
pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPN wajib
dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib
Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meskipun
Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPN
maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu
SPT Masa.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak PPN
dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

• Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam
satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku;
• Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Ketentuan mengenai PPN diatur dalam Undang-undang no 8 tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No 18
tahun 2000 beserta peraturan pelaksanaannya.

d. SPT Masa PPh Pasal 23/26

PPh pasal 23 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan yang
diterima/diperoleh oleh wajib pajak badan dalam negeri atau bentuk
usaha tetap; yang berupa :
• Deviden
• Bunga
• Royalti
• Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21
• Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
• Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain (yg ditetapkan DJP) selain
jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.

PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 23) wajib
dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh Pasal 23; yaitu
badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan wajib pajak luar negeri
lainnya; yang membayar/ memberikan penghasilan yang merupakan obyek
PPh pasal 23.

PPh Pasal 26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan yang
diterima/diperoleh oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang berupa :
g. Deviden;
h. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
i. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
j. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
k. hadiah dan penghargaan;
l. pensiun dan pembayaran berkala lainnya ;

PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 26) wajib
dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh Pasal 26.
Pemotong PPh Pasal 26 yaitu badan pemerintah, subyek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan
wajib pajak luar negeri lainnya; yang membayar/memberikan penghasilan
yang merupakan obyek PPh pasal 26.

Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh adalah
tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT
Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan berikutnya. Apabila
tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal 23/26 jatuh pada hari libur
maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Namun
apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka
laporan harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP apabila
terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26. Dengan demikian
tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.

e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)

1) PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib
pajak sendiri

Bagi Wajib Pajak Badan yang memperoleh penghasilan yang merupakan
obyek PPh final, maka diwajibkan untuk membayar dan melaporkan PPh
final pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan tersebut.
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran
PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib
pajak Badan) adalah sebagai berikut :

• Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang dierima/diperoleh oleh WP Badan dari kegiatan
persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final
pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh
yang terutang atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan
atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan.
Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari
jumlah bruto nilai persewaan.

Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka pelunasan
PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui pemotongan oleh pihak
penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan
(Bukti Potong PPh Final pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima
penghasilan).

Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah
tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah
tanggal 20 bulan berikutnya.

• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas Penghasilan
yang diterima/diperoleh oleh WP Badan (yang tidak memiliki
sertifikasi sebagai pengusaha kontruksi menengah atau besar) dari
kegiatan Jasa Konstruksi, PPh yang terutang atas penghasilan tersebut
wajib dibayar sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa
merupakan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas kegiatan ini
pelunasannya dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong
pajak (Pemakai jasa) wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh
final pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa
konstruksi adalah sbb :

4% (empat persen) dari jumlah
èa) Jasa Perencanaan Konstruksi
bruto;
2% (dua persen) dari jumlah
èb) Jasa Pelaksanaan Konstruksi
bruto;
4% (empat persen) dari jumlah
èc) Jasa Pengawasan Konstruksi
bruto.

2) PPh final atas penghasilan yang dibayarkan/terutang kepada
pihak lain

Wajib pajak badan yang melakukan pembayaran/memberikan penghasilan
tertentu yang pengenaan pajaknya telah diatur dengan peraturan
pemerintah dan dikenakan PPh final diwajibkan untuk memotong,
menyetorkan dan melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan
tersebut ke kantor pajak.

Penghasilan yang pengenaan pajaknya telah diatur dengan peraturan
pemerintah dan dikenakan PPh yang bersifat final adalah :
• Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
• Penghasilan dari hadiah undian
• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
• Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan serta diskonto
Sertifikat Bank Indonesia.
• Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan
• Penghasilan dari obligasi yang diperdagangkan di bursa efek
• Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
Apabila terdapat transaksi yang merupakan obyek PPh final, wajib
pajak badan yang melakukan transaksi tersebut wajib memotong,
menyetorkan dan melaporkan PPh yang terutang. Pelaporan PPh final
dilakukan dengan menggunakan SPT Masa PPh Final.

SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak badan
apabila terdapat transaksi yang berhubungan dengan obyek PPh final,
sehingga tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)

a. SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1771)

Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak diwajibkan untuk
menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Badan – SPT 1771). SPT
Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun
pajak/tahun buku.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib Pajak adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang :

• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam
1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
• Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek
pajak;
• Harta dan kewajiban;

b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)

Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Badan, Wajib Pajak Badan selaku
pemotong PPh pasal 21 juga diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan PPh
pasal 21. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir,
Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21
yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.

Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan
SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong
Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-
lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. Batas waktu
pelaporan ini berlaku juga bagi wajib pajak yang tahun bukunya
berbeda dengan tahun takwim.

posted by Triyani @ 10:03 PM 9 comments Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini. Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.

Monday, October 03, 2005

Pajak Atas Uang Pesangon

Ketentuan Perpajakan Atas Uang Pesangon
TRIYANI

Abstrak

Pesangon merupakan hak karyawan yang harus diberikan oleh pengusaha dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja. Pesangon yang diterima/ diperoleh karyawan adalah penghasilan yang merupakan obyek PPh Pasal 21. Dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pesangon yang menjadi hak karyawan terdapat beberapa cara yang lazim digunakan oleh pengusaha. Perbedaan cara dalam memenuhi kewajiban tersebut akan mempunyai konsekuensi perpajakan yang berbeda.
Keywords : Pesangon; Lembaga Pengelola Dana Pesangon; PPh atas Uang Pesangon

Pendahuluan

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, berdasarkan undang-undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima kepada karyawan.

Dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pesangon, terdapat beberapa cara yang dapat digunakan oleh pengusaha (pemberi kerja). Pada umumnya perusahaan membayarkan uang pesangon secara langsung kepada karyawan pada saat adanya pemutusan hubungan kerja. Namun ada pula perusahaan tidak membayarkan uang pesangon secara langsung kepada karyawan, tetapi menunjuk pihak ketiga untuk mengelola dana pesangon yang menjadi kewajiban perusahaan. Pihak ketiga yang ditunjuk sebagai pengelola dana pesangon bisa berupa Lembaga Pengelola Dana Pesangon yang dibentuk oleh perusahaan sendiri, Pengleola dana pesangon bukan bank maupun diserahkan kepada bank.

Imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima/diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya (termasuk uang pesangon) merupakan obyek Pajak penghasilan. Berdasarkan pasal 21 undang-undang PPh, pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar penghasilan tersebut.

Perlakuan perpajakan atas penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua diatur dalam Peraturan Pemerintah No 149 tahun 2000 tanggal 23 Desember 2000.

Perlakuan Perpajakan atas Uang Pesangon yang Dibayarkan Secara Langsung.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 149 tahun 2000 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final oleh pihak-pihak yang membayarkan.

Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dipotong adalah sebagai berikut :
No Jumlah Penghasilan Bruto Tarif PPh
1 Rp 0 s/d Rp 25.000.000,- Dikecualikan dari pemotongan PPh
2 Diatas Rp 25.000.000,- s/d Rp 50.000.000,- 5% (Lima Persen)
3 Diatas Rp 50.000.000,- s/d Rp 100.000.000,- 10% (sepuluh persen)
4 Diatas Rp 100.000.000,- s/d Rp 200.000.000,- 15% (lima belas persen)
5 Diatas Rp 200.000.000 25% (dua puluh lima persen)

Tabel 1 : Tarif PPh pasal 21 final atas Uang Pesangon, Tebusan Pensiun, Tunjangan Hari Tua/ Jaminan Hari Tua.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No 112/KMK.03/2001, yang dimaksud dengan uang pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada karyawan dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian.

Definisi tersebut sejalan dengan keputusan menteri tenaga kerja No KEP-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian; yang masih berlaku pada saat penetapan keputusan menteri keuangan No 112/KMK.03/2001 tersebut. Sejak diberlakukannya undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai pesangon diatur dalam pasal 156.

Sebagai perbandingan, berikut ini penulis sajikan besarnya uang pesangon yang menjadi hak tenaga kerja menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 150/Men/2000 dan menurut undang-undang No 13 tahun 2003.

Jenis Pemutusan Hubungan Kerja K-150/2000 UU Ketenagakerjaan

I Pada Usia Pensiun
1. Ada Program Pensiun dan tidak ada iuran pekerja NIHIL Max (0;2PSNG+PMK+PH-MP)+PH
2 Ada Program Pensiun dan ada iuran pekerja - Max (0;2PSNG+PMK+PH-MP+IP)+PH
3 Tidak ada program pensiun 2xPSNG+PMK+GK 2XPSNG+PMK+PH
II Sebelum Usia Pensiun
4 Melakukan kesalahan berat PMK + GK PH
5 Melakukan kesalahan berat/ pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja sama PSNG + PMK + GK PSNG+PMK+PH
6 Ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan atau dinyatakan salah oleh pengadilan NIHIL PMK+PH
7 Mengundurkan diri secara baik atas kemauan sendiri PMK + GK PH
8 Kesalahan pengusaha PSNG + PMK + GK 2XPSNG+PMK+PH
9 Perorangan – bukan kesalahan pekerja tetapi dapa menerima 2XPSNG + PMK + GK -
10 Massal – perusahaan tutup karena rugi – force majeur PSNG+PMK+GK PSNG+PMK+PH
11 Massal – Perusahaan tutup bukan karena rugi, melakukan efisiensi 2XPSNG+PMK+GK 2XPSNG+PMK+PH
12 Perubahan status/kepemilikan sebagian/ seluruh / pindah lokasi dengan syarat baru = lama dan pekerja tidak bersedia kerja PSNG+PMK+GK PSNG+PMK+PH
13 Perubahan status/ kepemilikan sebagian/seluruh / pindah lokasi dan pengusaha tidak mau menerima apapun alasannya 2XPSNG+PMK+GK 2XPSNG+PMK+PH
14 Perusahaan pailit Tidak diatur PSNG+PMK+PH
15 Meninggal dunia 2XPSNG+PMK+GK 2XPSNG+PMK+PH
16 Mangkir selama 5 hari atau lebih secara berturut-turut - PH
17 Sakit berkepanjangan, cacat karena kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan NIHIL 2XPSNG+2XPMK+PH
Tabel 2 : Perbandingan Besaran Hak PHK : K-150/2000 dan UU No 13 tahun 2003
Sumber : Kompas – Bisnis dan Investasi / 25 Maret 2003.
Keterangan :
- PSNG = Pesangon
- PMK = Penghargaan Masa Kerja
- GK = Ganti Kerugian
- PH = Penggantian Hak (Cuti Tahunan, Biaya repatriasi, penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 15% dari uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja
- MP = Manfaat Pensiun
- IP = Himpunan Peserta dan Hasil Pengembaliannya.



Masa Kerja (MK) Uang Pesangon Uang penghargaan Masa Kerja *
MK < 1 1 0
1<=MK<2 2 0
2<=MK<3 3 0
3<=MK<4 4 2
4<=MK<5 5 2
5<=MK<6 6 2
6<=MK<7 7+0 3
7<=MK<8 7+1 3
8<=MK<9 7+2 3
9<=MK<12 7+2 4
12<=MK<15 7+2 5
15<=MK<18 7+2 6
18<=MK<21 7+2 7
21<=MK<24 7+2 8
MK>=24 7+2 10

Tabel 3 :Skala Uang Pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja
* Kelipatan Upah

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja dan perusahaan melakukan pembayaran pesangon yang menjadi kewajibannya secara langsung kepada tenaga kerja, maka perusahaan memiliki kewajiban untuk memotong dan menyetorkan PPh pasal 21 (PPh final) yang terutang atas pesangon. Besarnya PPh Pasal 21 dihitung sesuai dengan tarif dalam tabel 1 tersebut diatas.

Atas pembayaran uang pesangon ini perusahaan dapat membebankan sebagai biaya/ pengurang penghasilan dalam menghitung penghasilan kena pajak dan PPh badan terutang (merupakan deductable expenses).

Apabila perusahaan telah membentuk cadangan untuk dana pesangon sebelum terjadinya pemutusan hubungan kerja, maka atas pembentukan cadangan dana pesangon belum terutang PPh Pasal 21. Selain itu, pembentukan cadangan dana pesangon tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak dan PPh badan (merupakan non deductable expenses)

Perlakuan Perpajakan atas uang pesangon yang dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja.

Dalam menjalankan kewajibannya membayar pesangon kepada tenaga kerja, perusahaan dapat menunjuk pihak lain untuk menanganinya. Pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja, pihak lain yang ditunjuk oleh perusahaan tersebut yang akan melakukan pembayaran uang pesangon kepada karyawan yang berhak.

Menurut KEP-350/PJ./2001 yang dimaksud pengelola dana pesangon adalah badan yang ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola uang pesangon yang selanjutnya membayarkan uang pesangon tersebut kepada karyawan dari pemberi kerja yang bersangkutan pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
Pengalihan tanggung jawab untuk membayar uang pesangon yang menjadi hak Tenaga kerja kepada pengelola dana pesangon dapat dilakukan oleh perusahaan melalui pembayaran uang pesangon secara sekaligus maupun secara bertahap.

a) Pembayaran Uang Pesangon Dilakukan Secara Sekaligus.

Apabila pembayaran uang pesangon yang menjadi hak tenaga kerja dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja dilakukan oleh perusahaan secara sekaligus, maka pada saat tanggung jawab pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja karyawan dianggap telah menerima hak atas manfaat uang pesangon. Dengan demikian pemberi kerja memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang atas uang pesangon yang dialihkan pada saat terjadinya pengalihan tanggung jawab pembayaran uang pesangon tersebut.

PPh pasal 21 yang terutang atas pembayaran uang pesangon pada saat terjadinya pengalihan uang pesangon kepada pengelola dana pesangon merupakan PPh 21 Final. Besarnya PPh yang harus dipotong oleh pemberi kerja (perusahaan) adalah sesuai dengan tariff pada table 1 diatas.

Bunga atas tabungan uang pesangon merupakan hak karyawan yang akan diberikan oleh pengelola dana pesangon tenaga kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadinya PHK terlebih dahulu harus dipotong PPh sebagai berikut :

a. Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bukan bank, maka dipotong PPh sebesar 15% dari jumlah bruto sebagaimana diatur dalam pasal 23 (1) huruf a Undang-undang PPh.
b. Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bank maka dipotong PPh sebesar 20% dari jumlah bruto berdasarkan ketentuan pasal 4 (2) Undang-undang PPh dan PP No 131 tahun 2000.

Pada saat pengelola dana pesangon tenaga kerja membayar uang pesangon kepada karyawan tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 karena PPh pasal 21-nya telah dibayar pada saaat pengalihan uang pesangon dari pemberi kerja kepada badan pengelola dana pesangon tenaga kerja.

Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 wajib diberikan oleh pemberi kerja (perusahaan) kepada karyawan pada saat dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pesangon secara sekaligus kepada pengelola dana pesangon. Bukti Pemotongan ini dapat digunakan sebagai bukti bahwa pemotongan pajak telah dilakukan pada saat dana dialihkan sehingga saat membayar uang pesangon kepada karyawan, pengelola dana pesangon tidak perlu memotong PPh Pasal 21 lagi.

Dalam hal pembayaran uang pesangon yang menjadi hak tenaga kerja dialihkan kepada pihak ketiga dilakukan secara sekaligus, pemberi kerja dapat membebankan uang pesangon tersebut sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena pajak pada saat terjadinya pengalihan tanggung jawab kepada pengelola dana pesangon.

b) Pembayaran uang pesangon dilakukan secara bertahap

Perlakuan PPh pasal 21 atas uang pesangon yang dialihkan kepada pengelola dana pesangon secara bertahap adalah sebagai berikut :

1. Pada saat tanggung jawab pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja melalui pembayaran uang pesangon secara bertahap, pemberi kerja tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembentukan uang pesangon tersebut

2. Pada saat pengelola dana pesangon tenaga kerja membayar uang pesangon kepada karyawan, pengelola dana pesangon tenaga kerja wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21. PPh pasal 21 yang harus dipotong oleh pengelola dana pesangon merupakan PPh pasal 21 final. Besarnya PPh pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 149 tahun 2000 dan KMK No.112/KMK.03/2001 (seperti tabel 1 diatas).

3. Bunga atas tabungan uang pesangon merupakan hak karyawan yang harus diberikan oleh pengelola dana pesangon tenaga kerja bersamaan dengan pembayaran uang pesangon kepada karyawan yang bersangkutan. Atas pembayaran bunga ini terutang PPh sebagai berikut :

• Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bukan bank maka dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% dari jumlah bruto, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan
• Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bank maka dipotong PPh Final sebesar 20% dari jumlah bruto berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan dan PP no 131 tahun 2000.
Dalam hal pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pihak ketiga secara bertahap, meskipun pemotongan PPh Pasal 21 baru dapat dilakukan pada saat pembayaran uang pesangon kepada karyawan yang bersangkutan, namun pembebanan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak bagi pemberi kerja telah dapat dilakukan pada saat pengalihan tanggung jawab pembayaran uang pesangon tersebut.

Penutup

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan PPh atas pembayaran uang pesangon/tebusan pensiun adalah sebagai berikut :

1) Pesangon merupakan penghasilan bagi karyawan yang dikenakan PPh pasal 21 dan merupakan deductable expense bagi perusahaan.
2) Saat terutangnya PPh Pasal 21 atas pesangon yang dibayarkan secara langsung oleh pemberi kerja pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja adalah pada saat pesangon tersebut terutang/dibayarkan kepada tenaga kerja.
3) Saat terutangnya PPh Pasal 21 atas pesangon yang pembayarannya dialihkan secara sekaligus kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja adalah pada saat pengalihan tanggungjawab pembayaran pesangon kepada pengelola dana pesangon. Pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja, pesangon yang dibayarkan oleh pengelola dana pesangon tidak lagi dikenakan PPh pasal 21.
4) Saat terutangnya PPh Pasal 21 atas pesangon yang pembayarannya dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja secara bertahap adalah pada saat pesangon dibayarkan kepada karyawan.
5) Jika Pengelola dana pesangon bukan bank, bunga tabungan dana pesangon yang diterima/diperoleh karyawan merupakan obyek PPh pasal 23 dengan tariff 15%
6) Jika Pengelola dana pesangon adalah wajib pajak bank, bunga tabungan dana pesangon yang diterima/diperoleh karyawan merupakan obyek PPh Pasal 4 (2) dengan tariff 20%.


Daftar Pustaka

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-350/PJ./2001 tanggal 14 Mei 2001 tentang Perlakuan Perpajakan atas Uang Pesangon yang Dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon tenaga kerja sebagaimana terakhir telah diubah dengan KEP-649/PJ./2001 tanggal 5 Oktober 2001

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.03/2001 tanggal 6 Maret 2001 tentang Pemotongan PPh pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan

Peraturan Pemerintah Nomor 149 tahun 2000 tanggal 23 Desember 2000 tentang Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua

Surat Dirjen Pajak Nomor S-131/PJ.313/2005 tanggal 14 Februari 2005 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Dana Pensiun dan Dana Pesangon

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 17 tahun 2000.

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakejaan

Kompas, 25 Maret 2003 – Kolom Bisnis dan Ivestasi

posted by Triyani @ 8:25 PM 2 comments Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini. Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.

Monday, July 11, 2005

TANGGUNGAN YANG DAPAT DIPERHITUNGKAN DALAM PTKP

TANGGUNGAN YANG DAPAT DIPERHITUNGKAN DALAM PTKP
TRIYANI BUDIANTO.

Pendahuluan

Dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri diberikan pengurang berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) disesuaikan dengan banyaknya anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya bagi wajib pajak yang bersangkutan. Dalam tulisan ini, penulis mengulas tentang Tanggungan Wajib Pajak yang dapat diperhitungkan dalam menghitung besarnya Penghasilan tidak kena pajak.

Key words : Tanggungan Waiib Pajak, Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Besarnya PTKP

Penghasilan tidak kena pajak merupakan pengurang yang diberikan untuk menghitung besarnya Laba Kena Pajak (penghasilan kena pajak) bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Penghasilan tidak kena pajak diberikan bagi wajib pajak orang pribadi, baik yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas maupun wajib pajak yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas.

Besarnya Penghasilan tidak kena pajak telah mengalami beberapa kali perubahan. Besarnya PTKP yang berlaku sejak tahun pajak 2005, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No KMK-564/KMK.04/2004 tanggal 29 November 2004 adalah sebagai berikut :
a. Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
b. Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami;
d. Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak anqkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Disamping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, maka Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri sebesar Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anak angkat, diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang.

Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.

Contoh :
Pada tanggal 1 Januari 2001 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2001, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2001 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.

Pada tanggal 2 Januari 2001 Orang Tua Wajib Pajak C (yang di tanggung sepenuhnya oleh C) meninggal dunia. Wajib Pajak C telah menikah tahun 1999 dan mempunyai seorang anak yang lahir pada tahun 2000. Karena Orang Tua C meninggal tanggal 2 Januari 2001, maka untuk tahun 2001 PTKP bagi wajib pajak C tetap memperhitungkan Oangtuanya sebagai tambahan tanggungan atau dianggap sebagai K/2

Tambahan PTKP Untuk Anggota Keluarga Sedarah dan Semenda yang menjadi tanggungan

Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pengertian kekeluargaan sedarah adalah pertalian kekeluargaan antara orang-orang dimana yang seorang adalah keturunan dari yang lain, atau antara orang-orang yang mempunyai bapak asal yang sama. Hubungan kekeluargaan sedarah dihitung dengan jumlah kelahiran. Setiap kelahiran disebut derajat. Urutan derajat yang satu dengan derajat yang lain disebut garis. Garis lurus adalah urutan derajat antara orang-orang dimana yang satu merupakan keturunan dari yang lain.

Dalam Garis lurus, dibedakan garis lurus kebawah dan garis lurus keatas. Garis lurus kebawah merupakan hubungan antara bapak-asal dan keturunannya; sedangkan garis lurus keatas adalah hubungan antara seseorang dan mereka yang menurunkannya.
Sedangkan Kekeluargaan semenda adalah suatu pertalian kekeluargaan karena perkawinan, yaitu pertalian antara salah seorang dari suami-istri dan kelurga sedarah dari pihak lain. Derajat kekeluargaan semenda dihitung dengan cara yang sama seperti cara menghitung derajat kekeluargaan sedarah.

Skema hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dapat digambarkan sebagai berikut :



1. Hubungan Sedarah :
a. Lurus satu derajat : Ayah, Ibu, Anak kandung
b. Kesamping satu derajat : Saudara Kandung (kakak, Adik kandung)

2. Hubungan Semenda :
a. Lurus satu derajat : Mertua, Anak Tiri
b. Kesamping satu derajat : Saudara Ipar (Adik Ipar, kakak Ipar)

Berdasarkan skema tersebut, yang termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus yaitu : ayah, ibu dan anak kandung. Sedangkan yang termasuk dalam pengertian keluarga semenda dalam garis keturunan lurus yaitu: ayah mertua, ibu mertua dan anak tiri.

Anggota keluarga sedarah dan semenda berikut ini tidak dapat diperhitungkan sebagai tanggungan untuk penghitungan tambahan PTKP.
• Saudara kandung, karena termasuk dalam pengertian keluarga sedarah kesamping satu derajat;
• Saudara ipar, karena termasuk dalam pengertian keluarga semenda kesamping satu derajat;
• Saudara dari bapak/ibu, karena tidak termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus


Anak yang telah memiliki penghasilan sendiri

Dalam menghitung penghasilan kena pajak, penghasilan anak yang belum dewasa, digabung dengan penghasilan orang tuanya. Dengan demikian, meskipun anak tersebut telah memiliki penghasilan sendiri dalam menghitung PTKP tetap diperhitungkan sebagai tanggungan wajib pajak (orang tuanya). Pengertian belum dewasa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Sedangkan menurut Undang-undang pajak adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Penghasilan yang diperoleh atau diterima anak yang telah dewasa (telah berumur 18 tahun atau lebih) akan dikenakan pajak tersendiri. Anak yang telah berumur 18 tahun atau lebih dan telah memperoleh penghasilan sendiri, tidak lagi diperhitungkan sebagai tanggungan dalam menghitung besarnya PTKP.

Sebaliknya apabila wajib pajak mempunyai anak yang telah berumur 18 tahun atau lebih, tetapi masih menjadi tanggungan sepenuhnya wajib pajak (dan belum menikah), anak tersebut masih diperhitungkan sebagai tanggungan Wajib Pajak dalam menghitung besarnya PTKP.

Tambahan PTKP Untuk Anak Angkat

Selain untuk anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat, tambahan PTKP juga diberikan untuk wajib pajak yang memiliki tanggungan anak angkat. Namun demikian jumlah tanggungan yang diperhitungkan dalam PTKP dibatasi maksimum 3 orang.

Pengertian anak angkat dalam penghitungan PTKP bukanlah pengertian anak angkat sebagaimana dalam masyarakat sehari-hari yaitu seorang anak yang diaku dan diangkat sebagai anak. Dan juga bukanlah pengertian anak angkat sebagaimana dimaksud dalam hukum perdata yang harus terlebih dahulu ada pengesahan dari Hakim Pengadilan Negeri. Akan tetapi, Pengertian anak angkat yang dapat diperhitungkan dalam perundang-undangan pajak ditentukan dengan kriteria sebagai berikut :
a. seseorang yang belum dewasa;
b. yang tidak tergolong keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus dari Wajib Pajak;
c. dan menjadi tanggungan sepenuhnya dari Wajib Pajak.

Pengertian menjadi tanggungan sepenuhnya menurut Undang-undang Pajak Penghasilan berdasarkan keadaan yang dapat terlihat dari keadaan yang nyata yaitu :
• tinggal bersama-sama dengan Wajib Pajak;
• nampak secara nyata tidak mempunyai penghasilan sendiri;
• tidak pula turut dibantu oleh lain-lain anggota keluarga atau oleh orang tuanya sendiri.

Sedangkan kalau Wajib Pajak sekedar menyumbang, membantu, bertanggung jawab dan sebagainya, maka tidak termasuk dalam menjadi tanggungan sepenuhnya.

PTKP Untuk Karyawati Kawin dan Wajib Pajak yang Belum Menikah.

Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dapat dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri. Namun demikian, bagi karyawati kawin yang menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, selain PTKP untuk dirinya sendiri diberikan tambahan PTKP sebesar Rp. 1.200.000,00 setahun atau Rp. 100.000,00 sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Bagi karyawan atau karyawati yang belum berkeluarga (TK) untuk pengurangan PTKP disamping untuk diri karyawan atau karyawati dapat pula memperoleh tambahan pengurangan PTKP untuk anggota keluarga sedarah dan semenda, termasuk anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya maksimal 3 orang.

Penutup

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat diimpulkan bahwa tanggungan yang dapat diperhitungkan dalam menghitung PTKP Wajib Pajak Orang Pribadi harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Merupakan anggota keluarga sedarah atau keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat (baik keatas maupun kebawah).
2. Anggota keluarga tersebut tidak memperoleh penghasilan dan menjadi tanggungan sepenuhnya wajib pajak.
3. Anak yang belum dewasa, berumur kurang dari 18 tahun dan belum pernah menikah, meskipun telah memiliki penghasilan sendiri.
4. Untuk anak angkat (Selain anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus) yang dapat diperhitungkan dalam PTKP adalah anak angkat yang belum dewasa (kurang dari 18 tahun) dan menjadi tanggungan sepenuhnya wajib pajak.

PTKP dihitung berdasarkan keadaan pada awal tahun. Semua perubahan jumlah tanggungan wajib pajak (baik penambahan maupun pengurangan) yang terjadi selama tahun berjalan diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya.


Daftar Pustaka

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 tanggal 29 November 2004 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak

Redaksi PT Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1989. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Jakarta : PT Intermasa.

Surat Dirjen Pajak Nomor S-112/PJ.41/1995 tanggal 29 Agustus 1995 tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 17 tahun 2000.

posted by Triyani @ 2:10 AM 2 comments Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini. Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.

Wednesday, April 13, 2005

Heboh somasi Ditjen Pajak dan Republik Banana

Heboh somasi Ditjen Pajak dan Republik Banana

12 Apr 2005 11:35 WIB - klikpajak.com

Belum lama ini penulis disomasi oleh Direktur Administrasi Pajak atas nama
Dirjen Pajak beserta seluruh jajarannya. Pasalnya, karena penulis tidak
dapat membuktikan tentang apa yang ditulis dalam sebuah harian nasional.

Dalam artikel itu antara lain penulis kemukakan bahwa sebagai gambaran
sangat kasar, ketika membayar pajak atas dasar self assessment, Wajib Pajak
(WP) hanya membayar maksimal 50%. Karena ini praktik umum, aparat pajak
mengetahuinya.

Aparat pajak membuat perkiraan berapa yang 'ditimpa' dan mengenakan denda.
WP lantas kaget dan mengajak berunding. Jumlah yang disepakati, sebagai
hasil perundingan, dibayar oleh WP. Oknum aparat pajak bersangkutan
menyetorkannya ke kas negara maksimal hanya 50%.

Alhasil, kalau yang tercantum dalam APBN-sebagai pendapatan pajak
penghasilan dan pajak pertambahan nilai-sebesar misalnya Rp180 triliun,
mestinya yang menjadi hak negara dan tidak masuk ke kas negara ya sama
dengan jumlah itu.

Penulis lantas disomasi, diminta membuktikan dari sekian 70 juta WP itu,
satu per satu siapa, di mana, berapa yang dilaporkan, dan dibayar atas dasar
self assessment. Berapa yang sebenarnya harus dilaporkan dan dibayar, dan
berapa yang digelapkan. Juga diminta membuktikan satu per satu oknum aparat
pajak yang bernegosiasi, dengan siapa, jumlah berapa, dan berapa yang
ditilep oleh oknum bersangkutan.

Kalau tidak bisa membuktikan, dalam waktu tujuh hari sejak diterimanya surat
somasi, penulis harus minta maaf di sebuah harian nasional. Kalau tidak,
akan ditindak secara hukum. Artinya, penulis akan dituntut di pengadilan
dengan tuduhan mendiskreditkan Ditjen Pajak. Bayangkan kalau hal itu
terjadi!

Penulis akan diinterogasi berjam-jam, mungkin berhari-hari, dan akan
dihadapkan pada advokat. Penulis juga harus menyewa advokat dengan tarif
yang mahal, selain akan mondar-mandir ke polisi dan pengadilan, diajak
berargumentasi seperti pokrol yang menggunakan pasal-pasal hukum secara
juristerij.

Mana tahan? Ya minta maaflah. Eh, banyak orang ngenyek penulis. Mereka
mengatakan "Kwik Kian Gie keok, sudah jinak, dan sebagainya."

Penulis menyesal lupa mencantumkan dalam iklan penulis mohon kepada Tuhan
Yang Maha Esa agar memberi ampun dan maaf kepada penulis, tetapi juga kepada
siapa pun yang membuat heboh soal somasi tersebut, kalau dalam peristiwa itu
kelakuannya didasarkan atas kebohongan. Artinya, dalam bertindak dan
bersuara, dalam batinnya yang paling dalam dan hanya Tuhan yang tahu, yang
bersangkutan, siapa pun mereka, mungkin berbohong. Kalau kebohongan terjadi,
Tuhan hendaknya mengampuni mereka.

Asumsi, dugaan serta hitung-hitungan tersebut diketahui banyak orang.
Semuanya telah penulis uraikan dalam buku kecil berjudul Pemberantasan
Korupsi untuk meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan."

Buku kecil ini diterbitkan sebanyak 10.000 eksemplar pada Maret 2003. Karena
habis dan banyak permintaan, diterbitkan lagi edisi ke-2 sebanyak 10.000
eksemplar dan habis lagi.

Dalam buku tersebut semua yang ditulis di sebuah harian itu dan
mengakibatkan somasi, telah ditulis secara harafiah. Tetapi ketika itu tidak
apa-apa, walaupun telah dibicarakan dengan Presiden Abdurrahman Wahid,
Presiden Megawati Soekarnoputri, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, dan
Dirjen Pajak Hadi Purnomo.

Ini karena beliau-beliau itu mengerti bahwa maksud penulis mengemukakan
substansi tersebut untuk memecahkan masalah KKN yang dipastikan akan
menghancurleburkan bangsa ini melalui revolusi sosial yang dahsyat bila
tidak segera diambil langkah-langkah perbaikan.

Maksud memberi penjelasan bahwa biaya pemberantasan praktik KKN sangat
mahal. Ini karena harus menjatuhkan tindakan PHK terhadap banyak orang
dengan pesangon yang jumlahnya sangat besar. Untuk jelasnya bacalah buku itu
secara keseluruhan. Tidak ada maksud sedikit pun memojokkan atau
mendiskreditkan siapa pun.

Kasus di Republik Banana

Tetapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur. Jadi, sekarang penulis
jelaskan sekali lagi materi dan substansinya.

Untuk menghindari somasi lagi, dengan tegas penulis nyatakan bahwa yang akan
ditulis ini adalah kondisi dari negara yang bukan Republik Indonesia. Yang
digambarkan dalam tulisan ini adalah kondisi di negara lain, yang bernama
Republik Banana, bukan Republik Indonesia. Karena itu, di Indonesia tidak
perlu ada yang merasa tersinggung, terpojok, dan terdiskreditkan!

Republik Banana (selanjutnya disebut RB) termasuk negara yang paling korup
di dunia. Walau kekayaan alamnya melimpah, tanah luas, subur, dan dua per
tiganya terdiri dari laut yang kaya raya bahan makanan bergizi, bagian
terbesar dari rakyatnya sangat miskin.

Ini karena praktik korupsi di negara itu termasuk yang paling hebat di
dunia.

Di RB, ada yang mengemukakan pikiran untuk memberantas korupsi-melalui
penciptaan kondisi yang kondusif dan menyeluruh-dan setelah tanpa korupsi
semua penguasa dimungkinkan hidup mewah tanpa korupsi. Bila masih berani
korupsi, pelakunya dihukum mati.

Maksudnya membuat langkah dan tindakan yang melengkapi tindakan yang
kasuistis. Yaitu, mencari koruptor, mencari buktinya, dan divonis penjara
atau bebas. Kebanyakan bebas, ini karena mencari buktinya susah dan justru
karena korupsi, semua insan hukum memainkan hukumnya dengan juristerij atau
pokrol bambu.

Langkah-langkah itu sebagai berikut. Pertama, seluruh pemerintahan
(kementerian dan lembaga non-departemen) dibuat optimal, yaitu jumlahnya dan
uraian tugas pokok dan fungsinya dibuat pas dengan kebutuhan RB.

Kedua, setiap kementerian dan LPND dibuat optimal juga, yaitu jumlah Ditjen,
jumlah personalianya, dan uraian tugas pokok dan fungsinya dibuat pas untuk
kementerian dan LPND bersangkutan.

Ketiga, perbandingan gaji antara satu pejabat dan pejabat lainnya dibuat
adil. Tidak seperti sekarang, Presiden Republik Banana digaji Ps59 juta
sebulan (Ps adalah singkatan dari mata uang yang namanya Pisang) tetapi
presdir dari BUMN-nya digaji Ps300 juta tanpa ada yang mempermasalahkannya.

Keempat, setelah perbandingan gaji semua pegawai negeri sipil, tentara, dan
polisi dibuat adil betul, jumlahnya dinaikkan secara proporsional, sehingga
setiap pejabat yang memiliki kuasa bisa hidup mewah dan gagah. Jadi, tidak
saja cukup tetapi hidupnya sangat bergengsi. Maksudnya, supaya tidak ada
lagi alasan sedikit pun untuk melakukan korupsi. Kelima, kalau semuanya
sudah terjadi, yang masih berani berkorupsi dihukum mati.

Hukuman mati

Hukuman mati dapat dilakukan tanpa beban. Ini karena sudah tidak ada alasan
sedikit pun untuk melakukan korupsi. Cara menentukan apakah seorang korup
atau tidak juga tidak perlu njlimet. Dengan akal sehat saja seperti yang
dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari di negara-negara yang sudah maju.

Hukum ditafsirkan atas dua tonggak. Pertama, redelijkerwijze aan te nemen
atau menurut akal sehat dapat diterima bahwa yang bersangkutan memang
korupsi. Kedua, tonggak te goeder trouw atau menurut akal sehat ada itikad
baik atau tidak.

Semua ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Pertama dibutuhkan biaya yang
besar untuk melakukan studi agar tiba pada organisasi birokrasi yang
optimal.

Dalam melakukan rasionalisasi, banyak pegawai yang dikenakan PHK. Supaya
pesangon bagi pegawai yang dikenakan PHK menggiurkan, jumlahnya juga harus
sangat besar.

Dengan demikian, para pegawai tidak saja tidak keberatan bila dikenakan PHK
tetapi mereka justru ingin agar dikenakan PHK. Dari mana biaya tersebut
diperoleh? Dari utang terlebih dahulu.

Bila proyek pemberantasan korupsi ini berhasil 30% saja, pemerintah sudah
bisa memperoleh pendapatan tambahan sekitar Ps92 triliun setahun. Menurut
perhitungan sangat kasar dan atas dasar beberapa items saja, di Republik
Banana yang dikorup sudah sekitar Ps305,5 triliun. Perhitungannya akan
penulis berikan pada edisi ke-tiga dari buku yang sedang disiapkan.