Senin, 28 Desember 2009

Kebijakan Stimulus Fiskal

Nama : Made Pande Ari Mahendra

KEBIJAKAN STIMULUS FISKAL

Kebijakan stimulus fiskal bukanlah hal yang baru. Pada 1930-an, ketika terjadi depresi ekonomi, Keynes, ekonom Inggris, merekomendasikan agar negaranya melakukan stimulus fiskal untuk menanggulangi depresi ekonomi pada saat itu.

Pada saat depresi atau krisis ekonomi, mekanisme pasar tidak berjalan sebagaimana mestinya karena daya beli masyarakat yang rendah dan keengganan dunia usaha untuk berinvestasi.

Untuk itu, pemerintah diharapkan melakukan investasi dan menggerakkan roda perekonomian. Dalam hal ini tujuan pemerintah adalah semata-mata menggerakkan ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat, bukan mencari keuntungan. Untuk hal tersebut, maka pemerintah mengajukan paket stimulus senilai Rp71,3 triliun kepada DPR dan dalam hal ini sudah mendapatkan persetujuan.

Meskipun sudah mendapatkan persetujuan (karena proses politik di dalam DPR ‘memaksakan’ persetujuan itu lahir), ada hal-hal mendasar yang dalam pandangan penulis dapat menjadi perhatian dan catatan kita semua.

Menurut penjelasan pemerintah, stimulus fiskal tersebut dimaksudkan untuk menekan terjadinya PHK dan mencegah terjadinya ledakan pengangguran. Selain itu, stimulus fiskal juga dimaksudkan untuk menyelamatkan daya beli masyarakat serta melindungi produk dalam negeri.

Dari total paket stimulus sebesar Rp 71,3 triliun, tidak kurang dari 60% atau senilai Rp43 triliun merupakan penghematan pembayaran pajak (tax saving), 20% atau senilai Rp13,3 triliun merupakan subsidi pajak dan bea masuk, 6% yang terdiri atas Rp2,8 triliun merupakan diskon harga akibat penurunan harga solar dan Rp1,4 triliun diskon beban puncak listrik industri, dan 14% sisanya terdiri atas Rp 600 miliar untuk PNPM dan Rp10,2 triliun untuk belanja infrastruktur.

Kontradiktif

Pada saat kondisi ekonomi dunia dan domestik cenderung melemah, harapan semua pihak terhadap tingkat keberhasilan paket stimulus fiskal cukup besar. Namun, melihat perincian peruntukan, target, serta mekanisme evaluasi program yang cenderung tidak jelas, tidak sedikit yang menilai bahwa program stimulus fiskal ini hanya bermuatan politis.

Hal tersebut tidaklah berlebihan, mengingat stimulus fiskal dilaksanakan mendekati waktu hajatan pemiliu. Di samping itu, yang semakin mengindikasikan bahwa program stimulus fiskal hanya bermuatan politis, adalah bahwa program tersebut tidak dirancang dengan baik dari jauh sebelumnya, terkesan terburu-buru, kurang cermat, dan cenderung kontradiktif dengan tujuan program.

Dalam hal peruntukan dana program misalnya, sebesar 60% atau Rp43 triliun diperuntukkan penghematan pajak. Lebih lanjut, penghematan pajak yang mencakup nilai sebesar Rp43 triliun tersebut terdiri atas; PPh Badan, PPh orang pribadi, dan PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak).

Permasalahanya, dasar perhitungan sehingga penghematan pajak mencapai 60% dari total paket stimulus juga tidak transparan. Selain hal tersebut perincian penghematan PPh badan, PPh orang pribadi, dan PTKP juga tidak disampaikan.

Hal terpenting lagi, target pertumbuhan PDB dan penyerapan tenaga kerja dari insentif penghematan pajak tersebut juga tidak disampaikan. Sehingga dengan kondisi semacam ini, masyarakat dan anggota dewan cukup sulit untuk mengevalusi berhasil atau tidaknya program tersebut.

Sementara itu, 20% dana stimulus fiskal yang diperuntukkan sebagai subsidi pajak dan bea masuk bagi dunia usaha atau rumah tangga sasaran (RPS) juga masih kabur. Dana tersebut diperuntukkan bagi eksplorasi migas dan minyak goreng sebesar Rp3,5 triliun, Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) bahan baku dan barang modal sebesar 2,5 triliun rupiah, PPh Karyawan 6,5 triliun rupiah, dan PPh panas bumi sebesar 0,8 triliun rupiah.

Dalam hal ini, masalah utamanya tetap sama, yaitu rincian peruntukan dan target dari dana stimulus fiskal sebesar 20% (Rp13,3 triliun) juga tidak jelas. Suatu misal, dana sebesar Rp3,5 triliun, yang diperuntukkan bagi eksplorasi migas dan minyak goreng, tidak dijelaskan berapa perincian masing-masingnya dan berapakah target pertumbuhan produksi migas dan peningkatan daya beli masyarakat akibat disalurkannya dana tersebut.

Sementara itu untuk BMDTP bahan baku dan barang modal sebesar Rp2,5 triliun, juga tidak dijelaskan peruntukan untuk sektor mana, bahan baku dan barang modal apa, serta berapakah target pertumbuhan PDB dan penyerapan tenaga kerja sektor yang mendapatkan BMDTP itu, juga tidak disampaikan dengan terperinci dan jelas.

Di samping itu, Rp6,5 triliun dana yang diperuntukkan bagi subsidi PPh Karyawan, juga tidak dijelaskan diperuntukkan untuk karyawan semua sektor atau sektor tertentu juga belum dijelaskan. Hal yang sama, berapakah target pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja yang dibebankan kepada dunia usaha dari dana kompensasi penghematan PPh karyawan juga tidak disampaikan.

Sementara itu, untuk dana sebesar Rp4,2 triluan yang diperuntukaan bagi stimulus dunia usaha atau lapangan kerja juga tidak jelas perincian peruntukan beserta targetnya. Kondisi yang relatif sama, untuk dana sebesar Rp0,6 triliun untuk PNPM, Rp10,2 triliun untuk belanja infrastruktur juga tidak jelas peruntukan beserta targetnya.

Belum ada perincian yang jelas, dengan dikucurkan dana sebesar Rp0,6 triliun, berapakah usaha mandiri rakyat yang akan diciptakan? Sementara itu, dengan dana sebesar Rp10.2 triliun, infrastruktur apakah yang akan dibangun, di mana infrastruktur tersebut dibangun, berapa target pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dari dibangunnya infrastruktur tersebut, juga tidak ada perinciannya yang jelas.

Melihat rincian alokasi dari paket stimulus tersebut, setidaknya terlihat kondisi yang cenderung kontradiktif dengan tujuan pemerintah. Jika pemerintah konsisten dengan tujuannya, bahwa stimulus fiskal ditujukan untuk menekan pembengkakan pengangguran dan menyelamatkan daya beli masyarakat, mengapa alokasi untuk belanja (spending) yang notabene paling besar manfaat dan efek dominonya (multiplier effect-nya) hanya dianggarkan sebesar 14%?

Dengan stimulus fiskal yang lebih besar pada subsidi pajak, bukankah hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya pemerintah hanya memosisikan diri dalam kondisi pasif dalam hal menyelesaikan dampak krisis keuangan global tersebut? Padahal dalam konteks, konsep, dan logika ekonomi mana pun, yang dibutuhkan dalam hal menyelesaikan dan menanggulangi dampak krisis ekonomi adalah peningkatan produktivitas.

Dari uraian di atas, pertanyaan bahwa apakah stimulus fiskal yang sekarang digulirkan merupakan secercah harapan ataukah hanya sekadar politis sebenarnya tak terlampau sulit untuk dijawab. Hanya, pembuktiannya masih membutuhkan waktu dan akan kita lihat bersama-sama dalam 1 tahun ke depan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar