Rabu, 30 Desember 2009

PPh Pasal 23 di tahun 2009

Nama : Adhitya Eka Putra

NPM : 0800070033

Jurusan : Diploma III Akuntansi Perpajakan

PPh Pasal 23 di tahun 2009

Pada tahun 2009 ini banyak peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah sehubungan dengan perpajakan. Salah satunya adalah Undang-undang Pajak Penghasilan, UU Nomor 36 Tahun 2008 yang berlaku tahun 2009. Dalam undang-undang tersebut ada beberapa point yang mendapatkan perhatian besar dari Wajib Pajak ataupun petugas pajak itu sendiri, salah satunya adalah perubahan sistem penerapan tarif pada pemotongan PPh Pasal 23. Sebelum tahun 2009, sistem penerapan tarif tersebut menggunakan perkiraan penghasilan neto sehingga kemudian muncul istilah tarif efektif dimana tarif yang digunakan hanya 1 macam yaitu 15%, namun untuk menghasilkan nominal PPh yang dipotong dibutuhkan persentase perkiraan penghasilan neto yang besarnya berbeda pada setiap jenis penghasilan yang dipotong PPh pasal 23. Hal ini terkadang menyulitkan Wajib Pajak karena harus pusing menentukan “perkiraan penghasila neto” untuk jenis – jenis penghasilan PPh Pasal 23 yang terbilang banyak terutama pada jenis penghasilan Jasa Lain. Permasalahan atau kesulitan tersebut bisa sedikit teratasi dengan perubahan system pengenaan tarif PPh Pasal 23 untuk tahun 2009 yang menggunakan 2 macam tarif yaitu 15% dan 2 %, meskipun tarif yang digunakan ada 2 macam namun untuk menghasilkan nominal PPh yang dipotong, tarif tersebut langsung dikalikan dengan penghasilan bruto tanpa adanya “perkiraan penghasilan Neto”.

Sesuai peraturan terbaru di tahun 2009, perubahan PPh pasal 23 tidak hanya pada penerapan tarif nya saja, tapi juga perubahan pada unsur-unsur lainya.

Berikut ini dijelaskan secara singkat perubahan-perubahan pada PPh pasal 23 yang berlaku pada tahun 2009.

Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23

Perubahan pada penghasilan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah dihapuskannya Pasal 23 ayat (1) huruf b yaitu pengenaan PPh Pasal 23 yang bersifat final sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi. Jenis penghasilan lainnya tetap yaitu, dividen, bunga royalti, hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21, sewa, imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan dan “jasa lain” selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Penentuan “jasa lain” dalam UU PPh yang baru diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan, sementara dalam ketentuan lama, penentuannya dilakukan oleh Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Jenis-jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (4) adalah sebagai berikut :

  1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank (tidak berubah)
  2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi (tidak berubah)
  3. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) (ketentuan baru dalam frasa yang digari bawahi)
  4. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j (ketentuan ini dihapus sesuai dengan perubahan di Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh)
  5. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i (tidak berubah)
  6. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (tidak berubah)
  7. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (ketentuan ini dihapus sehingga pengenaan PPh nya kembali pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a, atau akan dikenakan PPh Final tersendiri berdasar Pasal 4 ayat(2)?)
  8. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (ketentuan ini sama sekali baru, nampaknya untuk memberikan keadilan antara bank dan lembaga keuangan yang kegiatan usahanya mirip dengan bank).

Tarif PPh Pasal 23

Dalam ketentuan lama, struktur tarif PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut :

  1. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
  2. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat final dikenakan kepada bunga simpanan yang dibayarkan koperasi yang jumlahnya melebihi Rp240.000,- sebulan.
  3. 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; dan imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Ketentuan mengenai jenis penghasilan dan besarnya perkiraan penghasilan neto diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ/2007.

Dalam ketentuan baru Undang-undang Pajak Penghasilan, struktur tarifnya adalah sebagai berikut :

  1. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah, penghargaan dan bonus selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
  2. Dihapus
  3. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
    • sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
    • imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.


Tarif Lebih Tinggi Bagi Wajib Pajak Tak Ber-NPWP

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1a) Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru yaitu UU Nomor 36 tahun 2008, Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka besarnya tarif pemotongan PPh Pasal 23 adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif PPh Pasal 23 umumnya. Dimisalkan sebagai berikut. Jika bagi Wajib Pajak yang berNPWP dikenakan tarif 15%, maka bagi yang tidak berNWP akan dikenakan tarif 30%. Begitu juga jika Wajib Pajak berNPWP dikenakan tarif 2% maka bagi yang tidak berNWP menjadi 4%.

Jasa Lain

Dalam ketentuan lama, jasa lain diatur dalam PER-70/PJ/2007 dimana terdapat 28 jenis jasa lain. Dalam ketentuan baru, jasa lain diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 dengan 27 jenis jasa lain. Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari:

  1. Jasa penilai (appraisal);
  2. Jasa aktuaris;
  3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
  4. Jasa perancang (design);
  5. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan mimyak dan gas bunii (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
  6. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
  7. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
  8. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
  9. Jasa penebangan hutan;
  10. Jasa pcngolahan limbah:
  11. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)
  12. Jasa perantara dan/atau keagenan;
  13. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;
  14. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
  15. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
  16. Jasa mixing film;
  17. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
  18. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau ‘TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
  19. Jasa perawatm/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV tabel, alat transportasi/kendaraandan/atau bangunan, selain yang dilakukan ole11 Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
  20. Jasa maklon;
  21. jasa penyelidikan dan Keamanan;
  22. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
  23. Jasa pengepakan;
  24. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
  25. Jasa pembasmian hama;
  26. Jasa kebersihan atau cleaning service;
  27. Jasa katering atau tata boga.

Permasalahan

Namun dengan dikeluarkannya UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 ini, masih ada beberapa ketidaksinkronan antara tarif yang diatur dalam PPh Pasal 23 dengan tarif yang diatur dalam PPh Pasal 4 ayat (2). Salah satunya adalah pengenaan tarif terhadap jasa konstruksi. Perlu diketahui bahwa jasa konstruksi disebutkan pada kedua pasal ini sebagai objek penghasilan. Dalam Pasal 23, tarif jasa konstruksi sebesar 2% sedangkan dalam pasal 4 ayat (2) tarif jasa konstruksi sebesar 2%, 3%, 4%, dan 6% berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008. Dengan permasalahan semacam ini pasti akan menimbulkan pertanyaan bagi Wajib Pajak, apabila timbul penghasilan atas jasa konstruksi, akan menjadi objek di PPh Pasal 23 atau PPh pasal 4 ayat (2) ?.

Untuk bisa menjawab pertanyaan ini, menurut saya akan lebih baik apabila kita terlebih dahulu melihat dari sifat dari aturan tersebut. Sebagaimana kita ketahui PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pemotongan pajak bersifat final atau khusus, seperti dalam penjelasan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 terkait Pasal 4 ayat (2) yang menyebutkan kata "perlakuan tersendiri". Berikut kutipan penjelsan dimaksud,

" .. atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah." . Berbeda dengan PPh Pasal 23 yang merupakan aturan bersifat umum karena Pasal 23 adalah bagian dari Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan. Artinya PPh Pasal 23 itu adalah cicilan pajak bagi PPh Badan atau PPh OP. Cicilan PPh Pasal 23 yang sudah dipotong oleh pengguna jasa (pemberi penghasilan) tersebut pada akhir tahun dikreditkan oleh penerima penghasilan.

Hal kedua yang menjadi pertimbangan adalah dengan terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tentang bentuk formulir SPT masa PPh final pasal 4 ayat (2), SPT masa PPh Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau pasal 26 serta bukti pemotongan/pemungutannya, dimana dalam bentuk atau format formulir tersebut, penghasilan atas jasa konstruksi hanya di sebutkan atau terdapat dalam SPT masa PPh Final pasal 4 ayat (2), sedangkan dalam SPT masa PPh Pasal 23 tidak disebutkan sama sekali meskipun tercantum dalam undang undangnya.

Untuk itu kita tidak perlu ragu lagi mengenai pemotongan penghasilan atas jasa konstruksi karena berdasarkan penjelasan di atas, untuk jasa konstruksi, PPh pasal 4 ayat (2) mengalahkan PPh Pasal 23. Sehingga apabila muncul penghasilan atas jasa konstruksi maka kita langsung memasukan kedalam objek penghasilan pada PPh Pasal 4 ayat (2).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar