Selasa, 05 Januari 2010

PAJAK DAN STIMULUS FISKAL

FAISAL FIRMAN

0800070045

KELAS B / ABSEN 13

Seorang ekonom terkemuka dunia setelah Adam Smith, yaitu John Keynes mengatakan mengatakan bahwa Pemerintah harus mengambil peranan yang lebih nyata ketika rumah tangga dan dunia usaha menghadapi ketidakpastian ekonomi akibat resesi. Pemerintah bukan hanya berfungsi sebagai regulator dalam perekonomian, akan tetapi langsung terjun melakukan intervensi ke dalam perekonomian melalui stimulus fiskal.

Senada dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia pada awal Januari 2009 lalu menyusun pola kebijakan stimulus fiskal mengikuti kelaziman program-prgram serupa yang disusun negara lain sehingga dapat dibandingkan satu sama lain. Istilah ini sering kita jumpai dengan sebutan benchmarking. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu (BKF) Anggito Abimanyu mengatakan, "Kami membuat definisi yang setara dengan negara lain supaya kita bisa membandingkan volume stimulus satu negara dengan negara lain," (dikutip dari Portal Nasional Republik Indonesia).

Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa stimulus fiskal merupakan kebijakan yang sifatnya ad hoc (sementara) dan terefleksi dalam APBN apakah menyangkut penerimaan maupun belanja kepada masyarakat atau dunia usaha. Hal ini dikemukakan pemerintah pada saat menyampaikan program mengatasi dampak krisis global melalui stimulus fiskal APBN 2009 kepada DPR.

Total stimulus fiskal pada APBN 2009 dalam rangka antisipasi dan penanganan dampak krisis global akan mencapai jumlah Rp71,3 triliun atau sekitar 1,4 persen dari PDB. Jumlah stimulus fiskal itu terdiri dari penghematan pembayaran pajak (tax saving) sebesar Rp43 triliun atau 0,8 persen dari PDB. Stimulus lain berupa subsidi pajak dan bea masuk ditanggung pemerintah (PPNDTP dan BMDTP) yaitu untuk eksplorasi migas dan migor sebesar Rp3,5 triliun (0,07 persen dari PDB), BMDTP bahan baku dan barang modal Rp2,5 triliun (0,05 persen dari PDB), PPh karyawan Rp6,5 triliun (0,12 persen dari PDB), dan PPh panas bumi Rp0,8 triliun (0,02 persen). Selain itu juga terdapat subsidi dan belanja kepada dunia usaha dan pencipataan lapangan kerja, yang terdiri dari penurunan harga solar (subsidi solar) Rp2,8 triliun (0,05 persen), diskon beban puncak listrik industri Rp1,4 triliun (0,03 persen), tambahan belanja infrastruktur Rp10 triliun (0,2 persen), dan perluasan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) sebesar Rp0,6 triliun atau 0,01 persen dari PDB. (Sumber: www.indonesia.go.id)

Kebijakan Pemerintah tersebut tentunya tidaklah diterima oleh semua pihak begitu saja. Berbagai pro dan kontra bermunculan dari kalangan ekonom negeri ini. Mereka yang setuju tentunya sangat mengapresiasi hal ini, akan tetapi sebagian yang lain berpendapat berbeda dengan melihat efektivitas dan efisiensi dari berbagai program stimulus ini yang dipandang hanya pro pada pelaku ekonomi menengah keatas. Boleh jadi kemudian program stimulus ini tidak didasarkan pada kebutuhan dan prioritas yang seharusnya melainkan pada selera para pengambil kebijakan. Terlepas dari itu semua, tugas kita selanjutnya adalah bagaimana mendukung program Pemerintah tersebut agar berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Melihat besarnya proporsi pajak dalam program stimulus tersebut, penulis sebagai abdi negara yang sudah seharusnya mendukung program Pemerintah merasa berkewajiban untuk menyampaikan sebagian dari paket kebijakan tersebut khususnya terkait bidang perpajakan. Mengingat mekanisme bekerjanya Stimulus fiskal merupakan salah satu bentuk instrumen fiskal.

Bentuk instrumen fiskal tersebut antara lain adalah adalah Pemotongan Pajak. Pemotongan pajak seperti pajak penghasilan (PPh) akan mengurangi beban pendapatan sehingga pihak yang menerima beban pajak akan menaikkan kapasitas konsumsinya. Ada dua jenis pajak yang dimaksudkan menjadi sasaran dalam Stimulus Fiskal, yaitu pajak yang dikenakan kepada rumah tangga dan pajak yang dikenakan pengusaha (swasta). Bagi pengusaha, pemotongan pajak (tax cut) akan mengurangi beban biaya operasional sehingga akan lebih mampu untuk mempertahankan kapasitas produksinya, termasuk di antaranya mengurangi pilihan untuk melakukan PHK.

Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan mengeluarkan peraturan tentang Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) Tahun 2009 yang merupakan bagian dari program stimulus fiskal sebagaimana diatur dalam PMK 43/PMK.03/2009 dan PMK 49/PMK.03/2009. Adapun hal-hal yang perlu diketahui terkait peraturan tersebut adalah :

1. Latar Belakang

Latar belakang pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP ini adalah dalam rangka mengurangi dampak krisis global yang berakibat pada penurunan kegiatan perekonomian nasional dan untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja.

2. Dasar Hukum

  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2009
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2009

3.Pihak-pihak yang berhak atas PPh Ditanggung pemerintah

Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah ini diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak dan tidak lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dalam satu bulan. PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah ini juga diberikan kepada seluruh pekerja yang memenuhi syarat sampai dengan masa Juni 2009. Mulai masa Juli 2009, insentif PPh Pasal 21 DTP ini diberikan kepada pekerja yang memenuhi syarat dan telah memiliki NPWP.

4. Pengertian Kategori Usaha Tertentu

Kategori usaha tertentu tersebut adalah adalah kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan, kategori usaha perikanan, dan kategori usaha industri pengolahan yang rinciannya tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2009.


5. Pengertian penghasilan bruto

Dalam penghitungan PPh Pasal 21, penghasilan bruto adalah penghasilan-penghasilan yang diberikan pemberi kerja kepada pekerja, pegawai atau karyawan yang merupakan objek pajak sebelum dikurangi pengurang yang diperkenankan seperti iuran pensiun dan biaya jabatan.

6. Mekanisme pelaporan oleh perusahaan selaku pemberi kerja

  1. Pemberi kerja wajib menyampaikan realisasi pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan.
  2. Atas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah wajib dibuatkan Surat Setoran Pajak yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NO 43/PMK.03/2009” oleh pemberi kerja.
  3. Formulir dan Surat Setoran Pajak tersebut dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Masa Pajak yang sama.
  4. Pemberi kerja wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

7. Masa Berlaku insentif PPh Pasal 21 DTP

Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah berlaku untuk Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang untuk Masa Pajak Februari 2009 sampai dengan Masa Pajak November 2009 dan dilaporkan paling lama tanggal 20 Desember 2009

Langkah-langkah yang telah ditempuh pemerintah tersebut paling tidak menunjukkan kepedulian atas nasib warga negaranya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Sudahkah kita peduli dengan negeri ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar