Senin, 04 Januari 2010

Saatnya Pajak Jadi Penolong di Meja Hijau

Saatnya Pajak Jadi Penolong di Meja Hijau

Oleh: Fahruddin / 0800070044

Saya tidak pernah mengira kalau kasus cicak dan buaya yang belakangan ini merebak, mengangkat popularitas wajah peradilan di Indonesia yang berujung pada sebuah indikasi positif, bahwa rakyat Indonesia semakin kritis dan peduli. Dalam kasus cicak dan buaya tersebut setidaknya telah muncul beberapa golongan di masyarakat,yaitu kubu cicak, kubu buaya, ada pula kubu kura-kura. Kubu kura-kura tak pernah peduli dengan keadaan ini, alias kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.

Lalu bagaimana pula keterkaitan-nya dengan perpajakan di Indonesia?

Setali tiga uang, ada yang peduli, ada yang sangat antipati dan ada pula yang menjadi kubu kura-kura. Kubu yang peduli berargumen dengan pajak bisa membangun bangsa, sebuah argument yang sangat bijak memang. Sementara itu di kubu lain sangat antipati terhadap pajak, dan menganggap pajak adalah sebuah beban yang sangat berat. Sementara itu kelompok kura-kura memilih diam dan lebih tertarik pada dunia lain, infotainment mungkin.

Saya sangat mengapresiasi kubu yang peduli pajak. Betapa besar jasa mereka dan betapa mulia hatinya untuk membangun bangsa sendiri. Merekalah orang-orang yang mengerti betapa menyakitkannya ditinggalkan orang tua karena harus menjadi TKI di luar negeri, apalagi yang orang tuanya kembali hanya tinggal nama saja.

Namun saya tidak menyalahkan mereka yang antipati terhadap pajak. Saya percaya mereka masih punya keinginan untuk membangun bangsa ini, namun mereka mungkin mempunyai alasan yang tidak sepenuhnya salah atau patut dipersalahkan. Menurut riset yang dilakukan SME Development bekerja sama dengan Kementrian Koperasi menyatakan bahwa pengetahuan tentang pajak serta tarif pajak menajadi salah satu faktor rendahnya kepatuhan membayar pajak. Dalam survei tersebut dinyatakan, untuk pajak penghasilan ada 15% responden menyatakan tidak membayar pajak namun mengerti harus membayar pajak, dan diatas 30 % responden tidak membayar pajak karena mereka tidak tahu.

Di sisi lain menurut pengamatan penulis, beberapa masalah klasik masih menjadi faktor penentu rendahnya kesadaran akan kewajiban perpajakan, diantaranya:

  • Aparat pajak belum sepenuhnya professional, akibatnya pelayanan kepada wajib pajak masih jauh dari harapan (wajib pajak); Inilah yang akan menjadi agenda reformasi jilid dua Direktorat Jenderal Pajak, yakni dengan mengedepankan kualitas SDM pajak, sehingga mampu memberikan pelayanan terbaik dan bekerja professional.
  • Bayang-bayang korupsi aparat Negara pun oleh pegawai pajak itu sendiri menimbulkan keengganan yang tinggi untuk membayar pajak. Wajib pajak lebih memilih memakan uang pajak mereka sendiri daripada di”embat” oleh aparat Negara. Pun menjadi pekerjaan rumah Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka membangun image yang “bersih” di mata masyarakat;
  • Apa sih manfaat pajak itu? Masyarakat belum bisa menikmati manfaat atas pajak yang mereka bayarkan. Dengan melakukan penyuluhan dengan teknik-teknik lama seperti pajak untuk pembangunan infrastruktur, jalan dan sebagainya sepertinya sudah harus ditinggalkan. Dan ini lah yang akan saya bahas dalam artikel singkat ini.

Menurut undang-undang No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam pasa 1 dijelaskan bahwa, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Yang perlu saya garis bawahi adalah tanpa imbalan langsung. Adalah benar jika membayar pajak tidak langsung mendapatkan imbalan, karena yang mendapatkan imbalan langsung adalah prinsip retribusi. Adalah benar pula jika manfaat berupa fasilitas umum adalah salah satu bentuk manfaat tidak langsung yang diperoleh. Tapi adakah sesuatu yang bisa bersifat individual?

Dalam kasus yang saya sebutkan diatas, saya sangat tertarik jika ada sebuah kompensasi hukum bagi yang patuh membayar pajak. Jasa mereka dalam membangun bangsa harus tetap diapresiasi. Taat membayar pajak berarti masih ada i`tikad baik yang dimiliki oknum tersebut.

Misalnya, tuan Antasari tengah menghadapi kasus perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena sebuah dakwaan, dan dituntut dengan hukuman satu tahun misalnya. Jika tuan wizard ternyata punya loyalitas atas pembayaran pajak, mengapa tidak mendapat keringanan? Betapa kontribusinya pada Negara telah menunjukkan loyalitasnya.

Apakah lantas hal tersebut melanggar Undang-undang? menurut saya tidak. Karena imbalan ini tidak bersifat langsung, hanya diberikan di depan pengadilan. Dimana tidak setiap orang tentunya akan selalu berhadapan dengan hukum atau pengadilan.

Bagaimana jika terjadi keadaan sebaliknya, justru memiliki catatan perpajakan yang buruk? Tentunya bisa saja akan menambah tuntutan hukuman yang diterima.

Menjadi sebuah cara efektif menurut saya untuk meningkatkan kesadaran akan pajak. Karena ada manfaat yang bisa diperoleh secara tidak langsung di masa yang akan datang. Pun juga sebagai wujud balas budi bangsa dan negara ini atas kepedulian membayar pajak.

Adalah menjadi sebuah stimulus yang baik bagi wajib pajak untuk terus mematuhi kewajiban pajaknya. Sebuah stimulus kecil yang bisa berdampak besar tentunya. Menurut hemat saya, semakin besar nama, jabatan dan penghasilan seseorang semakin banyak kasus hukum yang mungkin dihadapi. Nah, jika mereka patuh, penerimaan pajak dari mereka juga akan meningkat. Menjadi sebuah hal yang kurang presticius ketika sebuah nama besar diikuti dengan catatan perpajakan yang jelek. Bukan begitu?

Lantas bagaimana dengan asas kerahasiaan wajib pajak? Menurut saya, asas kerahasiaan tetap akan dijaga. Karena yang disampaikan adalah bagaiaman oknum tersebut memenuhi kewajiban perpajakannya, dan bentuk-bentuk upaya menghindari kewajiban perpajakannya, bukan pada esensi nilai pajaknya.

Dengan metode seperti ini, besar harapan saya, kebuntuan yang dihadapi bangsa ini bisa dipecahkan. Menurut saya, problema bangsa ini bisa diatasi dengan sebuah integrasi, sistem yang terintegrasi, tidak lagi memandang pulau-pulau permasalahan. Ketika menghadapi kasus hukum, hanya unsur hukum yang dipandang dan melupakan sisi baik yang telah diperbuat oknum tersebut.

Menghadapi sebuah integrasi ini, Direktorat Jenderal Pajak harus bersiap diri. Karena selain harus membuat profil wajib pajak untuk intern dalam rangka penggalian potensi juga harus membuat sebuah profil khusus mengenai catatan perpajakan masing-masing wajib pajak.

Dan pada akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa metode atau wacana ini sudah selayaknya dipertimbangkan untuk diimplementasikan. Sebagaimana Negara-negara maju yang telah menerapkan kontraprestasi langsung kepada pembayar pajak yang berupa subsidi ke pengusaha kecil. Jika kita mau, kenapa tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar