Kamis, 07 Januari 2010

Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Boleh Memakai Norma

Oleh : Nur Kolis

WPOP yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp 600 juta dalam satu tahun buku wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali yang bersangkutan memilih menyelenggarakan pembukuan. Ketentuan itu tertuang pada pasal 14 UU PPh, hal mana besarnya peredaran bruto tersebut dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Definisi menjalankan kegiatan usaha yang dimaksud adalah usaha apapun di berbagai bidang entah pertanian, industri, perdagangan, atau lainnya. Sednagkan pekerjaan bebas umumnya terkait dengan keahlian atau profesi yang dijalankan endiri oleh tenaga ahli yang bersangkutan anatara lain: pengacara, akuntan, konsultan, notaris, atau dokter. Maksudnya, mereka membuka praktek sendiri dengna nama sendiri. Jika mereka hanya bekerja atau berstatus karyawan, misalnya seorang akuntan bekerja di Kantor Akuntan Publik, maka mereka tidak termasuk WPOP yang menjalankan pekerjaan bebas.

Jika omset setahun sudah mencapai Rp 600 juta atau lebih, tidak lagi termasuk penguasaha kecil, WPOP yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas itu tidak bisa lagi menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. Otomatis juga dia harus menyelenggarakan pembukuan, tidak bisa lagi sekadar melakukan pencatatan. Namun pejabat KPP tadi mensinyalir adanya pengusaha, WPOP, yang justru sengaja menurunkan omzetnya, malah ada yang sampai menolak order hanya gara-gara tidak mau terkena kewajiban pembukuan.

Bagi WPOP yang tidak memilih untuk menyeleggarakan pembukuan, tetapi melakukan pencatatan penghasilan netto atau pekerjaan bebasnya dihitung dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto. Untuk kepentingan itu, WPOP yang bersnagkutan wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma penghitungan penghasilan Netto kepada Dirjen Pajak paling lama tiga bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.

Pemberitahuan yang disampaikan dalam jangka waktu tersebut dianggap disetujui, kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata WPOP tersebut tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto. Jika WPOP tidak melakukan pemberitahuan, maka dia dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Dalam hal WPOP memilih menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan nettonya tidak lagi dihitung menggunakan Norma penghitungan Penghasilan Netto, melainkan laba-rugi fiskal berdasarkan pembukuannya. Ketentuan ini juga berlaku terhadap WPOP yang tidak memberitahukan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto kepada irjen Pajak sehingga dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Penggunaan Norma Penghitungan

Norma Penghitungan Penghasilan Netto ditetapkan oleh Dirjen Pajak dalam persentase tertentu berdasarkan jenis usaha dan kelompok wilayah masing-masing. Untuk saat ini, Norma Perhitungan Penghasilan Netto yang berlaku sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-536/PK./2000, hal mana kelompok wilayah dibedakan menjadi tiga, yaitu ibukota propinsi (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar, dan Pontianak), ibukota propinsi lainnya, dan daerah lainnya (selin ibukota propinsi).

Penghasilan netto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka presentase Norma Penghitungan Penghasilan Netto dengna peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam satu tahun. Dalam menghitung besarnya PPh yang terutang oleh WPOP, sebelum dilakukan penerapan tarif umum terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan netto.

Pejabat KPP tadi menjelaskan, bagi WPOP yang mempunyai lebihd ari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, penghitungan dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan pengelompokkan wilayah. Penghasilan netto mereka ini merupakan penjumlahan penghasilan netto dari masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas.

Bentuk dan tata cara pencatatan

Bentuk dan tata cara pencatatan, seperti ditetapkan dalam Pasal 28 ayat (12) UU KUP diatur dengan Keputusan Dirjen pajak, yang sekarang berlaku adalah KEP-520/PJ/2000. pada prinsipnya pencatatan harus mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

Pencatatan harus dibuat secara lengkap dan benar, serta didukung dengna dokumen yang dijadikan dasar penghitungan peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final. Pencatatan dalam suatu tahun pajak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

Pencatatan harus dapat menggambarkan sejumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Bagi WPOP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas jumlah peredaran atau penerimaan bruto dari masing-masing jenis usaha dan atau tempat usaha , pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas jumlah peredaran atau penerimaan bruto dari masing-masing jenis usaha dan atau tempat usaha yang bersangkutan.

WPOP yang melakukan kegiatan usaha yang bersnagkutan bebas yang boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan penghasilan Netto harus mencatat peredaran atau penerimaan bruto, penghasilan yang bukan objek pajak, dan penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final.

Sedangkan WPOP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas harus mencatat penghasilan bruto dan penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final.

Pencatatan yang dilakukan akan menjadi dasar penyusunan SPT Tahunan PPh, hal mana WPOP harus mencantumkan jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto setiap bulan selama setahun. Dalam hal WPOP menerima penghasilan sehubungan dengna pekerjaan, yang sudah dipotong PPh-nya oleh pemberi kerja, menyimpan formulir 1721-A1 sudah dianggap melakukan pencatatan, kemudian untuk SPT tahunan PPh-nya wajib dilampirkan fotokopi formulir 1721-A1.

Sanksi bagi WPOP yang tidak membuat pencatatan atau tidak sepenuhnya membuat pencatatan, atau tidak menyimpan bukti pencatatan, atau tidak menyimpan bukti pencatatan dipersamakan dengan sanksi bagi pengusaha yang wajib menyelenggarakan pembukuan-termasuk WPOP yang dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan karena tidak melakukan pemberitahuan kepada Dirjen Pajak-tetapi tidak menyelenggarakan pembukuan dengan baik.

Penghasilan netto bagi WP yang melanggar ketentuan pencatatan atau pembukuan dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan penghasilan Netto ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen)dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Seperti disinggung sebelumnya bagi WPOP yang tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan maupun melakukan pencatatan. Merujuk pada keputusan Menteri Keuangan No. 535/KMK.04/2000, WPOP yang tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh adalah mereka yang penghasilan nettonya tidka melebihi PTKP. Jadi ternyata, yang tidak wajib pembukuan maupun pencatatan adalah WPOP yang tidak wajib NPWP.

◊◊◊◊◊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar