Oleh : Roy Agustinus.
Kata Pengantar
Konon, di dunia ini tidak ada sesuatu yang pasti selain pajak. Kita hidup pasti membayar pajak. Nyaris tidak ada tempat di dunia ini yang bebas dari pajak, kecuali kita tinggal di daerah terpencil dan tidak berhubungan dengan dunia luar sama sekali. Sejak bayi lahir ke dunia ini, mulai menggunakan berbagai barang kebutuhan hidup sehari-hari (pakaian, susu, makanan dll) semua terkena pajak. Pada saat orang tua membelanjakan uangnya untuk keperluan calon buah hati tercinta, saat itu pula kita sudah membayar pajak.
Bagi perusahaan, negara adalah “pemegang saham utama” dengan porsi sebesar 30% (tarif pajak yang berlaku). Sebelum laba dibagikan kepada para pemegang saham/owner, perusahaan terlebih dahulu diwajibkan untuk membayar 30% ke kas negara sebagai kewajiban pajak.
Bagi karyawan, demikian pula. Sebelum gaji dibayarkan kepada karyawan, sebelum kita bisa membelanjakan gaji yang kita peroleh, pada dasarnya pajak yang terutang (PPh 21) sudah harus dipotong dan disetorkan ke negara.
Pajak adalah beban bagi perusahaan
Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.
Mengingat pajak adalah beban yang akan mengurangi laba bersih perusahaan maka perusahaan akan berupaya semaksimal mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak harus dilakukan dengan cara-cara yang legal agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari.
Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus penggelapan pajak :
- Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya,
- Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif,
- Transaksi export fiktif,
- Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan
Jika kita analogikan pajak dengan karcis tol, jika kita lewat jalan tol namun tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Sedangkan jika kita menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa, maka itulah penghindaran pajak. Menghindari membayar tol (pajak) dengan cara tidak lewat jalan tol adalah cara yang legal.
Bagaimana cara menghindari Pajak
Seperti halnya dengan menghindari jalan tol (memilih jalan biasa) agar terhindar dari kewajiban membayar karcis tol, cara yang paling mudah dan legal untuk menghindari pajak adalah dengan cara menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, misalnya dengan tidak memperoleh penghasilan. Namun tentu saja pilihan ini tidak mungkin untuk dipilih. Tentu kita tidak mau kan hanya demi menghindari pembayaran pajak, lantas kita tidak mau memperoleh penghasilan?
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang paling sedikit namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.
Selain menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, langkah-langkah penghematan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain:
- Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak terendah,
- Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan,
- Memilih berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak terendah,
- Memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar
Bagaimana pajak perusahaan dihitung
Pada dasarnya kewajiban pajak perusahaan dihitung berdasarkan laba bersih yang diperoleh selama satu periode (satu tahun pajak). Laba bersih perusahaan dihitung berdasarkan laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan.
Sebagai gambaran, laporan laba rugi yang disusun oleh perusahaan :
Uraian | Jumlah (Rp) |
Penjualan | 10.000.000 |
Harga Pokok Penjualan | 6.000.000 |
Laba Bruto | 4.000.000 |
Biaya Operasional : | |
- Biaya Pemasaran (Promosi, sponsorship dll) | 1.000.000 |
- Biaya Gaji karyawan | 900.000 |
- Biaya Operasional lainnya | 1.500.000 |
Sub total Biaya Operasional | 3.400.000 |
Laba Bersih | 600.000 |
PPh terutang – 30% | 180.000 |
Laba Bersih setelah Pajak | 420.000 |
Dalam contoh tersebut laba bersih perusahaan sebelum pajak sebesar Rp 600.000. PPh yang terutang sebesar Rp 180.000 sehingga laba bersih setelah pajak yang dapat diinvestasikan kembali atau dibagikan kepada pemilik sebagai dividen sebesar Rp 420.000
Tidak semua Biaya Operasional dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan
Dalam ilustrasi perhitungan PPh di atas, diasumsikan bahwa seluruh biaya operasional perusahaan dapat dibebankan / diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan. Sehingga pajak yang terutang dihitung berdasarkan laba bersih.
Sayangnya, sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku terdapat berbagai macam biaya yang meskipun secara akuntansi komersial dan bisnis memang dikeluarkan oleh perusahaan untuk keperluan usaha namun tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh terutang atau menjadi non deductable expenses.
Secara umum, pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan secara fiskal (deductable expenses) adalah pengeluaran yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Pengeluaran biaya tersebut dilakukan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan serta didukung dengan bukti yang memadai (valid & reliable).
Meskipun pengeluaran yang dilakukan perusahaan benar-benar berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, secara internal-pun sudah diakui kebenaran transaksi tersebut, sepanjang pengeluaran tersebut tidak didukung adanya bukti transaksi yang memadai, bukti transaksi yang valid dan reliable maka sesuai dengan ketentuan perpajakan, pengeluaran tersebut menjadi non deductable expenses.
Berbicara mengenai bukti kebenaran suatu transaksi, akuntansi mencatat suatu transaki yang telah lewat kejadiannya (historical data), satu-satunya alat yang dapat membuktikan bahwa transaksi tersebut benar adanya, yaitu dengan adanya dokumen yang valid dan reliable. Selain dokumen, tentu saja adanya internal kontrol yang kuat yang dapat mencegah terjadinya transaksi-transaksi yang tidak benar juga diperlukan.
Meskipun secara akuntansi komersial, suatu transaksi telah dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan dokumen- yang ada, ketentuan perpajakan belum tentu menerima hal tsb.
Kalau ketentuan pajak tidak mengakui pengeluaran perusahaan sebagai deductable expenses, apa efeknya?
Dalam ilustrasi perhitungan PPh di atas, diasumsikan bahwa semua biaya operasional dapat diakui sebagai pengurang penghasilan seluruhnya sehingga PPh terutang dihitung berdasarkan laba bersih. Apabila atas biaya operasional perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya secara fiskal menjadi non deductable expenses, maka perhitungan pajak dilakukan berdasarkan laba bersih setelah ditambah dengan pengeluaran yang merupakan kelompok non deductable expenses.
Jika dalam ilustrasi perhitungan di atas, komponen biaya pemasaran tidak didukung bukti pengeluaran yang valid misalnya, selain itu juga terdapat biaya entertainment yang tidak didukung daftar nominatif, sehingga seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya (dikoreksi menjadi non deductable expenses), maka ilustrasi perhitungan PPh-nya menjadi sebagai berikut :
Uraian | Jumlah (Rp) | |
Penjualan | 10.000.000 | |
Harga Pokok Penjualan | 6.000.000 | |
Laba Bruto | 4.000.000 | |
Biaya Operasional : | ||
- Biaya Pemasaran (Promosi, sponsorship dll) | 1.000.000 | |
- Biaya Gaji karyawan | 900.000 | |
- Biaya Operasional lainnya | 1.500.000 | |
Sub total Biaya Operasional | 3.400.000 | |
Laba Bersih – komersial | 600.000 | |
Ditambah : | ||
Biaya pemasaran yang merupakan non deductable expenses | 1.000.000 | |
Laba yang menjadi dasari perhitungan Pajak | 1.600.000 | |
PPh terutang – 30% | 480.000 | 80,00% |
Laba Bersih setelah Pajak | 120.000 | |
Dari ilustrasi perhitungan ini, dapat terlihat bahwa pengeluaran yang nyata-nyata sudah menjadi beban perusahaan untuk keperluan memasarkan produk biaya promosi dan sponsorship namun karena biaya tersebut tidak didukung bukti yang valid, perusahaan memiliki kewajiban pajak yang jauh lebih tinggi dibanding seharusnya. Dalam contoh tersebut tarif efektif PPh mencapai 80% dari laba bersih.
Membayar 30% saja sudah menjadi beban apalagi harus membayar sampai 80%, tentu menjadi beban yang sangat berat bagi perusahaan.
Memilih alternatif transaksi yang memberikan efek pajak termurah
Selain wajib membayar pajak atas penghasilan yang diperoleh, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk memotong pajak yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lainnya, baik kepada karyawan maupun kepada pihak ketiga.
Atas pembayaran gaji dan tunjangan kepada karyawan perusahaan wajib memotong dan menyetor PPh 21 yang terutang. Pembahasan mengenai PPh 21 akan dilanjutkan pada kesempatan lain.
Sedangkan atas pembayaran kepada pihak ketiga, atas imbalan jasa / kegiatan, perusahaan juga memiliki kewajiban memotong PPh 23 yang terutang dan menyetorkannya ke kas negara. Dalam kondisi yang ideal, PPh pasal 23 yang harus dipotong dari pembayaran kepada pihak ke-3 (vendor) tidaklah menjadi pengurang penghasilan (biaya) bagi perusahaan, karena perusahaan hanya mengurangi jumlah uang yang akan dibayarkan kepada vendor sebesar tarif PPh 23 yang berlaku dan menyetorkannya ke kas negara.
Sayangnya, dunia apalagi dunia pajak tidak selalu indah. Ada saat dimana perusahaan harus melakukan transaksi dengan vendor yang lebih superior dan tidak bersedia dipotong pajak atas fee yang akan diterimanya. Ada saat dimana perusahaan dalam posisi sangat membutuhkan jasa pihak ketiga tersebut karena otoritas yang dimilikinya. Dalam kondisi seperti ini, perusahaan lagi-lagi akan memperhitungkan alternatif mana yang harus dipilih agar pajak tidak semakin menjadi beban bagi perusahaan. Kadang perusahaan terpaksa memilih untuk melakukan gross up atas fee yang akan dibayarkan kepada vendor / pihak ketiga yang jasanya sangat dibutuhkan perusahaan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Adakalanya perusahaan memilih untuk menanggung pajak yang seharusnya menjadi beban pihak lain, meskipun beban pajak tersebut pada akhirnya menjadi komponen non deductable item.
Tujuan perusahaan yang harus dicapai secara bersama-sama
Salah satu tujuan sebuah perusahaan didirikan adalah untuk tujuan ekonomi. salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah perusahaan secara ekonomi adalah pencapaian laba bersih setelah pajak yang tinggi.
Laba bersih yang tinggi tentu diawali dengan pencapaian target penjualan yang tinggi, kemudian diikuti dengan pengeluaran biaya-biaya yang efisien, dan pembayaran pajak yang optimal, sehingga akan dicapai laba bersih setelah pajak yang maksimal.
Ketika penjualan mencapai target, namun biaya yang dikeluarkan jauh lebih tinggi misalnya maka secara ekonomi hal tsb hanya akan menjadi sebuah pencapaian yang sia-sia.
Demikian pula ketika laba bersih secara komersial sudah mencapai angka yang optimal, karena didukung dengan pencapaian target penjualan yang maksimal dan pengeluaran yang minimal, bisa jadi akan menjadi sia-sia ketika ternyata laba habis tergerus beban pajak yang tidak seharusnya. Misalnya karena banyaknya biaya yang merupakan kriteria non deductable expenses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar