Oleh Eko Wiluyo
NPM 0900070014
Bagi masyarakat dan Wajib Pajak khususnya, bulan Januari sampai dengan April 2011 adalah bulan dimana kewajiban konstitusional sebagai warga negara harus ditunaikan. Ya, di bulan-bulan inilah masyarakat yang telah mempunyai NPWP dan memperoleh penghasilan di tahun 2010, diwajibkan oleh Undang-Undang Perpajakan untuk memenuhi kewajibannya yaitu melaporkan penghasilan yang telah diterimanya dan pajak yang telah disetor ke kas negara kepada pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak hanya bagi masyarakat dan Wajib Pajak saja, momen awal tahun juga merupakan momen yang penting bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk menunjukan komitmennya sebagai institusi pelayanan publik dalam memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat terkait pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan 2010.
Sejak digulirkan 2 tahun lalu tepatnya pada tahun 2009 untuk penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT)/ e-SPT Tahunan PPh tahun pajak 2008, layanan penyampaian SPT Tahunan melalui Pojok Pajak/ Mobil Pajak/ Drop Box akan kembali diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pajak di tahun 2011 ini untuk menerima SPT/e-SPT Tahunan PPh tahun pajak 2010. Tahun ini adalah tahun ketiga penyelenggaraan layanan penerimaan SPT Tahunan melalui Drop Box, setelah sukses dua tahun berturut-turut pelaksanaan program serupa. Ketentuan mengenai penerimaan SPT Tahunan ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2010 tanggal 12 Januari 2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2009 tentang Tatacara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan dan peraturan pelaksanaan lainnya. Penggunaan istilah Drop Box pertama kali dikenalkan pada tahun 2009 sebagai inovasi pelayanan dalam penerimaan SPT/ e-SPT Tahunan disamping sarana pelayanan lain yang sudah ada yaitu penyampaian SPT melalui Tempat Pelayanan Terpadu (TPT), KP2KP, pos tercatat, jasa ekspedisi, maupun e-Filling. Dalam mekanisme penerimaan SPT/ e-SPT Tahunan, pengertian Pojok Pajak/ Mobil Pajak/ tempat khusus penerimaan SPT Tahunan (Drop Box) adalah tempat lain yang dapat digunakan untuk menerima SPT Tahunan/e-SPT Tahunan.
Dalam ketentuan pasal 3 Perdirjen tersebut dijelaskan bahwa :
1)Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Tahunan/e-SPT Tahunan melalui :
a.Secara langsung ke Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) atau Pojok Pajak/Mobil Pajak/Drop Box terdekat;
b.Pos dengan bukti pengiriman surat atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak terdaftar;
c.e-filing melalui ASP.
2)Penyampaian SPT Tahunan/e-SPT Tahunan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan dalam amplop tertutup dengan menulis:
• Nama Wajib Pajak;
• NPWP;
• Tahun Pajak;
• Status SPT (Nihil/Kurang Bayar/Lebih Bayar);
• Nomor Telepon.
Sejak program pelayanan Drop Box ini diluncurkan DJP pada tahun 2009, sambutan positif masyarakat akan pelayanan ini sungguh luar biasa. Antusiasme masyarakat dalam menyampaikan SPT-nya pun terlihat diberbagai pusat-pusat perbelanjaan, pusat bisnis, maupun tempat lainnya dimana layanan Pojok Pajak/ Mobil Pajak/ Drop Box ini dibuka. Dengan adanya layanan Drop Box ini, tingkat kepatuhan penyampaian SPT Tahunan oleh Wajib Pajak pun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini sesuai dengan tujuan diadakannya program penerimaan SPT Tahunan melalui Pojok Pajak/ Mobil Pajak/ Drop Box yaitu meningkatkan pelayanan dan memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak terkait dengan penyampaian SPT Tahunan. Ini merupakan terobosan/ inovasi yang dilakukan DJP dalam meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak.
Dan untuk tahun 2011 ini, Direktorat Jenderal Pajak beserta jajarannya akan kembali melaksanakan program penerimaan SPT/ e-SPT Tahunan melalui Pojok Pajak/ Mobil Pajak/ Drop Box. Drop Box DJP tahun 2011 akan dibuka di Kantor Pelayanan Pajak, KP2KP, pusat-pusat perbelanjaan, pusat bisnis, maupun tempat lainnya. Untuk jadwal pelayanan dan lokasi pelaksanaan akan ditetapkan oleh Kantor Pelayanan Pajak setempat. Dengan diadakannya kembali sistem pelayanan Drop Box ini, diharapkan masyarakat/ Wajib Pajak yang tidak sempat untuk menyampaikan SPT Tahunan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat mereka terdaftar, tidak mempunya cukup waktu untuk mengirimkan SPT Tahunan melalui pos/ kurir, dapat menyampaikan SPT Tahunan melalui Drop Box terdekat. Wajib Pajak juga dapat menyampaikan SPT Tahunannya di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), KP2KP, dimanapun mereka berada tanpa memperhatikan tempat mereka terdaftar. Sebagai contoh Wajib Pajak yang bekerja di Jakarta tetapi terdaftar sebagai Wajib Pajak di KPP Pratama Purworejo, dapat menyampaikan SPT Tahunan di Jakarta, baik melalui Kantor Pelayanan Pajak terdekat dimana mereka bekerja maupun melalui Pojok Pajak/ Mobil Pajak/ Drop Box yang dibuka di pusat-pusat perbelanjaan/keramaian, pusat bisnis, atau tempat lainnya.
Jenis pelayanan SPT Tahunan yang dapat disampaikan melalui Drop Box DJP adalah SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi (1770SS, 1770S, dan 1770) dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (SPT 1771 dan SPT 1771$) termasuk SPT Tahunan Pembetulan. Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan melalui Drop Box akan menerima tanda terima penyampaian SPT. Tanda terima ini berbeda dengan Bukti Penerimaan Surat (BPS) tetapi mempunyai fungsi yang sama sebagai bukti penerimaan yang sah sepanjang SPT telah diterima lengkap. Dan, hal itu tertera di bagian bawah tanda terima Drop Box yang diterima oleh Wajib Pajak. Dalam pelaksanaan kewajiban penyampaian SPT Tahunan melalui Drop Box, masyarakat/ Wajib Pajak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.Bahwa SPT Tahunan tidak lagi dikirim ke alamat Wajib Pajak. Mulai tahun 2010, Wajib Pajak harus mengambil sendiri SPT Tahunan di Kantor Pelayanan Pajak, KP2KP, Kantor Wilayah DJP, Kantor Pusat DJP, atau mengunduh sendiri melalui website DJP : www.pajak.go.id atau mencetak/ menggandakan/ fotokopi dengan bentuk dan isi yang sama dengan aslinya.
2.SPT Tahunan yang akan dilaporkan harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap. Kelengkapan yang harus dilampirkan dalam SPT Tahunan adalah Surat Setoran Pajak (SSP) lembar ke-3 untuk SPT Tahunan dengan status kurang bayar, Bukti Potong Pajak Penghasilan dari Bendahara (1721 A1 untuk pegawai swasta dan 1721 A2 untuk PNS/ Anggota TNI/ Polri). Jangan lupa juga untuk menandatangani SPT Tahunan, karena SPT yang tidak ditandatangani dianggap sebagai SPT Tahunan yang tidak lengkap.
3.Kemudian masukkan SPT Tahunan ke dalam amplop tertutup. Jangan lupa Tuliskan Nama Wajib Pajak, NPWP, Tahun Pajak, Status SPT (Lebih Bayar/ Kurang Bayar/ Nihil), dan Nomor Telepon/ HP. Pastikan bahwa alamat dan nomor telepon yang dicantumkan adalah benar, sehingga jika sewaktu-waktu ditemukan kekurangan kelengkapan SPT, akan memudahkan Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dalam mengkonfirmasi Anda.
4.Agar melaporkan SPT Tahunan jauh hari sebelum mendekati batas waktu akhir penyampaian SPT Tahunan. Batas akhir pelaporan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2010 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi adalah 31 Maret 2011 (3 bulan setelah akhir tahun pajak). Sedangkan untuk pelaporan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2010 untuk Wajib Pajak Badan adalah 30 April 2011 (4 bulan setelah akhir tahun pajak).
5.Sampaikan SPT Tahunan yang telah diisi lengkap dan dimasukkan dalam amplop tertutup kepada petugas penerima SPT Tahunan melalui Drop Box. Mintalah tanda terima dari petugas penerima SPT. Tanda terima Drop Box inilah bukti sah yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tersebut telah melaporkan SPT Tahunan melalui layanan Drop Box. Kemudian simpan tanda terima SPT tersebut sebagai bukti penyampaian SPT Tahunan.
6.Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar akan meneliti kelengkapan SPT Tahunan yang telah anda disampaikan melalui Drop Box.
Jika setelah diteliti ternyata ada kekurangan kelengkapan SPT Tahunan yang telah disampaikan, maka Kantor Pelayanan Pajak akan mengirimkan Surat Permintaan Kelengkapan SPT Tahunan kepada Anda. Jika surat ini tidak ditanggapi oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat tersebut, SPT Tahunan yang telah Anda sampaikan dianggap tidak disampaikan. Oleh karena itu, segera penuhi kelengkapan yang diminta oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan menunjukkan tanda terima Drop Box yang telah diterima ketika melaporkan SPT Tahunan, dan lengkapi permintaan kelengkapan data yang belum lengkap.
Dengan adanya inovasi pelayanan SPT Tahunan melalui Pojok Pajak/ Mobil Pajak/ Drop Box ini diharapkan dapat membantu masyarakat/ Wajib Pajak dalam memperoleh informasi terkait kewajiban perpajakan dan mempermudah masyarakat/ Wajib Pajak dalam menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilannya, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menunaikan kewajiban sebagai warga negara yang baik dengan membayar pajak sebagai cermin kepedulian terhadap pembangunan bangsa dan negara. Selamat melaksanakan kewajiban perpajakan Anda! Pajak Anda, membangun bangsa!
Senin, 31 Januari 2011
Selasa, 25 Januari 2011
Pengawasan Terhadap Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan pada Tempat Pembayaran Elektronik
Oleh : Ade M Setiawan
Kegiatan pengawasan pemindahbukuan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada Tempat Pembayaran Elektronik (TP Elektronik) dapat memberikan gambaran tentang alur laporan pembayaran PBB yang dibayarkan wajib pajak mulai dari TP Elektronik hingga sampai di KPP Pratama sehingga diharapkan TP Elektronik yaitu Bank/Kantor Pos penerima pembayaran PBB dari wajib pajak dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar.
Kegiatan Pengawasan terhadap TP Elektronik dimulai ketika wajib pajak melakukan pembayaran PBB, kemudian TP Elektronik melakukan pemindahbukuan hasil Penerimaan PBB ke Bank/Pos Persepsi Elektronik yang kemudian dipindahbukukan lagi ke Bank Operasional III. TP Elektronik juga mengirimkan laporan ke Kantor Pusat DJP u.p. Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan yang kemudian dikirimkan ke Direktur Teknologi Informasi Perpajakan untuk di-upload pada intranet Direktorat Jenderal Pajak. KPP Pratama dapat memulai kegiatan pengawasan dengan cara mencocokan data yang didapat dari Intranet DJP dengan data Modul Penerimaan Negara (MPN) Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) dan Bank/Pos Persepsi elektronik atau Bank Operasional III. Apabila penerimaan PBB di TP Elektronik terlambat atau tidak dipindahbukukan ke Bank/Pos Persepsi Elektronik sesuai waktu yang ditentukan maka KPP Pratama harus segera melaporkan kepada Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan. Berdasarkan laporan KPP Pratama kemudian Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan melakukan penelitian dan melakukan konfirmasi ke TP Elektronik, apabila berdasarkan hasil penelitian ditemukan kesalahan TP Elektronik maka Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan atas nama Direktur Jenderal Pajak mengenakan sanksi administrasi dan surat peringatan tertulis, dan apabila TP elektronik tersebut telah diberikan surat peringatan sampai dengan 3 (tiga) kali dan tidak diindahkan maka akan dilakukan pencabutan sebagai TP Elektronik.
Permasalahan terjadi ketika laporan yang diterima KPP Pratama dari Intranet DJP berbeda dengan Modul Penerimaan Negara ataupun Laporan Bank Operasional III yang seharusnya sama karena bersumber pada pembayaran wajib pajak, hal ini dikarenakan melibatkan berbagai instansi yang berbeda fungsi satu dengan yang lainnya. Dengan dilakukannya pengawasan yang terus menerus secara berkesinambungan diharapkan penerimaan negara dari sektor PBB dapat tercapai dengan baik dan Pengenaan Sanksi administrasi pada TP Elektronik juga dapat meningkatkan penerimaan negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Kegiatan pengawasan pemindahbukuan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada Tempat Pembayaran Elektronik (TP Elektronik) dapat memberikan gambaran tentang alur laporan pembayaran PBB yang dibayarkan wajib pajak mulai dari TP Elektronik hingga sampai di KPP Pratama sehingga diharapkan TP Elektronik yaitu Bank/Kantor Pos penerima pembayaran PBB dari wajib pajak dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar.
Kegiatan Pengawasan terhadap TP Elektronik dimulai ketika wajib pajak melakukan pembayaran PBB, kemudian TP Elektronik melakukan pemindahbukuan hasil Penerimaan PBB ke Bank/Pos Persepsi Elektronik yang kemudian dipindahbukukan lagi ke Bank Operasional III. TP Elektronik juga mengirimkan laporan ke Kantor Pusat DJP u.p. Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan yang kemudian dikirimkan ke Direktur Teknologi Informasi Perpajakan untuk di-upload pada intranet Direktorat Jenderal Pajak. KPP Pratama dapat memulai kegiatan pengawasan dengan cara mencocokan data yang didapat dari Intranet DJP dengan data Modul Penerimaan Negara (MPN) Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) dan Bank/Pos Persepsi elektronik atau Bank Operasional III. Apabila penerimaan PBB di TP Elektronik terlambat atau tidak dipindahbukukan ke Bank/Pos Persepsi Elektronik sesuai waktu yang ditentukan maka KPP Pratama harus segera melaporkan kepada Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan. Berdasarkan laporan KPP Pratama kemudian Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan melakukan penelitian dan melakukan konfirmasi ke TP Elektronik, apabila berdasarkan hasil penelitian ditemukan kesalahan TP Elektronik maka Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan atas nama Direktur Jenderal Pajak mengenakan sanksi administrasi dan surat peringatan tertulis, dan apabila TP elektronik tersebut telah diberikan surat peringatan sampai dengan 3 (tiga) kali dan tidak diindahkan maka akan dilakukan pencabutan sebagai TP Elektronik.
Permasalahan terjadi ketika laporan yang diterima KPP Pratama dari Intranet DJP berbeda dengan Modul Penerimaan Negara ataupun Laporan Bank Operasional III yang seharusnya sama karena bersumber pada pembayaran wajib pajak, hal ini dikarenakan melibatkan berbagai instansi yang berbeda fungsi satu dengan yang lainnya. Dengan dilakukannya pengawasan yang terus menerus secara berkesinambungan diharapkan penerimaan negara dari sektor PBB dapat tercapai dengan baik dan Pengenaan Sanksi administrasi pada TP Elektronik juga dapat meningkatkan penerimaan negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pajak dan Zakat
Suwardi
Pajak dan zakat merupakan dua istilah yang berbeda dari segi sumber atau dasar pemungutannya, namun sama dalam hal sifatnya sebagai upaya mengambil atau memungut kekayaan dari masyarakat untuk kepentingan sosial, zakat untuk kepentingan yang diatur agama atau Allah SWT sedangkan pajak digunakan untuk kepentingan yang diatur negara melalui proses demokrasi yang sah. Istilah pajak lahir dari konsep negara sedangkan zakat lahir dari konsep islam. Perbedaan penerapan kedua pungutan ini menjadi problematik ketika dalam hal tertentu terdapat persamaan yaitu keduanya mempunyai kedudukan sama-sama wajib ditunaikan oleh masyarakat. Pajak dipaksa Hukum Negara, sedangkan Zakat dipaksa Hukum Tuhan dan bisa juga dikuatkan dengan Hukuman Negara jika dilegislasi (UU atau PERDA).
Lalu muncullah pertanyaan apa sebenarnya kedudukan pajak itu sama dengan kedudukan zakat? Dan apa perbedaanya???
Zakat memiliki arti dan hikmah sebagai berikut:
1.Zakat adalah ibadah menyangkut kekayaan yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi;
2.Zakat merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusiaan dan keadilan, pengikat batin antara golongan kaya dan miskin;
3.Zakat dapat memberantas penyakit iri hati, rasa benci, dan dengki dari diri orang-orang miskin di sekitar mereka yang mewah;
4.Zakat dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan islam yang berdiri atas prinsip-prinsip persatuan, persamaan derajat, ang tanggung jawab bersama.
Pajak adalah yang berhubungan dengan kewajiban warga Negara yang menjadi institusi publik yang dibentuk dan diberi wewenang untuk mengelola kepentingan Negara atau kepentingan publik. Pemungutan pajak harus mendapatkan persetujuan rakyat melalui Undang-undang yang harus disetujui parlemen atau DPR.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang boleh dikurangkan dari Penghasilan Bruto sesuai dengan pasal 1 ayat (1) berbunyi:
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a.Zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b.Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Sedangkan di pasal 2 menyebutkan bahwa “Apabila pengeluaran untuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib TIDAK dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat, atau lembaga keagamaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) maka pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.”
Oleh karena itu, apabila Wajib Pajak pemeluk agama Islam membayar zakat bukan kepada badan amil zakat atau lembaga zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah maka zakat yang dibayarkan tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Demikian juga berlaku bagi Wajib Pajak selain pemeluk agama Islam.
Hal ini juga sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak nomor SE-80/PJ/2010 tanggal 23 Juli 2010 tentang Perlakuan Zakat dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Di dalam SE-80/PJ/2010 disebutkan bahwa “Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat atas Penghasilan Kena Pajak, wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran zakat dari badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah sebagai penerima zakat pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut.
Contoh penghitungan PPh bagi karyawan yang membayar zakat
Abdul Kadir pada tahun 2010 bekerja pada perusahaan PT Khatulistiwa Abadi dengan memperoleh gaji setahun Rp 30.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 1.200.000,00 setahun. Abdul Kadir menikah tetapi belum mempunyai anak. PPh Pasal 21 terutang dipotong oleh PT Khatulistiwa Abadi (sesuai formulir 1721 A1) untuk tahun 2010 adalah sebagai berikut:
Penghasilan Bruto
Gaji 30.000.000
Pengurang
a.Biaya Jabatan 5 % x 30.000.000 1.500.000
b.Iuran Pensiun 1.200.000
Jumlah Pengurang 2.700.000
Pengahasilan Neto 27.300.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a.Wajib Pajak sendiri 15.840.000
b.Status Kawin 1.320.000
Jumlah PTKP 17.160.000
Penghasilan Kena Pajak 10.140.000
PPh Pasal 21 terutang
5 % x 10.140.000 507.000
Pada tahun 2010, Abdul Kadir tidak memiliki penghasilan lain selain penghasilan diatas. Sebagai seorang muslim yang taat, Abdul Kadir membayar zakat profesi kepada BAZNAZ dengan jumlah Rp 750.000 (2,5% x 30.000.000)
Maka untuk penghitungan PPh terutang serta pajak yang kurang atau lebih bayar dalam SPT Tahunan Abdul Kadir tahun 2010 apabila pada tahun 2010 Abdul Kadir menghendaki zakat yang telah dibayarkan dapat dikurangkan adalah sebagai berikut:
Penghasilan Neto dari pekerjaan (sesuai form 1721 A1) 27.300.000
Zakat atas penghasilan (2,5% X 27.300.000) 682.500
Penghasilan Neto setelah zakat atas penghasilan 26.617.500
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
c.Wajib Pajak sendiri 15.840.000
d.Status Kawin 1.320.000
Jumlah PTKP 17.160.000
Penghasilan Kena Pajak 9.457.500
PPh Pasal 21 terutang
5 % x 9.457.500 472.850
Kredit Pajak: PPh Pasal 21 (sesuai form 1721 A1) 507.000
PPh Lebih Bayar (34.150)
Kelebihan bayar sebesar Rp 34.150,- bisa direstitusi oleh Abdul Kadir melalui mekanisme pengembalian pendahauluan berdasarkan Pasal 17D KUP tanpa perlu melalui proses pemeriksaan.
Pajak dan zakat merupakan dua istilah yang berbeda dari segi sumber atau dasar pemungutannya, namun sama dalam hal sifatnya sebagai upaya mengambil atau memungut kekayaan dari masyarakat untuk kepentingan sosial, zakat untuk kepentingan yang diatur agama atau Allah SWT sedangkan pajak digunakan untuk kepentingan yang diatur negara melalui proses demokrasi yang sah. Istilah pajak lahir dari konsep negara sedangkan zakat lahir dari konsep islam. Perbedaan penerapan kedua pungutan ini menjadi problematik ketika dalam hal tertentu terdapat persamaan yaitu keduanya mempunyai kedudukan sama-sama wajib ditunaikan oleh masyarakat. Pajak dipaksa Hukum Negara, sedangkan Zakat dipaksa Hukum Tuhan dan bisa juga dikuatkan dengan Hukuman Negara jika dilegislasi (UU atau PERDA).
Lalu muncullah pertanyaan apa sebenarnya kedudukan pajak itu sama dengan kedudukan zakat? Dan apa perbedaanya???
Zakat memiliki arti dan hikmah sebagai berikut:
1.Zakat adalah ibadah menyangkut kekayaan yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi;
2.Zakat merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusiaan dan keadilan, pengikat batin antara golongan kaya dan miskin;
3.Zakat dapat memberantas penyakit iri hati, rasa benci, dan dengki dari diri orang-orang miskin di sekitar mereka yang mewah;
4.Zakat dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan islam yang berdiri atas prinsip-prinsip persatuan, persamaan derajat, ang tanggung jawab bersama.
Pajak adalah yang berhubungan dengan kewajiban warga Negara yang menjadi institusi publik yang dibentuk dan diberi wewenang untuk mengelola kepentingan Negara atau kepentingan publik. Pemungutan pajak harus mendapatkan persetujuan rakyat melalui Undang-undang yang harus disetujui parlemen atau DPR.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang boleh dikurangkan dari Penghasilan Bruto sesuai dengan pasal 1 ayat (1) berbunyi:
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a.Zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b.Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Sedangkan di pasal 2 menyebutkan bahwa “Apabila pengeluaran untuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib TIDAK dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat, atau lembaga keagamaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) maka pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.”
Oleh karena itu, apabila Wajib Pajak pemeluk agama Islam membayar zakat bukan kepada badan amil zakat atau lembaga zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah maka zakat yang dibayarkan tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Demikian juga berlaku bagi Wajib Pajak selain pemeluk agama Islam.
Hal ini juga sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak nomor SE-80/PJ/2010 tanggal 23 Juli 2010 tentang Perlakuan Zakat dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Di dalam SE-80/PJ/2010 disebutkan bahwa “Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat atas Penghasilan Kena Pajak, wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran zakat dari badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah sebagai penerima zakat pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut.
Contoh penghitungan PPh bagi karyawan yang membayar zakat
Abdul Kadir pada tahun 2010 bekerja pada perusahaan PT Khatulistiwa Abadi dengan memperoleh gaji setahun Rp 30.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 1.200.000,00 setahun. Abdul Kadir menikah tetapi belum mempunyai anak. PPh Pasal 21 terutang dipotong oleh PT Khatulistiwa Abadi (sesuai formulir 1721 A1) untuk tahun 2010 adalah sebagai berikut:
Penghasilan Bruto
Gaji 30.000.000
Pengurang
a.Biaya Jabatan 5 % x 30.000.000 1.500.000
b.Iuran Pensiun 1.200.000
Jumlah Pengurang 2.700.000
Pengahasilan Neto 27.300.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a.Wajib Pajak sendiri 15.840.000
b.Status Kawin 1.320.000
Jumlah PTKP 17.160.000
Penghasilan Kena Pajak 10.140.000
PPh Pasal 21 terutang
5 % x 10.140.000 507.000
Pada tahun 2010, Abdul Kadir tidak memiliki penghasilan lain selain penghasilan diatas. Sebagai seorang muslim yang taat, Abdul Kadir membayar zakat profesi kepada BAZNAZ dengan jumlah Rp 750.000 (2,5% x 30.000.000)
Maka untuk penghitungan PPh terutang serta pajak yang kurang atau lebih bayar dalam SPT Tahunan Abdul Kadir tahun 2010 apabila pada tahun 2010 Abdul Kadir menghendaki zakat yang telah dibayarkan dapat dikurangkan adalah sebagai berikut:
Penghasilan Neto dari pekerjaan (sesuai form 1721 A1) 27.300.000
Zakat atas penghasilan (2,5% X 27.300.000) 682.500
Penghasilan Neto setelah zakat atas penghasilan 26.617.500
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
c.Wajib Pajak sendiri 15.840.000
d.Status Kawin 1.320.000
Jumlah PTKP 17.160.000
Penghasilan Kena Pajak 9.457.500
PPh Pasal 21 terutang
5 % x 9.457.500 472.850
Kredit Pajak: PPh Pasal 21 (sesuai form 1721 A1) 507.000
PPh Lebih Bayar (34.150)
Kelebihan bayar sebesar Rp 34.150,- bisa direstitusi oleh Abdul Kadir melalui mekanisme pengembalian pendahauluan berdasarkan Pasal 17D KUP tanpa perlu melalui proses pemeriksaan.
e-Filling, Pelaporan SPT Online dan Real Time
Nama : Ari Arfian Prasetya
NPM : 0900070007
E-Filing adalah suatu cara penyampaian Surat Pemberitahuan yang dilakukan melalui sistem online dan real time.
Penggunaan e-filling diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-47/PJ/2008 Tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Dan Penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan Secara Elektronik (E-Filing) Melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP). Application Service Provider (ASP) yang dimaksud adalah Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi yang telah ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai perusahaan yang dapat menyalurkan penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik ke DJP. ASP yang telah ditunjuk DJP sampai saat ini adalah:
1.http://www.pajakku.com
2.http://www.laporpajak.com
3.http://www.layananpajak.com
4.http://www.spt.co.id
Tata Cara Penyampaian SPT secara e-Filling:
1)Wajib Pajak harus memiliki Electronic Filing Identification Number (e-FIN) terlebih dahulu. e-FIN dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar berdasarkan surat permohonan Wajib Pajak (format surat permohonan dapat dilihat pada Lampiran I Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-47/PJ/2008).
2)Setelah mendapatkan e-FIN, Wajib Pajak harus mendaftarkan diri melalui website pada satu atau beberapa Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
3)Setelah mendaftarkan diri melalui website ASP, Wajib Pajak akan memperoleh Digital Certificate (DC) dari Direktorat Jenderal Pajak melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) dimana Wajib Pajak mendaftarkan diri. Digital Certificate (DC) seterusnya akan digunakan sebagai alat yang berfungsi sebagai pengaman data Wajib Pajak dalam setiap proses penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik (e-Filing) melalui suatu Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) ke Direktorat Jenderal Pajak.
4)Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) akan mengirimkan tata cara pelaksanaan e-Filing, aplikasi dan petunjuk penggunaan e-SPT dan e-SPTy, dan informasi lainnya kepada Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri melalui ASP.
5)e-SPT dan e-SPTy yang telah diisi dan dilengkapi sesuai dengan ketentuan serta dibubuhi tanda tangan elektronik atau tanda tangan digital disampaikan secara elektronik ke Direktorat Jenderal Pajak melalui suatu Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP). Tanda Tangan Elektronik atau Tanda Tangan Digital adalah suatu informasi elektronik yang di generate oleh Sistem Direktorat Jenderal Pajak.
6)Dalam hal SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan menunjukkan adanya kewajiban pembayaran pajak, Wajib Pajak wajib mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) pada e-SPT dan e-SPTy sebagai bukti pembayaran yang telah divalidasi.
7)Apabila e-SPT dan e-SPTy dinyatakan lengkap oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka kepada Wajib Pajak akan diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.
8)Wajib Pajak wajib menyampaikan keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang tidak dapat disampaikan secara elektronik ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar secara langsung atau melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, (kecuali SSP lembar 3 yang dibayarkan melalui Bank Persepsi dan Nomor Transaksi Penerimaan Negara sudah dicantumkan dalam e-SPT dan/atau e-SPTy) dengan surat pengantar (format surat pengantar dapat dilihat pada Lampiran II Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-47/PJ/2008) paling lama:
a)14 (empat belas) hari sejak batas terakhir pelaporan SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dalam hal SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan disampaikan sebelum batas akhir penyampaian.
b)14 (empat belas) hari sejak tanggal penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik dalam hal SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan disampaikan setelah lewat batas akhir penyampaian.
9)Apabila kewajiban menyampaikan keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam e-SPT dan e-SPTy sebagaimana disampaikan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, tanggal penerimaan keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam e-SPT dan e-SPTy adalah tanggal yang tercantum pada bukti pengiriman surat.
10)Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan Keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam e-SPT dan e-SPTy dalam jangka waktu tersebut di atas, Wajib Pajak dianggap tidak menyampaikan SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan.
11)Apabila Wajib Pajak telah memenuhi semua prosedur diatas, maka SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dianggap telah diterima dan tanggal penerimaan SPT sesuai dengan tanggal yang tercantum pada Bukti Penerimaan Elektronik.
Keuntungan dari Penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik (e-Filing) antara lain:
1)Dapat dilakukan kapanpun dimanapun selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan standar Waktu Indonesia Bagian Barat.
2)SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang disampaikan secara elektronik pada akhir batas waktu Penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang jatuh pada hari libur, dianggap disampaikan tepat waktu.
3)Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) memberikan jaminan kepada Wajib Pajak bahwa SPT atau Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan beserta lampirannya yang disampaikan secara elektronik dijamin kerahasiaannya, diterima di Direktorat Jenderal Pajak secara lengkap dan real time serta diakui oleh pihak Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak.
NPM : 0900070007
E-Filing adalah suatu cara penyampaian Surat Pemberitahuan yang dilakukan melalui sistem online dan real time.
Penggunaan e-filling diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-47/PJ/2008 Tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Dan Penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan Secara Elektronik (E-Filing) Melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP). Application Service Provider (ASP) yang dimaksud adalah Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi yang telah ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai perusahaan yang dapat menyalurkan penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik ke DJP. ASP yang telah ditunjuk DJP sampai saat ini adalah:
1.http://www.pajakku.com
2.http://www.laporpajak.com
3.http://www.layananpajak.com
4.http://www.spt.co.id
Tata Cara Penyampaian SPT secara e-Filling:
1)Wajib Pajak harus memiliki Electronic Filing Identification Number (e-FIN) terlebih dahulu. e-FIN dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar berdasarkan surat permohonan Wajib Pajak (format surat permohonan dapat dilihat pada Lampiran I Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-47/PJ/2008).
2)Setelah mendapatkan e-FIN, Wajib Pajak harus mendaftarkan diri melalui website pada satu atau beberapa Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
3)Setelah mendaftarkan diri melalui website ASP, Wajib Pajak akan memperoleh Digital Certificate (DC) dari Direktorat Jenderal Pajak melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) dimana Wajib Pajak mendaftarkan diri. Digital Certificate (DC) seterusnya akan digunakan sebagai alat yang berfungsi sebagai pengaman data Wajib Pajak dalam setiap proses penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik (e-Filing) melalui suatu Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) ke Direktorat Jenderal Pajak.
4)Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) akan mengirimkan tata cara pelaksanaan e-Filing, aplikasi dan petunjuk penggunaan e-SPT dan e-SPTy, dan informasi lainnya kepada Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri melalui ASP.
5)e-SPT dan e-SPTy yang telah diisi dan dilengkapi sesuai dengan ketentuan serta dibubuhi tanda tangan elektronik atau tanda tangan digital disampaikan secara elektronik ke Direktorat Jenderal Pajak melalui suatu Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP). Tanda Tangan Elektronik atau Tanda Tangan Digital adalah suatu informasi elektronik yang di generate oleh Sistem Direktorat Jenderal Pajak.
6)Dalam hal SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan menunjukkan adanya kewajiban pembayaran pajak, Wajib Pajak wajib mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) pada e-SPT dan e-SPTy sebagai bukti pembayaran yang telah divalidasi.
7)Apabila e-SPT dan e-SPTy dinyatakan lengkap oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka kepada Wajib Pajak akan diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.
8)Wajib Pajak wajib menyampaikan keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang tidak dapat disampaikan secara elektronik ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar secara langsung atau melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, (kecuali SSP lembar 3 yang dibayarkan melalui Bank Persepsi dan Nomor Transaksi Penerimaan Negara sudah dicantumkan dalam e-SPT dan/atau e-SPTy) dengan surat pengantar (format surat pengantar dapat dilihat pada Lampiran II Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-47/PJ/2008) paling lama:
a)14 (empat belas) hari sejak batas terakhir pelaporan SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dalam hal SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan disampaikan sebelum batas akhir penyampaian.
b)14 (empat belas) hari sejak tanggal penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik dalam hal SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan disampaikan setelah lewat batas akhir penyampaian.
9)Apabila kewajiban menyampaikan keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam e-SPT dan e-SPTy sebagaimana disampaikan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, tanggal penerimaan keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam e-SPT dan e-SPTy adalah tanggal yang tercantum pada bukti pengiriman surat.
10)Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan Keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam e-SPT dan e-SPTy dalam jangka waktu tersebut di atas, Wajib Pajak dianggap tidak menyampaikan SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan.
11)Apabila Wajib Pajak telah memenuhi semua prosedur diatas, maka SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dianggap telah diterima dan tanggal penerimaan SPT sesuai dengan tanggal yang tercantum pada Bukti Penerimaan Elektronik.
Keuntungan dari Penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik (e-Filing) antara lain:
1)Dapat dilakukan kapanpun dimanapun selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan standar Waktu Indonesia Bagian Barat.
2)SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang disampaikan secara elektronik pada akhir batas waktu Penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang jatuh pada hari libur, dianggap disampaikan tepat waktu.
3)Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) memberikan jaminan kepada Wajib Pajak bahwa SPT atau Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan beserta lampirannya yang disampaikan secara elektronik dijamin kerahasiaannya, diterima di Direktorat Jenderal Pajak secara lengkap dan real time serta diakui oleh pihak Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak.
Penghindaran Pajak vs Penggelapan pajak
Nama : Herwin Wesly Edson
NPM : 0900070034
catatan :
Artikel ringan ini semula ditulis untuk keperluan internal kantor salah satu kolega saya untuk menjelaskan kenapa sih bagian finance, acctg, pajak itu ribet banget mensyaratkan berbagai dokumen dalam setiap pengeluaran biaya promosi, marketing, entertainment dan sejenisnya. Masalah administratif bikin repot aja.. heheheh. Di setiap perusahaan pasti sering terjadi gap komunikasi antar departemen. misalnya marketing vs finance, marketing vs tax, finance vs tax, HR vs marketing dst karena benturan berbagai kepentingan dan sudut pandang. Diposting di blog dengan sedikit editing dan menghilangkan bagian penutup.
Penghindaran Pajak vs Penggelapan pajak
Pengantar
Konon, di dunia ini tidak ada sesuatu yang pasti selain pajak dan kematian. Kita hidup pasti membayar pajak dan juga pasti mati. Nyaris tidak ada tempat di dunia ini yang bebas dari pajak, kecuali kita tinggal di daerah terpencil dan tidak berhubungan dengan dunia luar sama sekali. Sejak bayi lahir ke dunia ini, mulai menggunakan berbagai barang kebutuhan hidup sehari-hari (pakaian, susu, makanan dll) semua terkena pajak. Pada saat orang tua membelanjakan uangnya untuk keperluan calon buah hati tercinta, saat itu pula kita sudah membayar pajak.
Bagi perusahaan, negara adalah “pemegang saham utama” dengan porsi sebesar 30% (tarif pajak yang berlaku). Sebelum laba dibagikan kepada para pemegang saham/owner, perusahaan terlebih dahulu diwajibkan untuk membayar 30% ke kas negara sebagai kewajiban pajak.
Bagi karyawan, demikian pula. Sebelum gaji dibayarkan kepada karyawan, sebelum kita bisa membelanjakan gaji yang kita peroleh, pada dasarnya pajak yang terutang (PPh 21) sudah harus dipotong dan disetorkan ke negara.
Pajak adalah beban bagi perusahaan
Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.
Mengingat pajak adalah beban –yang akan mengurangi laba bersih perusahaan- maka perusahaan akan berupaya semaksimal mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak harus dilakukan dengan cara-cara yang legal agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari.
Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus penggelapan pajak :
Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya.
Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;
Transaksi export fiktif,
Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan
Jika kita analogikan pajak dengan karcis tol, Jika kita lewat jalan tol namun tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Sedangkan jika kita menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa, maka itulah penghindaran pajak. Menghindari membayar tol (pajak) dengan cara tidak lewat jalan tol adalah cara yang legal.
Bagaimana cara menghindari Pajak
Seperti halnya dengan menghindari jalan tol (memilih jalan biasa) agar terhindar dari kewajiban membayar karcis tol, cara yang paling mudah dan legal untuk menghindari pajak adalah dengan cara menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, misalnya dengan tidak memperoleh penghasilan. Namun tentu saja pilihan ini tidak mungkin untuk dipilih. Tentu kita tidak mau khan hanya demi menghindari pembayaran pajak, lantas kita tidak mau memperoleh penghasilan?
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah –loophole- yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.
Selain menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, langkah-langkah penghematan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain :
Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak terendah
Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan,
Memilih berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak terendah.
Memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar
Bagaimana pajak perusahaan dihitung
Pada dasarnya kewajiban pajak perusahaan dihitung berdasarkan laba bersih yang diperoleh selama satu periode (satu tahun pajak). Laba bersih perusahaan dihitung berdasarkan laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan.
sebagai gambaran, laporan laba rugi yang disusun oleh perusahaan :
Uraian
Jumlah (Rp)
Penjualan
10.000.000
Harga Pokok Penjualan
6.000.000
Laba Bruto
4.000.000
Biaya Operasional :
- Biaya Pemasaran (Promosi, sponsorship dll)
1.000.000
- Biaya Gaji karyawan
900.000
- Biaya Operasional lainnya
1.500.000
Sub total Biaya Operasional
3.400.000
Laba Bersih
600.000
PPh terutang – 30%
180.000
Laba Bersih setelah Pajak
420.000
NPM : 0900070034
catatan :
Artikel ringan ini semula ditulis untuk keperluan internal kantor salah satu kolega saya untuk menjelaskan kenapa sih bagian finance, acctg, pajak itu ribet banget mensyaratkan berbagai dokumen dalam setiap pengeluaran biaya promosi, marketing, entertainment dan sejenisnya. Masalah administratif bikin repot aja.. heheheh. Di setiap perusahaan pasti sering terjadi gap komunikasi antar departemen. misalnya marketing vs finance, marketing vs tax, finance vs tax, HR vs marketing dst karena benturan berbagai kepentingan dan sudut pandang. Diposting di blog dengan sedikit editing dan menghilangkan bagian penutup.
Penghindaran Pajak vs Penggelapan pajak
Pengantar
Konon, di dunia ini tidak ada sesuatu yang pasti selain pajak dan kematian. Kita hidup pasti membayar pajak dan juga pasti mati. Nyaris tidak ada tempat di dunia ini yang bebas dari pajak, kecuali kita tinggal di daerah terpencil dan tidak berhubungan dengan dunia luar sama sekali. Sejak bayi lahir ke dunia ini, mulai menggunakan berbagai barang kebutuhan hidup sehari-hari (pakaian, susu, makanan dll) semua terkena pajak. Pada saat orang tua membelanjakan uangnya untuk keperluan calon buah hati tercinta, saat itu pula kita sudah membayar pajak.
Bagi perusahaan, negara adalah “pemegang saham utama” dengan porsi sebesar 30% (tarif pajak yang berlaku). Sebelum laba dibagikan kepada para pemegang saham/owner, perusahaan terlebih dahulu diwajibkan untuk membayar 30% ke kas negara sebagai kewajiban pajak.
Bagi karyawan, demikian pula. Sebelum gaji dibayarkan kepada karyawan, sebelum kita bisa membelanjakan gaji yang kita peroleh, pada dasarnya pajak yang terutang (PPh 21) sudah harus dipotong dan disetorkan ke negara.
Pajak adalah beban bagi perusahaan
Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.
Mengingat pajak adalah beban –yang akan mengurangi laba bersih perusahaan- maka perusahaan akan berupaya semaksimal mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak harus dilakukan dengan cara-cara yang legal agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari.
Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus penggelapan pajak :
Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya.
Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;
Transaksi export fiktif,
Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan
Jika kita analogikan pajak dengan karcis tol, Jika kita lewat jalan tol namun tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Sedangkan jika kita menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa, maka itulah penghindaran pajak. Menghindari membayar tol (pajak) dengan cara tidak lewat jalan tol adalah cara yang legal.
Bagaimana cara menghindari Pajak
Seperti halnya dengan menghindari jalan tol (memilih jalan biasa) agar terhindar dari kewajiban membayar karcis tol, cara yang paling mudah dan legal untuk menghindari pajak adalah dengan cara menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, misalnya dengan tidak memperoleh penghasilan. Namun tentu saja pilihan ini tidak mungkin untuk dipilih. Tentu kita tidak mau khan hanya demi menghindari pembayaran pajak, lantas kita tidak mau memperoleh penghasilan?
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah –loophole- yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.
Selain menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, langkah-langkah penghematan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain :
Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak terendah
Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan,
Memilih berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak terendah.
Memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar
Bagaimana pajak perusahaan dihitung
Pada dasarnya kewajiban pajak perusahaan dihitung berdasarkan laba bersih yang diperoleh selama satu periode (satu tahun pajak). Laba bersih perusahaan dihitung berdasarkan laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan.
sebagai gambaran, laporan laba rugi yang disusun oleh perusahaan :
Uraian
Jumlah (Rp)
Penjualan
10.000.000
Harga Pokok Penjualan
6.000.000
Laba Bruto
4.000.000
Biaya Operasional :
- Biaya Pemasaran (Promosi, sponsorship dll)
1.000.000
- Biaya Gaji karyawan
900.000
- Biaya Operasional lainnya
1.500.000
Sub total Biaya Operasional
3.400.000
Laba Bersih
600.000
PPh terutang – 30%
180.000
Laba Bersih setelah Pajak
420.000
Ditjen Pajak Rumuskan Standar Audit Wajib Pajak
Tugas brevet Pajak
Nama : Gilang Barata
NPM : 0900070035
January 18th, 2011
Jakarta (ANTARA News) – Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan melangsungkan kesepakatan dengan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) mengenai perumusan standar dan prosedur terkait dengan insentif yang akan diberikan kepada Wajib Pajak (WP).
“Insentif itu akan diberikan kepada Wajib Pajak yang laporan keuangannya diaudit oleh kantor akuntan publik dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian, sehingga tidak perlu dilakukan pemeriksaan laporan oleh petugas pajak dan penyelesaian restitusi menjadi lebih cepat,” ujar Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak Robert Pakpahan di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan inisiatif tersebut akan diberlakukan untuk menghilangkan kelemahan dalam proses pemeriksaan yang biasanya mengundang keberatan dari Wajib Pajak, terutama dari kemungkinan kelebihan pembayaran restitusi.
“Beban pemeriksaan tinggi karena ada requirment UU bahwa permintaan restitusi lebih bayar wajib diperiksa, sehingga timbul inisiatif antara stakeholder dengan Kemenkeu untuk melakukan kerjasana dengan IAPI,” ujar Robert.
Menurut dia, kesepakatan ini akan mengurangi beban Ditjen Pajak dan memberi kesempatan bagi IAPI untuk berkontribusi dalam mengamankan penerimaan negara.
“Apalagi tingkat pemeriksaan kita akan semakin mengecil, karena pertumbuhan WP lebih besar dari pertumbuhan Sumber Daya Manusia kita,” ujarnya.
Ketua IAPI Tia Adityasih menjelaskan kesepakatan ini akan dimulai dengan proses pembuatan rumusan standar dan prosedur dengan Ditjen Pajak enam bulan mendatang.
Apabila prosedur telah terbentuk, kesepakatan ini akan mulai efektif berjalan menunggu persetujuan Menteri Keuangan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
“Kesepakatan ini untuk mencari suatu skema akuntan publik dapat meningkatkan kepatuhan WP dalam memenuhi kewajiban. Ada batas waktu enam bulan bagi masing-masing untuk menyelesaikan tanggung jawabnya,” ujarnya.
Ia mengatakan nantinya para WP yang diperiksa merupakan WP yang berbadan hukum namun teknis pelaksanaan akan menunggu prosedur dan standar yang akan segera disepakati.
“Kita membuat aturan bagaimana akuntan publik betul-betul mengikuti aturan, kadang terhadap laporan keuangan komersil, dibutuhkan aturan-aturan perpajakan dan tidak mudah apalagi kami sudah diberikan kepercayaan untuk memberikan laporan opini Wajar Tanpa Pengecualian,” ujar Tia.
Secara keseluruhan, kesepakatan bersama ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi akuntan publik dalam rangka melakukan audit untuk penyusunan laporan keuangan fiskal Wajib Pajak, sehingga opini yang dikeluarkan oleh kantor Akuntan Publik tersebut sudah dapat mencerminkan tingkat keselarasan dengan aturan perpajakan.
Saat ini opini yang dikeluarkan oleh kantor Akuntan Publik hanyalah opini yang terkait dengan audit umum atas laporan keuangan komersial WP, belum ada opini khusus atas laporan keuangan fiskal.
Nama : Gilang Barata
NPM : 0900070035
January 18th, 2011
Jakarta (ANTARA News) – Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan melangsungkan kesepakatan dengan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) mengenai perumusan standar dan prosedur terkait dengan insentif yang akan diberikan kepada Wajib Pajak (WP).
“Insentif itu akan diberikan kepada Wajib Pajak yang laporan keuangannya diaudit oleh kantor akuntan publik dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian, sehingga tidak perlu dilakukan pemeriksaan laporan oleh petugas pajak dan penyelesaian restitusi menjadi lebih cepat,” ujar Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak Robert Pakpahan di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan inisiatif tersebut akan diberlakukan untuk menghilangkan kelemahan dalam proses pemeriksaan yang biasanya mengundang keberatan dari Wajib Pajak, terutama dari kemungkinan kelebihan pembayaran restitusi.
“Beban pemeriksaan tinggi karena ada requirment UU bahwa permintaan restitusi lebih bayar wajib diperiksa, sehingga timbul inisiatif antara stakeholder dengan Kemenkeu untuk melakukan kerjasana dengan IAPI,” ujar Robert.
Menurut dia, kesepakatan ini akan mengurangi beban Ditjen Pajak dan memberi kesempatan bagi IAPI untuk berkontribusi dalam mengamankan penerimaan negara.
“Apalagi tingkat pemeriksaan kita akan semakin mengecil, karena pertumbuhan WP lebih besar dari pertumbuhan Sumber Daya Manusia kita,” ujarnya.
Ketua IAPI Tia Adityasih menjelaskan kesepakatan ini akan dimulai dengan proses pembuatan rumusan standar dan prosedur dengan Ditjen Pajak enam bulan mendatang.
Apabila prosedur telah terbentuk, kesepakatan ini akan mulai efektif berjalan menunggu persetujuan Menteri Keuangan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
“Kesepakatan ini untuk mencari suatu skema akuntan publik dapat meningkatkan kepatuhan WP dalam memenuhi kewajiban. Ada batas waktu enam bulan bagi masing-masing untuk menyelesaikan tanggung jawabnya,” ujarnya.
Ia mengatakan nantinya para WP yang diperiksa merupakan WP yang berbadan hukum namun teknis pelaksanaan akan menunggu prosedur dan standar yang akan segera disepakati.
“Kita membuat aturan bagaimana akuntan publik betul-betul mengikuti aturan, kadang terhadap laporan keuangan komersil, dibutuhkan aturan-aturan perpajakan dan tidak mudah apalagi kami sudah diberikan kepercayaan untuk memberikan laporan opini Wajar Tanpa Pengecualian,” ujar Tia.
Secara keseluruhan, kesepakatan bersama ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi akuntan publik dalam rangka melakukan audit untuk penyusunan laporan keuangan fiskal Wajib Pajak, sehingga opini yang dikeluarkan oleh kantor Akuntan Publik tersebut sudah dapat mencerminkan tingkat keselarasan dengan aturan perpajakan.
Saat ini opini yang dikeluarkan oleh kantor Akuntan Publik hanyalah opini yang terkait dengan audit umum atas laporan keuangan komersial WP, belum ada opini khusus atas laporan keuangan fiskal.
ATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PENGUSAHA KENA PAJAK BERISIKO RENDAH
T
Dasar Hukum :
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009
PMK- 72/PMK.03/2010
PER-31/PJ/2010
PER-63/PJ/2010
SE - 144/PJ/2010
Sesuai Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud diatas dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Tata cara pengembalian kelebihan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010. Pengusaha Kena Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan Pajak berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah maka atas permohonannya tidak dilakukan pemeriksaan melainkan diproses melalui penelitian.
Untuk dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, Pengusaha Kena Pajak harus mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2010 tentang Tata Cara Penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha menginginkan untuk ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah untuk setiap tempat kegiatan usahanya, maka harus mengajukan permohonan pada setiap Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, kecuali Pengusaha Kena Pajak yang telah melakukan pemusatan tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang. Permohonan tersebut diajukan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sebelum dimulainya Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah. Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah atau surat pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat diproses paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan Wajib Pajak.
Permohonan Penetapan PKP resiko rendah harus dilampiri dengan :
a.keterangan dari instansi yang berwenang, yang dapat berupa Laporan Bulanan Kepemilikan Saham Emiten atau Perusahaan Publik dan Rekapitulasi, bagi Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
b.keterangan dari instansi yang berwenang, yang dapat berupa Akta Pendirian dan perubahannya, bagi perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; atau
c.Surat Pernyataan bahwa nilai Barang Kena Pajak yang dijual pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) adalah produksi sendiri dan Laporan Keuangan untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Dengan Pengecualian, bagi produsen selain Perusahaan Terbuka dan BUMN/BUMD.
Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan dengan menggunakan :
a)Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang mencantumkan tanda permohonan pengembalian kelebihan pajak dengan cara mengisi kolom “Dikembalikan (restitusi)”; atau
b)Surat Permohonan tersendiri, apabila kolom “Dikembalikan (restitusi)” dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak diisi atau tidak mencantumkan tanda permohonan pengembalian kelebihan pajak. Permohonan pengembalian kelebihan pajak diajukan dalam 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Masa Pajak.
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada butir 5 dilakukan penelitian atas :
a)kebenaran pemenuhan ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
b) kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya;
c) kebenaran penulisan dan penghitungan pajak; dan
d) kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pajak, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap.
SKPPKP tersebut diatas tidak diterbitkan dalam hal:
a)hasil penelitian menyatakan Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
b) hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar;
c) lampiran Surat Pemberitahuan tidak lengkap; dan/atau
d) pembayaran pajak tidak benar.
Dalam hal SKPPKP tidak diterbitkan maka:
a. kepada Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah diberikan pemberitahuan secara tertulis dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan
b. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diproses berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
Bila dibandingkan dengan ketentuan permohonan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku sebelum ketentuan ini yaitu PER-48/PJ/2008 dimana jangka waktu permohonan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai adalah 12 sejak permohonan diterima kecuali untuk PKP patuh jangka waktunya 1 bulan maka Permohonan melalui PKP berisiko rendah ini merupakan langkah nyata dari Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pelayanan prima kepada wajib pajak.
Disusun Oleh :
Nama : Joko Subagiyo
NPM : 09000700 21
Dasar Hukum :
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009
PMK- 72/PMK.03/2010
PER-31/PJ/2010
PER-63/PJ/2010
SE - 144/PJ/2010
Sesuai Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud diatas dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Tata cara pengembalian kelebihan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010. Pengusaha Kena Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan Pajak berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah maka atas permohonannya tidak dilakukan pemeriksaan melainkan diproses melalui penelitian.
Untuk dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, Pengusaha Kena Pajak harus mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2010 tentang Tata Cara Penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha menginginkan untuk ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah untuk setiap tempat kegiatan usahanya, maka harus mengajukan permohonan pada setiap Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, kecuali Pengusaha Kena Pajak yang telah melakukan pemusatan tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang. Permohonan tersebut diajukan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sebelum dimulainya Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah. Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah atau surat pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat diproses paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan Wajib Pajak.
Permohonan Penetapan PKP resiko rendah harus dilampiri dengan :
a.keterangan dari instansi yang berwenang, yang dapat berupa Laporan Bulanan Kepemilikan Saham Emiten atau Perusahaan Publik dan Rekapitulasi, bagi Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
b.keterangan dari instansi yang berwenang, yang dapat berupa Akta Pendirian dan perubahannya, bagi perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; atau
c.Surat Pernyataan bahwa nilai Barang Kena Pajak yang dijual pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) adalah produksi sendiri dan Laporan Keuangan untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Dengan Pengecualian, bagi produsen selain Perusahaan Terbuka dan BUMN/BUMD.
Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan dengan menggunakan :
a)Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang mencantumkan tanda permohonan pengembalian kelebihan pajak dengan cara mengisi kolom “Dikembalikan (restitusi)”; atau
b)Surat Permohonan tersendiri, apabila kolom “Dikembalikan (restitusi)” dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak diisi atau tidak mencantumkan tanda permohonan pengembalian kelebihan pajak. Permohonan pengembalian kelebihan pajak diajukan dalam 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Masa Pajak.
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada butir 5 dilakukan penelitian atas :
a)kebenaran pemenuhan ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
b) kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya;
c) kebenaran penulisan dan penghitungan pajak; dan
d) kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pajak, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap.
SKPPKP tersebut diatas tidak diterbitkan dalam hal:
a)hasil penelitian menyatakan Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
b) hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar;
c) lampiran Surat Pemberitahuan tidak lengkap; dan/atau
d) pembayaran pajak tidak benar.
Dalam hal SKPPKP tidak diterbitkan maka:
a. kepada Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah diberikan pemberitahuan secara tertulis dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan
b. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diproses berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
Bila dibandingkan dengan ketentuan permohonan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku sebelum ketentuan ini yaitu PER-48/PJ/2008 dimana jangka waktu permohonan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai adalah 12 sejak permohonan diterima kecuali untuk PKP patuh jangka waktunya 1 bulan maka Permohonan melalui PKP berisiko rendah ini merupakan langkah nyata dari Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pelayanan prima kepada wajib pajak.
Disusun Oleh :
Nama : Joko Subagiyo
NPM : 09000700 21
PENGADILAN PAJAK
Disusun Oleh
Nama : Masruf Abdillah
NPM : 0900070024
Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak, yang berkedudukan di ibukota Negara. Badan Peradilan pajak yang dimaksud dalam UU KUP adalah Pengadilan Pajak, yang merupakan Badan Peradilan Khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang diatur dengan undang undang sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang terakhir diubah dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004. Payung hukum dari Pengadilan Pajak adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Yang dimaksud pajak disini adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sengketa yang dapat diajukan ke Pengadilan Pajak :
1.Banding yang merupakan merupakan kelanjutan dari proses hukum apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak merasa tidak mendapatkan keadilan dari Surat Keputusan Keberatan atau sesuai Undang Undang yang berlaku.
2.Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, antara lain :
Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
Keputusan Pencegahan dalam rangka penagihan pajak
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam hal pengajuan keberatan dan proses penyelesaian keberatan; atau
Penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan, hanya dapat diajukan kepada Badan Peradilan Pajak
3.Peninjauan Kembali merupakan Upaya hukum terakhir apabila Wajib Pajak merasa belum memperoleh keadilan atas putusan pengadilan pajak. Peninjauan Kembali ini diajukan melalui Sekretariat Pengadilan Pajak untuk diteruskan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung yang akan meyidangkan dan memutuskan perkaran Peninjauan Kembali tersebut.
Dalam mengajukan perkara untuk disidang di Pengadilan Pajak Pemohon harus mengikuti Tata Cara Proses Pengajuan yang terdiri dari dua yaitu Proses Acara Cepat dan Proses Acara biasa. Proses Acara Cepat dilakukan oleh Majelis atau Hakim Tunggal yang dilakukan untuk sengketa yang bukan wewenang Pengadilan Pajak, adanya kesalahan tulis dan /atau hitung dalam putusan Pengadilan Pajak atau dalam hal sengketa yang tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan dengan Acara Biasa merupakan proses pemeriksaan perkara pada umumnya. Dibawah ini akan dijelaskan proses Pemeriksaan dengan Acara Biasa :
Proses Pengajuan Banding Acara Biasa:
1.Pemohon banding mengirimkan Surat Permohonan Banding (SPB) selambat-lambatnya 3 bulan sejak menerima SK Keberatan atau sesuai UU yang bersangkutan kepada Sekretariat Pengdilan Pajak (Set PP).
2.Sekretariat Pengadilan Pajak akan mengirimkan Surat Permohonan Banding (SPB) selambat lambatnya 14 hari kerja sejak menerima SPB dari Pemohon banding kepada Pejabat Terbanding.
3.Pejabat Terbanding mengirimkan Surat Uraian Banding (SUB) selambatnya 3 bulan sejak menerima SBP kepada Set PP.
4.Set PP mengirimkan salinan SUB selambatnya 14 hari sejak menerima SUB dari Pejabat Terbanding kepada Pemohon banding.
5.Pemohon banding mengirimkan Surat bantahan (SBt) selambatnya 30 hari sejak menerima salinan SUB kepada set PP.
6.Set PP mengirimkan salinan SUB selambatnya 14 hari sejak menerima SUB dari Pemohon banding kepada Pejabat terbanding.
7.Ketua Pengadilan menunjuk Majelis Hakim untuk menyidangkan perkara sengketa terkait.
8.Majelis hakim mulai bersidang 6 bulan sejak diterimanya SPB
9.Majelis hakim memutus perkara dalam jangka waktu 12 bulan sejak SPB diterima
10.Set PP mengirimkan salinan Putusan selambatnya 30 hari sejak putusan diucap.
11.Pemohoan banding dan Pejabat Terbanding melaksanakan putusan selambatnya 30 hari sejak menerima salinan putusan.
Proses Pengajuan Gugatan Acara Biasa:
1.Penggugat mengirimkan Surat Gugatan (SG) selambatnya 14 hari atau 30 hari sejak menerima SK Keberatan atau sesuai UU yang bersangkutan kepada Sekretariat Pengadilan Pajak (Set PP).
2.Set PP mengirimkan SBP selambatnya 14 hari sejak menerima SG dari Penggugat kepada Pejabat Tergugat.
3.Pejabat Tergugat mengirimkan Surat Tanggapan (ST) selambatnya 1 Bulan sejak menerima SG kepada Set PP.
4.Set PP mengirimkan salinan ST selambatnya 14 hari sejak menerima ST dari Tergugat kepada Penggugat.
5.Penggugat mengirimkan Surat Bantahan (SBt) selambatnya 30 hari sejak menerima Salinan ST kepada Set PP.
6.Set PP mengirimkan salinan SBt selambatnya 14 hari sejak menerima SPB dari Penggugat kepada tergugat.
7.Ketua Pengadilan menunjuk Majelis Hakim untuk menyidangkan perkara sengketa terkait.
8.Majelis hakim mulai bersidang 3 bulan sejak diterimanya SG.
9.Mejelis hakim memutus perkara dalam jangka waktu 8 bulan sejak SG diterima.
10.Sekretariat Pengadilan Pajak mengirimkan salinan Putusan selambatnya 30 hari sejak Putusan diucap.
11.Penggugat dan tergugat melaksanakan putusan selambatnya 30 hari sejak menerima salinan putusan.
Proses Peninjauan Kembali :
a.Pemohoan Peninjauan Kembali mengirimkan Surat Permohonan PK (SPPK) selambatnya 3 bulan sejak menerima Putusan atau sesuai UU yang bersangkutan kepada Sekretariat Pengadilan Pajak (Set PP).
b.Sekretariat Pengadilan Pajak (Set PP) mengirimkan salinan SPPK selambatnya 14 hari sejak menerima SPPK dari Pemohon PK kepada Termohon PK.
c.Termohon PK mengirimkan Jawaban (kontra Memori) selambatnya 1 bulan sejak menerima SG kepada secretariat Pengadilan Pajak.
d.Sekretariat Pengadilan Pjaka mengirimkan jawaban (Kontra memori) selambatnya 14 hari sejak menerima SG dari termohon PK kepada Pemohon PK.
e.Sekretariat Pengadilan Pajak mengirimkan berkas-berkas tersebut dalam bundel A + bundel B kepada Mahkamah Agung (MA). MA menunjuk Majelis Hakim untuk menyidangkan perkara sengketa terkait.
f.Majelis Hakim Mahkamah Agung memutus perkara dalam waktu 6 bulan sejak keterangan tambahan diterima.
g.Mahkamah Agung mengirim salinan Putusan PK- Bundel A kepada Sekretariat Pengadilan Pajak 30 hari sejak Putusan dibuat.
h.Sekretariat Pengadilan Pajak mengirimkan salinan Putusan PK kepada Pemohon dan Termohon PK selambatnya 30 hari sejak menerima salinan Putusan PK dari Mahkamah Agung.
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hUkum tetap. Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim. Putusan tersebut dapat berupa : menolak; mengabulkan sebagian atau seluruhnya; menambah pajak yang harus dibayar; tidak dapat diterima; membetulkan kesalahan tulis dan/kesalahan hitung; dan/atau membatalkan. Terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Putusan tersebut dapat diajukan Peninjauan Kembali dalam hal didasarkan pada suatu kebohongan, terdapat bukti baru, ada bagian dari tuntutan yang belum diputus tampa dipertimbangkan sebab-sebanya atau terdapat putusan yang nyata-nyata tidak sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sumber Artikel:
Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata cara perpajakan STDD Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009
Situs resmi sekretariat pengadilan pajak http://www.setpp.depkeu.go.id
Artikel dari Nisa Istiani, S.H., MLI. Judul Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak.
Modul Diklat Teknis Subtantif Spesialisasi Juru Sita Pajak yang disusun Oleh Ida Zuraida, SH, LLM.
Nama : Masruf Abdillah
NPM : 0900070024
Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak, yang berkedudukan di ibukota Negara. Badan Peradilan pajak yang dimaksud dalam UU KUP adalah Pengadilan Pajak, yang merupakan Badan Peradilan Khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang diatur dengan undang undang sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang terakhir diubah dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004. Payung hukum dari Pengadilan Pajak adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Yang dimaksud pajak disini adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sengketa yang dapat diajukan ke Pengadilan Pajak :
1.Banding yang merupakan merupakan kelanjutan dari proses hukum apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak merasa tidak mendapatkan keadilan dari Surat Keputusan Keberatan atau sesuai Undang Undang yang berlaku.
2.Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, antara lain :
Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
Keputusan Pencegahan dalam rangka penagihan pajak
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam hal pengajuan keberatan dan proses penyelesaian keberatan; atau
Penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan, hanya dapat diajukan kepada Badan Peradilan Pajak
3.Peninjauan Kembali merupakan Upaya hukum terakhir apabila Wajib Pajak merasa belum memperoleh keadilan atas putusan pengadilan pajak. Peninjauan Kembali ini diajukan melalui Sekretariat Pengadilan Pajak untuk diteruskan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung yang akan meyidangkan dan memutuskan perkaran Peninjauan Kembali tersebut.
Dalam mengajukan perkara untuk disidang di Pengadilan Pajak Pemohon harus mengikuti Tata Cara Proses Pengajuan yang terdiri dari dua yaitu Proses Acara Cepat dan Proses Acara biasa. Proses Acara Cepat dilakukan oleh Majelis atau Hakim Tunggal yang dilakukan untuk sengketa yang bukan wewenang Pengadilan Pajak, adanya kesalahan tulis dan /atau hitung dalam putusan Pengadilan Pajak atau dalam hal sengketa yang tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan dengan Acara Biasa merupakan proses pemeriksaan perkara pada umumnya. Dibawah ini akan dijelaskan proses Pemeriksaan dengan Acara Biasa :
Proses Pengajuan Banding Acara Biasa:
1.Pemohon banding mengirimkan Surat Permohonan Banding (SPB) selambat-lambatnya 3 bulan sejak menerima SK Keberatan atau sesuai UU yang bersangkutan kepada Sekretariat Pengdilan Pajak (Set PP).
2.Sekretariat Pengadilan Pajak akan mengirimkan Surat Permohonan Banding (SPB) selambat lambatnya 14 hari kerja sejak menerima SPB dari Pemohon banding kepada Pejabat Terbanding.
3.Pejabat Terbanding mengirimkan Surat Uraian Banding (SUB) selambatnya 3 bulan sejak menerima SBP kepada Set PP.
4.Set PP mengirimkan salinan SUB selambatnya 14 hari sejak menerima SUB dari Pejabat Terbanding kepada Pemohon banding.
5.Pemohon banding mengirimkan Surat bantahan (SBt) selambatnya 30 hari sejak menerima salinan SUB kepada set PP.
6.Set PP mengirimkan salinan SUB selambatnya 14 hari sejak menerima SUB dari Pemohon banding kepada Pejabat terbanding.
7.Ketua Pengadilan menunjuk Majelis Hakim untuk menyidangkan perkara sengketa terkait.
8.Majelis hakim mulai bersidang 6 bulan sejak diterimanya SPB
9.Majelis hakim memutus perkara dalam jangka waktu 12 bulan sejak SPB diterima
10.Set PP mengirimkan salinan Putusan selambatnya 30 hari sejak putusan diucap.
11.Pemohoan banding dan Pejabat Terbanding melaksanakan putusan selambatnya 30 hari sejak menerima salinan putusan.
Proses Pengajuan Gugatan Acara Biasa:
1.Penggugat mengirimkan Surat Gugatan (SG) selambatnya 14 hari atau 30 hari sejak menerima SK Keberatan atau sesuai UU yang bersangkutan kepada Sekretariat Pengadilan Pajak (Set PP).
2.Set PP mengirimkan SBP selambatnya 14 hari sejak menerima SG dari Penggugat kepada Pejabat Tergugat.
3.Pejabat Tergugat mengirimkan Surat Tanggapan (ST) selambatnya 1 Bulan sejak menerima SG kepada Set PP.
4.Set PP mengirimkan salinan ST selambatnya 14 hari sejak menerima ST dari Tergugat kepada Penggugat.
5.Penggugat mengirimkan Surat Bantahan (SBt) selambatnya 30 hari sejak menerima Salinan ST kepada Set PP.
6.Set PP mengirimkan salinan SBt selambatnya 14 hari sejak menerima SPB dari Penggugat kepada tergugat.
7.Ketua Pengadilan menunjuk Majelis Hakim untuk menyidangkan perkara sengketa terkait.
8.Majelis hakim mulai bersidang 3 bulan sejak diterimanya SG.
9.Mejelis hakim memutus perkara dalam jangka waktu 8 bulan sejak SG diterima.
10.Sekretariat Pengadilan Pajak mengirimkan salinan Putusan selambatnya 30 hari sejak Putusan diucap.
11.Penggugat dan tergugat melaksanakan putusan selambatnya 30 hari sejak menerima salinan putusan.
Proses Peninjauan Kembali :
a.Pemohoan Peninjauan Kembali mengirimkan Surat Permohonan PK (SPPK) selambatnya 3 bulan sejak menerima Putusan atau sesuai UU yang bersangkutan kepada Sekretariat Pengadilan Pajak (Set PP).
b.Sekretariat Pengadilan Pajak (Set PP) mengirimkan salinan SPPK selambatnya 14 hari sejak menerima SPPK dari Pemohon PK kepada Termohon PK.
c.Termohon PK mengirimkan Jawaban (kontra Memori) selambatnya 1 bulan sejak menerima SG kepada secretariat Pengadilan Pajak.
d.Sekretariat Pengadilan Pjaka mengirimkan jawaban (Kontra memori) selambatnya 14 hari sejak menerima SG dari termohon PK kepada Pemohon PK.
e.Sekretariat Pengadilan Pajak mengirimkan berkas-berkas tersebut dalam bundel A + bundel B kepada Mahkamah Agung (MA). MA menunjuk Majelis Hakim untuk menyidangkan perkara sengketa terkait.
f.Majelis Hakim Mahkamah Agung memutus perkara dalam waktu 6 bulan sejak keterangan tambahan diterima.
g.Mahkamah Agung mengirim salinan Putusan PK- Bundel A kepada Sekretariat Pengadilan Pajak 30 hari sejak Putusan dibuat.
h.Sekretariat Pengadilan Pajak mengirimkan salinan Putusan PK kepada Pemohon dan Termohon PK selambatnya 30 hari sejak menerima salinan Putusan PK dari Mahkamah Agung.
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hUkum tetap. Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim. Putusan tersebut dapat berupa : menolak; mengabulkan sebagian atau seluruhnya; menambah pajak yang harus dibayar; tidak dapat diterima; membetulkan kesalahan tulis dan/kesalahan hitung; dan/atau membatalkan. Terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Putusan tersebut dapat diajukan Peninjauan Kembali dalam hal didasarkan pada suatu kebohongan, terdapat bukti baru, ada bagian dari tuntutan yang belum diputus tampa dipertimbangkan sebab-sebanya atau terdapat putusan yang nyata-nyata tidak sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sumber Artikel:
Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata cara perpajakan STDD Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009
Situs resmi sekretariat pengadilan pajak http://www.setpp.depkeu.go.id
Artikel dari Nisa Istiani, S.H., MLI. Judul Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak.
Modul Diklat Teknis Subtantif Spesialisasi Juru Sita Pajak yang disusun Oleh Ida Zuraida, SH, LLM.
PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Yang Membebani APBN atau APBD
Ditulis oleh: Muhammad Ismail Marzuqi (0900070027)
Sebagaimana ketentuan pasal 21 UU Pajak Pengasilan, bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan wajib melakukan pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan tersebut. Sementara dana yang dibayarkan tersebut berasal dari dana APBN atau APBD yang telah tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) masing-masing satuan kerja. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD merupakan PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah atas beban APBN atau APBD.
Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
1.Pejabat Negara, untuk:
1.gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
2.imbalan tetap sejenisnya
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.PNS, Anggota TNl, dan Anggota POLRl, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
3.Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Ditanggung Pemerintah berarti negara memberikan penghasilan kepada pegawainya berupa tunjangan pajak pengasilan (511125) yang besarnya sama dengan PPh pasal 21 yang dipotong (411121). Hal ini tentunya berimbas pada meningkatnya belanja negara dalam tahun anggaran yang berjalan. Adapun besarnya PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah adalah sebagaimana Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung Pemerintah dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
5% (lima persen)
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
15%(lima belas persen)
di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
25% (dua puluh lima persen)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
30% (tiga puluh persen)
Perhitungan PPh pasal 21 tersebut terhitung bersamaan dengan perhitungan daftar penghasilan pegawai secara otomatis (telah disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan terkait) melalui aplikasi Gaji Pokok PNS yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2011 Tanggal 31 Desember 2010, Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang dibebankan pada APBN atau APBD dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota TN!, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 20% (dua puluh persen) tersebut dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS. Anggota TN!, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, dan tidak lagi Ditanggung oleh Negara sehingga akan mengurangi gaji bersih pegawai tersebut.
PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 tahun 2010 dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2011, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan selain penghasilan tetap dan teratur setiap bulan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium atau imbalan lain tersebut, dengan tarif:
1.sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
2.sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan Ill, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
3.sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi Pejabat Negara. PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya
.
Sebagaimana ketentuan pasal 21 UU Pajak Pengasilan, bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan wajib melakukan pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan tersebut. Sementara dana yang dibayarkan tersebut berasal dari dana APBN atau APBD yang telah tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) masing-masing satuan kerja. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD merupakan PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah atas beban APBN atau APBD.
Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
1.Pejabat Negara, untuk:
1.gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
2.imbalan tetap sejenisnya
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.PNS, Anggota TNl, dan Anggota POLRl, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
3.Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Ditanggung Pemerintah berarti negara memberikan penghasilan kepada pegawainya berupa tunjangan pajak pengasilan (511125) yang besarnya sama dengan PPh pasal 21 yang dipotong (411121). Hal ini tentunya berimbas pada meningkatnya belanja negara dalam tahun anggaran yang berjalan. Adapun besarnya PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah adalah sebagaimana Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung Pemerintah dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
5% (lima persen)
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
15%(lima belas persen)
di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
25% (dua puluh lima persen)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
30% (tiga puluh persen)
Perhitungan PPh pasal 21 tersebut terhitung bersamaan dengan perhitungan daftar penghasilan pegawai secara otomatis (telah disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan terkait) melalui aplikasi Gaji Pokok PNS yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2011 Tanggal 31 Desember 2010, Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang dibebankan pada APBN atau APBD dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota TN!, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 20% (dua puluh persen) tersebut dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS. Anggota TN!, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, dan tidak lagi Ditanggung oleh Negara sehingga akan mengurangi gaji bersih pegawai tersebut.
PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 tahun 2010 dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2011, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan selain penghasilan tetap dan teratur setiap bulan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium atau imbalan lain tersebut, dengan tarif:
1.sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
2.sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan Ill, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
3.sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi Pejabat Negara. PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya
.
Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa
Asep Rusdiana
Sebagaimana kita tahu, pajak merupakan salah satu pilar utama penopang penerimaan negara dalam APBN yang dimanfaatkan untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemungutan pajak merupakan salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Pada prakteknya kadangkala dapat dijumpai adanya Wajib Pajak yang belum atau tidak mempunyai kesadaran untuk membayar pajaknya, entah karena kurangnya pemahaman terhadap peraturan perpajakan ataupun karena sebab lainnya yang lebih serius. Oleh karenanya, DJP telah meningkatkan pelayanan terhadap Wajib Pajak dengan menyediakan fasilitas Pengawasan dan Konsultasi yang dilakukan demi meningkatkan pemahaman Wajib Pajak terhadap peraturan perpajakan. Sehingga dengan demikian diharapkan seiring meningkatnya pemahaman Wajib Pajak, maka dapat meningkatkan penerimaan pajak itu sendiri.
Namun pada kenyataannya, masih banyak Wajib Pajak yang belum melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya. Maka dari itu, demi terciptanya penegakan hukum kepada Wajib Pajak yang tidak mau membayar pajak karena sebab lain dapat dilakukan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana tercantum dalam UU No 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan surat Paksa.
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan cara menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, melaksanakan penyitaan, menjual barang yang telah disita, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyanderaan.
Sementara yang dimaksud dengan Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sesuai dengan SE-13/PJ.75/1998, jadwal pelaksanaan penagihan pajak dapat dilihat pada tabel berikut:
No.
Jenis Tindakan
Waktu Pelaksanaan
1.
Penerbitan Surat Teguran
setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran
2.
Penerbitan Surat Paksa
Setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat Teguran
3.
Penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP)
Setelah lewat waktu 2 kali 24 (dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak
4.
Pengumumuman Lelang
Setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan.
5.
Penjualan/Pelelangan Barang Sitaan
Setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengumuman lelang
Dalam artikel ini, penulis akan membahas lebih rinci tentang salah satu jenis tindakan penagihan yang dilakukan DJP, yakni proses penyitaan dalam rangka penagihan pajak.
Penyitaan dapat dilakukan terhadap barang bergerak maupun harta tidak bergerak seperti mobil, perhiasan, uang tunai, tanah dan bangunan. Selain barang tersebut di atas, penyitaan juga dapat dilakukan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank seperti deposito berjangka, tabungan, rekening koran/giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Harta yang telah disita ini akan dijadikan jaminan pelunasan utang pajak sekaligus biaya penagihan pajaknya. Jika utang pajak tidak dilunasi, maka terhadap harta yang disita baik yang bergerak maupun tidak begerak akan dilakukan lelang, dan jika harta tersebut merupakan harta kekayaan yang tersimpan pada bank, maka akan dilakukan pemindahbukuan dari rekening Penanggung Pajak ke rekening kas negara. Khusus Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di Bank, harus didahului dengan Pemblokiran Rekening Penanggung Pajak.
Tata cara pemblokiran rekening sendiri diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa sebagai berikut :
1. Pemblokiran rekening diajukan oleh Pejabat, dalam hal ini Kepala Kantor Pelayanan Pajak kepada pimpinan bank tempat harta kekayaan Penanggung Pajak tersimpan disertai dengan salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP).
2. Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari Kepala KPP.
3. Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat berita acara pemblokiran yang tindasannya disampaikan kepada Penanggung Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta pemblokiran.
4. Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang diblokir tersebut, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak agar menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajaknya. Dalam hal ini, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak melalui Jurusita Pajak mengajukan permintaan pemindahbukuan dan pencabutan pemblokiran kepada Bank.
Namun bila Penanggung Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana tersebut dalam poin 4 (empat) diatas, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak melalui Jurusita Pajak menindaklanjuti pemblokiran rekening tersebut dengan melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan yang tersimpan dalam rekening Penangngung Pajak. Adapun tata cara penyitaan rekening Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dilaksanakan sebagai berikut :
1. Jurusita Pajak setelah menerima Berita Acara Pemblokiran memerintahkan kepada Penanggung pajak untuk memberi kuasa kepada Bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak;
2. Dalam hal Penanggung Pajak tidak memberikan kuasa kepada Bank atau menolak memberikan kuasa, Kepala Kantor Pelayanan Pajak meminta Gubernur Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dimaksud kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak;
3. Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan;
4. Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan ditandatangani oleh Jurusita Pajak, saksi-saksi dan pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk;
5. Jurusita Pajak menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada Penanggung Pajak dan pimpinan bank yang bersangkutan.
Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak penyitaan, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak segera meminta kepada pimpinan bank untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas negara sejumlah yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita. Setelah penyitaan dilakukan, selanjutnya dilakukan proses pencabutan sita yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Kepala Kantor dan tembusannya disampaikan kepada pimpinan bank yang bersangkutan.
Demikian dapat penulis gambarkan secara umum proses penagihan pajak melalui pemblokiran dan penyitaan rekening Penanggung Pajak. Adapun dalam kenyataannya akan dijumpai banyak hambatan dalam proses ini, seperti adanya Pimpinan Bank yang kurang memahami prosedur pemblokiran ini, dan lain-lain.
Meski mungkin banyak hambatan dalam pelaksanaannya, namun proses penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank ini dirasa lebih efektif dan efisien dibanding dengan penyitaan terhadap harta lainnya.
Sebagaimana kita tahu, pajak merupakan salah satu pilar utama penopang penerimaan negara dalam APBN yang dimanfaatkan untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemungutan pajak merupakan salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Pada prakteknya kadangkala dapat dijumpai adanya Wajib Pajak yang belum atau tidak mempunyai kesadaran untuk membayar pajaknya, entah karena kurangnya pemahaman terhadap peraturan perpajakan ataupun karena sebab lainnya yang lebih serius. Oleh karenanya, DJP telah meningkatkan pelayanan terhadap Wajib Pajak dengan menyediakan fasilitas Pengawasan dan Konsultasi yang dilakukan demi meningkatkan pemahaman Wajib Pajak terhadap peraturan perpajakan. Sehingga dengan demikian diharapkan seiring meningkatnya pemahaman Wajib Pajak, maka dapat meningkatkan penerimaan pajak itu sendiri.
Namun pada kenyataannya, masih banyak Wajib Pajak yang belum melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya. Maka dari itu, demi terciptanya penegakan hukum kepada Wajib Pajak yang tidak mau membayar pajak karena sebab lain dapat dilakukan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana tercantum dalam UU No 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan surat Paksa.
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan cara menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, melaksanakan penyitaan, menjual barang yang telah disita, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyanderaan.
Sementara yang dimaksud dengan Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sesuai dengan SE-13/PJ.75/1998, jadwal pelaksanaan penagihan pajak dapat dilihat pada tabel berikut:
No.
Jenis Tindakan
Waktu Pelaksanaan
1.
Penerbitan Surat Teguran
setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran
2.
Penerbitan Surat Paksa
Setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat Teguran
3.
Penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP)
Setelah lewat waktu 2 kali 24 (dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak
4.
Pengumumuman Lelang
Setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan.
5.
Penjualan/Pelelangan Barang Sitaan
Setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengumuman lelang
Dalam artikel ini, penulis akan membahas lebih rinci tentang salah satu jenis tindakan penagihan yang dilakukan DJP, yakni proses penyitaan dalam rangka penagihan pajak.
Penyitaan dapat dilakukan terhadap barang bergerak maupun harta tidak bergerak seperti mobil, perhiasan, uang tunai, tanah dan bangunan. Selain barang tersebut di atas, penyitaan juga dapat dilakukan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank seperti deposito berjangka, tabungan, rekening koran/giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Harta yang telah disita ini akan dijadikan jaminan pelunasan utang pajak sekaligus biaya penagihan pajaknya. Jika utang pajak tidak dilunasi, maka terhadap harta yang disita baik yang bergerak maupun tidak begerak akan dilakukan lelang, dan jika harta tersebut merupakan harta kekayaan yang tersimpan pada bank, maka akan dilakukan pemindahbukuan dari rekening Penanggung Pajak ke rekening kas negara. Khusus Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di Bank, harus didahului dengan Pemblokiran Rekening Penanggung Pajak.
Tata cara pemblokiran rekening sendiri diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa sebagai berikut :
1. Pemblokiran rekening diajukan oleh Pejabat, dalam hal ini Kepala Kantor Pelayanan Pajak kepada pimpinan bank tempat harta kekayaan Penanggung Pajak tersimpan disertai dengan salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP).
2. Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari Kepala KPP.
3. Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat berita acara pemblokiran yang tindasannya disampaikan kepada Penanggung Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang meminta pemblokiran.
4. Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang diblokir tersebut, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak agar menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajaknya. Dalam hal ini, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak melalui Jurusita Pajak mengajukan permintaan pemindahbukuan dan pencabutan pemblokiran kepada Bank.
Namun bila Penanggung Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana tersebut dalam poin 4 (empat) diatas, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak melalui Jurusita Pajak menindaklanjuti pemblokiran rekening tersebut dengan melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan yang tersimpan dalam rekening Penangngung Pajak. Adapun tata cara penyitaan rekening Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dilaksanakan sebagai berikut :
1. Jurusita Pajak setelah menerima Berita Acara Pemblokiran memerintahkan kepada Penanggung pajak untuk memberi kuasa kepada Bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak;
2. Dalam hal Penanggung Pajak tidak memberikan kuasa kepada Bank atau menolak memberikan kuasa, Kepala Kantor Pelayanan Pajak meminta Gubernur Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dimaksud kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak;
3. Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan;
4. Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan ditandatangani oleh Jurusita Pajak, saksi-saksi dan pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk;
5. Jurusita Pajak menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada Penanggung Pajak dan pimpinan bank yang bersangkutan.
Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak penyitaan, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak segera meminta kepada pimpinan bank untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas negara sejumlah yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita. Setelah penyitaan dilakukan, selanjutnya dilakukan proses pencabutan sita yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Kepala Kantor dan tembusannya disampaikan kepada pimpinan bank yang bersangkutan.
Demikian dapat penulis gambarkan secara umum proses penagihan pajak melalui pemblokiran dan penyitaan rekening Penanggung Pajak. Adapun dalam kenyataannya akan dijumpai banyak hambatan dalam proses ini, seperti adanya Pimpinan Bank yang kurang memahami prosedur pemblokiran ini, dan lain-lain.
Meski mungkin banyak hambatan dalam pelaksanaannya, namun proses penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank ini dirasa lebih efektif dan efisien dibanding dengan penyitaan terhadap harta lainnya.
Rabu, 19 Januari 2011
Tata Cara Penggantian dan Pembetulan Faktur Pajak
Nama : Aan Septian
NPM : 0900070001
Tata Cara Penggantian dan Pembetulan Faktur Pajak
A. Saat Pembuatan Faktur Pajak
Faktur Pajak harus dibuat pada :
1.Saat penyerahan BKP dan/atau JKP;
2.Saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum terjadinya penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP;
3.Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan:atau
4.Saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut PPN.
B. Saat Pembuatan Faktur Pajak Gabungan
Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP
C. Tata Cara Penggantian Faktur Pajak Yang Hilang
Atas faktur pajak yang hilang dapat dilakukan penggantian dengan cara sebagai berikut:
1.Pengusaha Kena Pajak Pembeli atau Penerima Jasa Kena Pajak dapat mengajukan permohonan tertulis untuk meminta copy dari faktur pajak yang hilang kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual atau Pemberi Jasa Kena Pajak dengan tembusan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak Pembeli atau Penerima Jasa Kena Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak Penjual atau Pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan.
2.Berdasar permohonan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak membuat copy dari arsip Faktur Pajak yang disimpan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak, untuk dilegalisir oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak Penjual atau Pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan.
Copy dibuat dalam rangkap 2 (dua), yaitu :
Lembar ke-1 : Diserahkan ke Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima jasa Kena Pajak melalui Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak.
Lembar ke-2 : Arsip kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan.
3.Legalisir diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan setelah meneliti arsip Faktur Pajak dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak tersebut.
4.Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima jasa Kena Pajak dikukuhkan wajib melakukan penelitian atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima jasa Kena Pajak untuk meyakinkan bahwa Faktur Pajak yang dilaporkan hilang tersebut sudah dikreditkan sebagai Pajak Keluaran.
D. Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Yang Rusak Atau Cacat Atau Salah
Dalam Pengisian Atau Salah Dalam Penulisan.
1.Atas permintaan Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak atau atas kemauan sendiri, Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak membuat Faktur Pajak Pengganti terhadap Faktur Pajak yang rusak, cacat, salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan.
2.Pembetulan Faktur Pajak yang rusak, cacat, salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan tidak diperkenankan dengan cara menghapus, atau mencoret, atau dengan cara lain, selain dengan cara membuat Faktur Pajak Pengganti sebabaimana dimaksud dalam butir 1.
3.Penerbitan dan peruntukan Faktur Pajak Pengganti dilaksanakan seperti penerbitan dan peruntukan Faktur Pajak yang biasa sesuai dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang telah ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
4.Faktur Pajak Pengganti sebagaimana dimaksud pada butir 1, diisi berdasrakan keterangan yang seharusnya dan dilampiri denga Faktur Pajak yang rusak, cacat, salah dalam penulisan atau dalam pengisian tersebut.
5.Pada Faktur Pajak Pengganti sebagaimana dimaksud pada butir 1, dibubuhkan cap yang mencantumkan Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak yang diganti tersebut. Pengusaha Kena Pajak dapat membuat cap tersebut seperti contoh berikut. Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak yang diganti dapat diisi dengan cara manual.
Faktur Pajak yang diganti :
Kode dan Nomor Seri : .................................................................................
Tanggal : .................................................................................
6.Penerbitan Faktur Pajak Pengganti mengakibatkan adanya kewajiban untuk membetulkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak terjadinya kesalahan pembuatan Faktur Pajak tersebut.
7.Faktur Pajak Pengganti dilaporkan dalam Surat pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada :
a.Masa Pajak yang sama dengan masa pajak dilaporkannya Faktur Pajak yang diganti, dengan mencantumkan nilai setelah penggantian; dan
b.Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Pengganti tersebut dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN dan PPn BM, untuk menjaga Urutan Faktur Pajak Standar yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak.
8.Pelaporan Faktur Pajak Pengganti pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada pada butir 7 huruf a dan b, harus mencantum Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti pada kolom yang telah ditentukan.
E. Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak
1.Dalam hal terjadi pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya telah diterbitkan, maka Faktur Pajak tersebut harus dibatalkan.
2.Pembatalan transaksi harus didukung oleh bukti atau dokumen yang membuktikan bahwa telah terjadi pembatalan transaksi. Bukti dapat berupa pembatalan kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan telah terjadi pembatalan transaksi.
3.Pengusaha Kena Pajak Penjual yang melakukan pembatalan Faktur Pajak harus memiliki bukti dari Pengusaha Kena Pajak Pembeli yang menyatakan bahwa transaksi dibatalkan.
4.Faktur Pajak yang dibatalkan harus tetap diadministrasi (disimpan) oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut.
5.Pengusaha Kena Pajak Penjual yang membatalkan Faktur Pajak harus mengirimkan surat pemberitahuan dan copy dari Faktur Pajak yang dibatalkan ke Kantor Pelayan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak Penjual dikukuhkan dan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak Pembeli dikukuhkan.
6.Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Penjual belum melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan di dalam Surat Pemberitahua Masa Pajak Pertambahan Nilai, maka Pengusaha Kena Pajak Penjual harus tetap melaporkan Faktur Pajak tersebut dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN atau PPn BM.
NPM : 0900070001
Tata Cara Penggantian dan Pembetulan Faktur Pajak
A. Saat Pembuatan Faktur Pajak
Faktur Pajak harus dibuat pada :
1.Saat penyerahan BKP dan/atau JKP;
2.Saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum terjadinya penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP;
3.Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan:atau
4.Saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut PPN.
B. Saat Pembuatan Faktur Pajak Gabungan
Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP
C. Tata Cara Penggantian Faktur Pajak Yang Hilang
Atas faktur pajak yang hilang dapat dilakukan penggantian dengan cara sebagai berikut:
1.Pengusaha Kena Pajak Pembeli atau Penerima Jasa Kena Pajak dapat mengajukan permohonan tertulis untuk meminta copy dari faktur pajak yang hilang kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual atau Pemberi Jasa Kena Pajak dengan tembusan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak Pembeli atau Penerima Jasa Kena Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak Penjual atau Pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan.
2.Berdasar permohonan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak membuat copy dari arsip Faktur Pajak yang disimpan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak, untuk dilegalisir oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak Penjual atau Pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan.
Copy dibuat dalam rangkap 2 (dua), yaitu :
Lembar ke-1 : Diserahkan ke Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima jasa Kena Pajak melalui Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak.
Lembar ke-2 : Arsip kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan.
3.Legalisir diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan setelah meneliti arsip Faktur Pajak dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak tersebut.
4.Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima jasa Kena Pajak dikukuhkan wajib melakukan penelitian atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima jasa Kena Pajak untuk meyakinkan bahwa Faktur Pajak yang dilaporkan hilang tersebut sudah dikreditkan sebagai Pajak Keluaran.
D. Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Yang Rusak Atau Cacat Atau Salah
Dalam Pengisian Atau Salah Dalam Penulisan.
1.Atas permintaan Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak atau atas kemauan sendiri, Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak membuat Faktur Pajak Pengganti terhadap Faktur Pajak yang rusak, cacat, salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan.
2.Pembetulan Faktur Pajak yang rusak, cacat, salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan tidak diperkenankan dengan cara menghapus, atau mencoret, atau dengan cara lain, selain dengan cara membuat Faktur Pajak Pengganti sebabaimana dimaksud dalam butir 1.
3.Penerbitan dan peruntukan Faktur Pajak Pengganti dilaksanakan seperti penerbitan dan peruntukan Faktur Pajak yang biasa sesuai dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang telah ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
4.Faktur Pajak Pengganti sebagaimana dimaksud pada butir 1, diisi berdasrakan keterangan yang seharusnya dan dilampiri denga Faktur Pajak yang rusak, cacat, salah dalam penulisan atau dalam pengisian tersebut.
5.Pada Faktur Pajak Pengganti sebagaimana dimaksud pada butir 1, dibubuhkan cap yang mencantumkan Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak yang diganti tersebut. Pengusaha Kena Pajak dapat membuat cap tersebut seperti contoh berikut. Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak yang diganti dapat diisi dengan cara manual.
Faktur Pajak yang diganti :
Kode dan Nomor Seri : .................................................................................
Tanggal : .................................................................................
6.Penerbitan Faktur Pajak Pengganti mengakibatkan adanya kewajiban untuk membetulkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak terjadinya kesalahan pembuatan Faktur Pajak tersebut.
7.Faktur Pajak Pengganti dilaporkan dalam Surat pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada :
a.Masa Pajak yang sama dengan masa pajak dilaporkannya Faktur Pajak yang diganti, dengan mencantumkan nilai setelah penggantian; dan
b.Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Pengganti tersebut dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN dan PPn BM, untuk menjaga Urutan Faktur Pajak Standar yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak.
8.Pelaporan Faktur Pajak Pengganti pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada pada butir 7 huruf a dan b, harus mencantum Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti pada kolom yang telah ditentukan.
E. Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak
1.Dalam hal terjadi pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya telah diterbitkan, maka Faktur Pajak tersebut harus dibatalkan.
2.Pembatalan transaksi harus didukung oleh bukti atau dokumen yang membuktikan bahwa telah terjadi pembatalan transaksi. Bukti dapat berupa pembatalan kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan telah terjadi pembatalan transaksi.
3.Pengusaha Kena Pajak Penjual yang melakukan pembatalan Faktur Pajak harus memiliki bukti dari Pengusaha Kena Pajak Pembeli yang menyatakan bahwa transaksi dibatalkan.
4.Faktur Pajak yang dibatalkan harus tetap diadministrasi (disimpan) oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut.
5.Pengusaha Kena Pajak Penjual yang membatalkan Faktur Pajak harus mengirimkan surat pemberitahuan dan copy dari Faktur Pajak yang dibatalkan ke Kantor Pelayan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak Penjual dikukuhkan dan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak Pembeli dikukuhkan.
6.Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Penjual belum melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan di dalam Surat Pemberitahua Masa Pajak Pertambahan Nilai, maka Pengusaha Kena Pajak Penjual harus tetap melaporkan Faktur Pajak tersebut dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN atau PPn BM.
PROSEDUR & TATA CARA PENELITIAN SSP ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ ATAU BANGUNAN
A.DASAR HUKUM
1. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENELITIAN SSP ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ ATAU BANGUNAN
2. SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 81/PJ/2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENELITIAN SURAT SETORAN PAJAK ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
B.PROSEDUR PENELITIAN
Terhadap pembayaran SSP atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan/atau bangunan yang dialihkan haknya.
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian SSP tersebut adalah sebagai berikut:
1.Penerimaan berkas permohonan penelitian dari wajib pajak.
a.Petugas TPT mengecek kelengkapan dokumen penyampaian formulir penelitian SSP atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang terdiri dari :
* Surat Setoran Pajak Lembar ke-1 yang sudah tertera Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank/Nomor Transaksi Pos/Nomor Penerimaan Potongan serta foto kopinya;
* foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Tanda Terima Setoran/Struk ATM bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan/bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan lainnya atas tanah dan/atau bangunan yang dialihkan haknya;
* foto kopi faktur/bukti penjualan atau bukti penerimaan uang dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara penjualan; dan
* foto kopi surat kuasa dan kartu identitas yang diberi kuasa dalam hal pengajuan formulir penelitian Surat Setoran Pajak dikuasakan.
b.Atas penyampaian formulir penelitian SSP yang telah dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 1), diterima dan diberikan tanda terima kepada Wajib Pajak.
c. Berkas penelitian SSP yang telah diterima selanjutnya diteruskan ke Seksi Pelayanan.
2.Penelitian SSP di seksi pelayanan
Tahapan ini dilakukan oleh petugas yang ditunjuk sebagai peneliti SSP.
a.Petugas Peneliti SSP meneliti kebenaran isian pada formulir penelitian SSP. Unsur-unsur yang diteliti antara lain :
Data Modul Penerimaan Negara (MPN)
Petugas Peneliti SSP mengecek Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan mencocokkan jumlah pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) yang tercantum dalam SSP lembar ke-1 dengan data MPN. Dalam hal diperlukan, bisa melakukan konfirmasi ke Bank/Pos Persepsi yang bersangkutan.
Nomor Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (NOP)
Petugas Peneliti SSP mencocokkan NOP yang dicantumkan dalam Surat Setoran Pajak dengan NOP yang tercantum dalam foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Tanda Terima Setoran (STTS)/bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PPB) lainnya.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bumi per meter persegi
Petugas Peneliti SSP meneliti NJOP bumi per meter persegi yang dialihkan haknya sesuai dengan Basis Data PBB.
Besarnya NJOP bangunan per meter persegi
Petugas Peneliti SSP meneliti NJOP Bangunan per meter persegi yang dialihkan haknya sesuai dengan Basis Data PBB.
Penghitungan PPh
Petugas Peneliti SSP meneliti kebenaran penghitungan dasar pengenaan PPh dengan membandingkan nilai pengalihan sebenarnya sebagaimana tercantum dalam foto kopi faktur/bukti penjualan atau bukti penerimaan uang dengan NJOP.
b.Apabila setelah dilakukan penetian,ternyata diperlukan penelitian lapangan, Kepala KPP Pratama menerbitkan Surat Tugas penelitian lapangan.
c. Dalam hal dilakukan penelitian lapangan, penelitian tersebut dilaksanakan oleh Pejabat Fungsional Penilai atau petugas lain yang ditunjuk.
d. Kepala KPP Pratama dapat menetapkan kriteria dilakukannya penelitian lapangan dengan tetap mempertimbangkan ketentuan jangka waktu penyelesaian penelitian SSP, misalnya terdapat bangunan yang belum masuk dalam basis data PBB.
e. Dalam hal berdasarkan penelitian ternyata PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan belum dibayar ke Kas Negara atau PPh yang telah dibayar oleh Wajib Pajak masih kurang dari yang seharusnya dibayar, maka :
· SSP lembar ke-1 dan fotokopinya tidak dibubuhkan stempel penelitian SSP;
· berkas penelitian SSP yang disampaikan oleh Wajib Pajak dikembalikan (kecuali formulir penelitian SSP dan foto kopi SSP) disertai surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
f. Terhadap SSP yang sudah diteliti, diberikan stempel dengan bentuk stempel sebagaimana ditetapkan untuk kemudian diserahkan kepada Kepala Seksi Pelayanan untuk ditandatangani.
g. Apabila pembayaran PPh dari pengalihan hak atas satu unit tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan lebih dari satu SSP (misal karena pembayaran dilakukan secara angsuran), maka:
· stempel penelitian SSP dibubuhkan pada SSP yang terakhir dan foto kopinya;
· dibuat Rekapitulasi Data SSP
C. KESIMPULAN
Penelitian SSP yang dilakukan oleh masing-masing KPP Pratama sesuai dengan letak tanah dan/ atau bangunan yang dialihkan haknya memang sangat diperlukan.Beberapa manfaat yang diperoleh dengan dilakukannya penelitian SSP tersebut adalah:
1. memastikan bahwa jumlah pajak yang yang disetorkan sudah sesuai dengan jumlah terutangnya.
2. memastikan bahwa pajak tersebut benar telah disetorkan/diterima oleh bank tempat pembayaran.
3. adanya kontrol dan pengawasan yang lebih bagus terhadap SSP atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan
1. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENELITIAN SSP ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ ATAU BANGUNAN
2. SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 81/PJ/2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PENELITIAN SURAT SETORAN PAJAK ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
B.PROSEDUR PENELITIAN
Terhadap pembayaran SSP atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan/atau bangunan yang dialihkan haknya.
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian SSP tersebut adalah sebagai berikut:
1.Penerimaan berkas permohonan penelitian dari wajib pajak.
a.Petugas TPT mengecek kelengkapan dokumen penyampaian formulir penelitian SSP atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang terdiri dari :
* Surat Setoran Pajak Lembar ke-1 yang sudah tertera Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank/Nomor Transaksi Pos/Nomor Penerimaan Potongan serta foto kopinya;
* foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Tanda Terima Setoran/Struk ATM bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan/bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan lainnya atas tanah dan/atau bangunan yang dialihkan haknya;
* foto kopi faktur/bukti penjualan atau bukti penerimaan uang dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara penjualan; dan
* foto kopi surat kuasa dan kartu identitas yang diberi kuasa dalam hal pengajuan formulir penelitian Surat Setoran Pajak dikuasakan.
b.Atas penyampaian formulir penelitian SSP yang telah dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 1), diterima dan diberikan tanda terima kepada Wajib Pajak.
c. Berkas penelitian SSP yang telah diterima selanjutnya diteruskan ke Seksi Pelayanan.
2.Penelitian SSP di seksi pelayanan
Tahapan ini dilakukan oleh petugas yang ditunjuk sebagai peneliti SSP.
a.Petugas Peneliti SSP meneliti kebenaran isian pada formulir penelitian SSP. Unsur-unsur yang diteliti antara lain :
Data Modul Penerimaan Negara (MPN)
Petugas Peneliti SSP mengecek Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan mencocokkan jumlah pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) yang tercantum dalam SSP lembar ke-1 dengan data MPN. Dalam hal diperlukan, bisa melakukan konfirmasi ke Bank/Pos Persepsi yang bersangkutan.
Nomor Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (NOP)
Petugas Peneliti SSP mencocokkan NOP yang dicantumkan dalam Surat Setoran Pajak dengan NOP yang tercantum dalam foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Tanda Terima Setoran (STTS)/bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PPB) lainnya.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bumi per meter persegi
Petugas Peneliti SSP meneliti NJOP bumi per meter persegi yang dialihkan haknya sesuai dengan Basis Data PBB.
Besarnya NJOP bangunan per meter persegi
Petugas Peneliti SSP meneliti NJOP Bangunan per meter persegi yang dialihkan haknya sesuai dengan Basis Data PBB.
Penghitungan PPh
Petugas Peneliti SSP meneliti kebenaran penghitungan dasar pengenaan PPh dengan membandingkan nilai pengalihan sebenarnya sebagaimana tercantum dalam foto kopi faktur/bukti penjualan atau bukti penerimaan uang dengan NJOP.
b.Apabila setelah dilakukan penetian,ternyata diperlukan penelitian lapangan, Kepala KPP Pratama menerbitkan Surat Tugas penelitian lapangan.
c. Dalam hal dilakukan penelitian lapangan, penelitian tersebut dilaksanakan oleh Pejabat Fungsional Penilai atau petugas lain yang ditunjuk.
d. Kepala KPP Pratama dapat menetapkan kriteria dilakukannya penelitian lapangan dengan tetap mempertimbangkan ketentuan jangka waktu penyelesaian penelitian SSP, misalnya terdapat bangunan yang belum masuk dalam basis data PBB.
e. Dalam hal berdasarkan penelitian ternyata PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan belum dibayar ke Kas Negara atau PPh yang telah dibayar oleh Wajib Pajak masih kurang dari yang seharusnya dibayar, maka :
· SSP lembar ke-1 dan fotokopinya tidak dibubuhkan stempel penelitian SSP;
· berkas penelitian SSP yang disampaikan oleh Wajib Pajak dikembalikan (kecuali formulir penelitian SSP dan foto kopi SSP) disertai surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
f. Terhadap SSP yang sudah diteliti, diberikan stempel dengan bentuk stempel sebagaimana ditetapkan untuk kemudian diserahkan kepada Kepala Seksi Pelayanan untuk ditandatangani.
g. Apabila pembayaran PPh dari pengalihan hak atas satu unit tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan lebih dari satu SSP (misal karena pembayaran dilakukan secara angsuran), maka:
· stempel penelitian SSP dibubuhkan pada SSP yang terakhir dan foto kopinya;
· dibuat Rekapitulasi Data SSP
C. KESIMPULAN
Penelitian SSP yang dilakukan oleh masing-masing KPP Pratama sesuai dengan letak tanah dan/ atau bangunan yang dialihkan haknya memang sangat diperlukan.Beberapa manfaat yang diperoleh dengan dilakukannya penelitian SSP tersebut adalah:
1. memastikan bahwa jumlah pajak yang yang disetorkan sudah sesuai dengan jumlah terutangnya.
2. memastikan bahwa pajak tersebut benar telah disetorkan/diterima oleh bank tempat pembayaran.
3. adanya kontrol dan pengawasan yang lebih bagus terhadap SSP atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan
KONTRIBUSI PERPAJAKAN TERHADAP PENERIMAAN DALAM NEGERI
Nama : Iyan Budiawan
NPM : 0900070019
Dalam periode 2005–2009, penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4 persen. Beberapa indikator makroekonomi yang berpengaruh pada meningkatnya penerimaan dalam negeri dalam periode tersebut adalah :
1. Tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat, yaitu dari 5,7 persen pada tahun 2005, menjadi 6,0 persen pada tahun 2008, meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2009.
2. Perkembangan ICP yang cenderung meningkat dari USD51,8 per barel pada tahun 2005 hingga mencapai USD96,8 per barel pada tahun 2008, dan USD61,6 per barel pada tahun 2009.
3. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang sempat mengalami depresiasi pada periode tahun 2005–2009. Selain itu, keberhasilan penerapan kebijakan perpajakan dan PNBP juga turut mendorong peningkatan penerimaan dalam negeri.
Memasuki tahun 2010, kondisi perekonomian Indonesia diperkirakan mampu mencapai pertumbuhan 5,8 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2009 yang hanya mencapai 4,5 persen. Berdasarkan perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut, dan juga didukung oleh tingginya perkiraan ICP yang mencapai USD80 per barel, penerimaan dalam negeri ditargetkan sebesar Rp990,5 triliun dalam APBN-P tahun 2010, terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp743,3 triliun dan PNBP Rp247,2 triliun. Jumlah tersebut berarti 16,9 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya.
Sebagai komponen utama, penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6 persen, sedangkan PNBP tumbuh rata-rata 11,5 persen dalam periode 2005-2009. Beberapa faktor utama yang mendukung meningkatnya penerimaan perpajakan adalah terciptanya kondisi fundamental makroekonomi yang cukup stabil dan pelaksanaan kebijakan modernisasi perpajakan, kepabeanan dan cukai.
Dilihat dari sumbernya, penerimaan perpajakan dapat dikategorikan ke dalam penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Penerimaan pajak dalam negeri terdiri atas penerimaan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), cukai dan pajak lainnya, sedangkan pajak perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan bea keluar. Dalam periode 2005–2009, penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen, sedangkan pajak perdagangan internasional tumbuh rata-rata 5,2 persen.
Selanjutnya, penerimaan perpajakan mampu memberikan kontribusi yang dominan terhadap penerimaan dalam negeri. Dalam tahun 2005, kontribusi penerimaan perpajakan adalah 70,3 persen menjadi 64,3 persen pada tahun 2006, kemudian 69,5 persen pada tahun 2007 menjadi 67,3 persen pada tahun 2008, dan selanjutnya menjadi 73,2 persen pada tahun 2009. Semakin tingginya kontribusi penerimaan perpajakan tersebut menunjukkan bahwa peranan penerimaan perpajakan menjadi sangat strategis sebagai sumber pendanaan pembangunan. Demi mengoptimalkan penerimaan perpajakan, pemerintah telah melakukan langkah-langkah pembaruan serta penyempurnaan administrasi perpajakan (tax policy and administration reform) yang dimulai sejak tahun 2002. langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut dilakukan melalui :
1.Reformasi di bidang administrasi
2.Reformasi di bidang peraturan dan perundang undangan
3.Reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi
Reformasi administrasi perpajakan dilakukan melalui program modernisasi perpajakan yang berlangsung selama periode 2002 hingga 2008. Hasil dari modernisasi perpajakan antara lain terbentuknya 331 kantor pelayanan pajak (KPP) modern. Untuk selanjutnya program reformasi perpajakan jilid II yang bertujuan untuk meningkatkan manajemen sumber daya manusia serta teknologi informasi dan komunikasi. Program utama dari kegiatan ini dikemas dalam Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR), yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, dan melaksanakan good governance melalui peningkatan transparansi dan akuntabilitas Direktorat Jenderal Pajak.
Reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan dilakukan melalui amendemen tiga undang-undang perpajakan, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-undang;
2. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; dan
3. Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, tarif PPh badan mengalami
penurunan dari 28 persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada tahun 2010. Selain itu,
pemberian diskon atas tarif PPh badan 5 persen lebih rendah dari tarif normal tetap diberikan kepada perusahaan-perusahaan masuk bursa yang minimal 40 persen sahamnya dikuasai oleh publik.
Reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi dilakukan melalui pembangunan suatu metode pengawasan dan penggalian potensi penerimaan pajak yang terstruktur, terukur, sistematis, standar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode tersebut dikembangkan sejak awal tahun 2007 mencakup kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan membayar pajak (tax compliance), Pemerintah mencanangkan program sunset policy pada tahun 2008, dan diperpanjang hingga Februari 2009. Program sunset policy ini mengatur tentang penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selain bertujuan meningkatkan tax compliance, program ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi hasil kegiatan penggalian potensi melalui kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking.
Sementara itu, dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara, Pemerintah telah dan akan tetap melanjutkan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, program ekstensifikasi pada tahun 2010 dilakukan melalui tiga pendekatan utama, yaitu:
1. Pendekatan berbasis pemberi kerja dan bendahara Pemerintah dengan sasaran karyawan yang meliputi pemegang saham atau pemilik perusahaan, komisaris, direksi, staf, pekerja serta pegawai negeri sipil dan pejabat Negara.
2. Pendekatan berbasis properti dengan sasaran orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan, dan perumahan.
3. Pendekatan berbasis profesi dengan sasaran dokter, artis, pengacara, notaris, akuntan, dan profesi lainnya.
Sejauh ini kegiatan ekstensifikasi perpajakan dinilai cukup berhasil. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah wajib pajak dari 3,5 juta pada tahun 2005 menjadi 14,1 juta pada April 2010. Sedangkan program intensifikasi atau penggalian potensi perpajakan dari wajib pajak yang telah terdaftar dilaksanakan melalui :
1. Kegiatan mapping dan benchmarking
2. Pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Madya
3. Pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Large Tax Office (LTO) dan Khusus;
4. Pemantapan profil 500 wajib pajak KPP Pratama
5. Pembuatan profil high rise building;
6. Pengawasan intensif dari PPh Pasal 25 retailer
7. Pengawasan intensif wajib pajak orang pribadi potensial.
Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan suatu metode penggalian potensi dan pengawasan penerimaan pajak yang terstruktur, sistematis, terukur, dan saling terkait, yang telah dikembangkan sejak tahun 2007.
Untuk menindaklanjuti program sunset policy, Pemerintah melakukan kegiatan yang menitikberatkan pada law enforcement dan pembinaan kepada wajib pajak. Kegiatan law enforcement dilakukan melalui penagihan, pemeriksaan, dan penyidikan. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dengan membangun komunikasi kepada setiap wajib pajak melalui pendidikan perpajakan (tax education), menjaga hubungan dengan wajib pajak (maintenance), dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Dengan demikian sektor perpajakan diharapkan mampu memberikan kontribusi yang optimal dalam penerimaan dalam negeri, untuk menyokong pembangunan Negara dan Bangsa Indonesia.
Sumber : Nota Keuangan dan RAPBN 2011 Bab III
NPM : 0900070019
Dalam periode 2005–2009, penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4 persen. Beberapa indikator makroekonomi yang berpengaruh pada meningkatnya penerimaan dalam negeri dalam periode tersebut adalah :
1. Tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat, yaitu dari 5,7 persen pada tahun 2005, menjadi 6,0 persen pada tahun 2008, meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2009.
2. Perkembangan ICP yang cenderung meningkat dari USD51,8 per barel pada tahun 2005 hingga mencapai USD96,8 per barel pada tahun 2008, dan USD61,6 per barel pada tahun 2009.
3. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang sempat mengalami depresiasi pada periode tahun 2005–2009. Selain itu, keberhasilan penerapan kebijakan perpajakan dan PNBP juga turut mendorong peningkatan penerimaan dalam negeri.
Memasuki tahun 2010, kondisi perekonomian Indonesia diperkirakan mampu mencapai pertumbuhan 5,8 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2009 yang hanya mencapai 4,5 persen. Berdasarkan perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut, dan juga didukung oleh tingginya perkiraan ICP yang mencapai USD80 per barel, penerimaan dalam negeri ditargetkan sebesar Rp990,5 triliun dalam APBN-P tahun 2010, terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp743,3 triliun dan PNBP Rp247,2 triliun. Jumlah tersebut berarti 16,9 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya.
Sebagai komponen utama, penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6 persen, sedangkan PNBP tumbuh rata-rata 11,5 persen dalam periode 2005-2009. Beberapa faktor utama yang mendukung meningkatnya penerimaan perpajakan adalah terciptanya kondisi fundamental makroekonomi yang cukup stabil dan pelaksanaan kebijakan modernisasi perpajakan, kepabeanan dan cukai.
Dilihat dari sumbernya, penerimaan perpajakan dapat dikategorikan ke dalam penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Penerimaan pajak dalam negeri terdiri atas penerimaan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), cukai dan pajak lainnya, sedangkan pajak perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan bea keluar. Dalam periode 2005–2009, penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen, sedangkan pajak perdagangan internasional tumbuh rata-rata 5,2 persen.
Selanjutnya, penerimaan perpajakan mampu memberikan kontribusi yang dominan terhadap penerimaan dalam negeri. Dalam tahun 2005, kontribusi penerimaan perpajakan adalah 70,3 persen menjadi 64,3 persen pada tahun 2006, kemudian 69,5 persen pada tahun 2007 menjadi 67,3 persen pada tahun 2008, dan selanjutnya menjadi 73,2 persen pada tahun 2009. Semakin tingginya kontribusi penerimaan perpajakan tersebut menunjukkan bahwa peranan penerimaan perpajakan menjadi sangat strategis sebagai sumber pendanaan pembangunan. Demi mengoptimalkan penerimaan perpajakan, pemerintah telah melakukan langkah-langkah pembaruan serta penyempurnaan administrasi perpajakan (tax policy and administration reform) yang dimulai sejak tahun 2002. langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut dilakukan melalui :
1.Reformasi di bidang administrasi
2.Reformasi di bidang peraturan dan perundang undangan
3.Reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi
Reformasi administrasi perpajakan dilakukan melalui program modernisasi perpajakan yang berlangsung selama periode 2002 hingga 2008. Hasil dari modernisasi perpajakan antara lain terbentuknya 331 kantor pelayanan pajak (KPP) modern. Untuk selanjutnya program reformasi perpajakan jilid II yang bertujuan untuk meningkatkan manajemen sumber daya manusia serta teknologi informasi dan komunikasi. Program utama dari kegiatan ini dikemas dalam Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR), yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, dan melaksanakan good governance melalui peningkatan transparansi dan akuntabilitas Direktorat Jenderal Pajak.
Reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan dilakukan melalui amendemen tiga undang-undang perpajakan, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-undang;
2. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; dan
3. Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, tarif PPh badan mengalami
penurunan dari 28 persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada tahun 2010. Selain itu,
pemberian diskon atas tarif PPh badan 5 persen lebih rendah dari tarif normal tetap diberikan kepada perusahaan-perusahaan masuk bursa yang minimal 40 persen sahamnya dikuasai oleh publik.
Reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi dilakukan melalui pembangunan suatu metode pengawasan dan penggalian potensi penerimaan pajak yang terstruktur, terukur, sistematis, standar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode tersebut dikembangkan sejak awal tahun 2007 mencakup kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan membayar pajak (tax compliance), Pemerintah mencanangkan program sunset policy pada tahun 2008, dan diperpanjang hingga Februari 2009. Program sunset policy ini mengatur tentang penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selain bertujuan meningkatkan tax compliance, program ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi hasil kegiatan penggalian potensi melalui kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking.
Sementara itu, dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara, Pemerintah telah dan akan tetap melanjutkan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, program ekstensifikasi pada tahun 2010 dilakukan melalui tiga pendekatan utama, yaitu:
1. Pendekatan berbasis pemberi kerja dan bendahara Pemerintah dengan sasaran karyawan yang meliputi pemegang saham atau pemilik perusahaan, komisaris, direksi, staf, pekerja serta pegawai negeri sipil dan pejabat Negara.
2. Pendekatan berbasis properti dengan sasaran orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan, dan perumahan.
3. Pendekatan berbasis profesi dengan sasaran dokter, artis, pengacara, notaris, akuntan, dan profesi lainnya.
Sejauh ini kegiatan ekstensifikasi perpajakan dinilai cukup berhasil. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah wajib pajak dari 3,5 juta pada tahun 2005 menjadi 14,1 juta pada April 2010. Sedangkan program intensifikasi atau penggalian potensi perpajakan dari wajib pajak yang telah terdaftar dilaksanakan melalui :
1. Kegiatan mapping dan benchmarking
2. Pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Madya
3. Pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Large Tax Office (LTO) dan Khusus;
4. Pemantapan profil 500 wajib pajak KPP Pratama
5. Pembuatan profil high rise building;
6. Pengawasan intensif dari PPh Pasal 25 retailer
7. Pengawasan intensif wajib pajak orang pribadi potensial.
Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan suatu metode penggalian potensi dan pengawasan penerimaan pajak yang terstruktur, sistematis, terukur, dan saling terkait, yang telah dikembangkan sejak tahun 2007.
Untuk menindaklanjuti program sunset policy, Pemerintah melakukan kegiatan yang menitikberatkan pada law enforcement dan pembinaan kepada wajib pajak. Kegiatan law enforcement dilakukan melalui penagihan, pemeriksaan, dan penyidikan. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dengan membangun komunikasi kepada setiap wajib pajak melalui pendidikan perpajakan (tax education), menjaga hubungan dengan wajib pajak (maintenance), dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Dengan demikian sektor perpajakan diharapkan mampu memberikan kontribusi yang optimal dalam penerimaan dalam negeri, untuk menyokong pembangunan Negara dan Bangsa Indonesia.
Sumber : Nota Keuangan dan RAPBN 2011 Bab III
SPT Masa PPh 21 Desember sebagai pengganti SPT Tahunan PPh 21
Oleh: Akhmad Rifqy
Memasuki bulan januari ini, perusahaan-perusahaan dan pemberi kerja lainnya mulai disibukkan untuk membuat bukti potong bagi karyawan/pekerjanya. Sebuah kesibukan yang dalam dua tahun pajak sebelumnya, yaitu untuk tahun pajak 2008 masih bisa dilakukan sampai di bulan maret. Karena SPT Tahunan Pasal PPh 21, atau yang lebih dikenal sebagai SPT Tahunan 1721 dihapuskan dan diakomodir penghitungannya dalam SPT Masa PPh 21. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU KUP No.28 Tahun 2007 pasal 3 (3), diperjelas lebih lanjut dengan SE-04/PJ.014/2008 tentang Bentuk, Ukuran dan Spesifikasi Teknis Pencetakan SPT Tahunan PPh Tahun 2008 Beserta Kelengkapannya, yang (sebagian kutipannya) berbunyi : “Berdasarkan nota dinas Direktur Transformasi Proses Bisnis Nomor : ND-184/PJ.13/2008 tanggal 13 Juni 2008 hal Penyampaian Draft Formulir SPT Tahunan PPh Tahun 2008 beserta Kelengkapannya dimana juga disebutkan bahwa sehubungan dengan tidak adanya kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 (Formulir 1721) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, maka untuk tahun 2008 Formulir SPT 1721 diusulkan untuk tidak dicetak”. Walaupun perubahan ini sudah dimulai di tahun pajak kemarin, tapi pada kenyataannya sampai saat ini masih banyak WP yang masih belum mengetahui penghapusan SPT Tahunan 1721 tersebut dan juga pengaruhnya pada perubahan tatacara pelaporan serta pembayaran SPT PPh 21. Karenanya disini akan saya ulas sedikit mengenai perubahan-perubahan tersebut.
Pertama, yang paling kentara adalah perubahan formulir SPT-nya, sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER - 32/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan bukti pemotongan/pemungutan pajak penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26, pengganti formulir 1721 Tahunan adalah Formulir 1721 untuk masa desember yang terdiri dari SPT induk 1721 dan lampiran daftar bukti potong PPh 21 yaitu lampiran 1721-I.
Selanjutnya, jika penghitungan tahunan untuk PPh 21 dulu dihitung sendiri diluar masa pajak dalam satu tahun melalui formulir spt tahunan, maka mulai tahun pajak 2009 PPh 21 sepenuhnya adalah spt masa sehingga penghitungan tahunannya dialihkan ke masa desember. Sehingga untuk masa desember pemberi kerja sudah diharuskan untuk menghitung jumlah total pendapatan dan pajak yang harus dipotong (pph 21) selama satu tahun untuk pegawai tetapnya. Jumlah total pajak yang harus dibayar inilah yang menjadi jumlah kurang bayar SPT PPh 21 Masa Desember setelah dikurangkan dengan jumlah total pajak pph 21 yang sudah dibayar untuk masa Januari sampai dengan November.
Berikutnya, dengan ditegaskannya PPh 21 sebagai SPT Masa maka semakin memperjelas tidak ada lagi kesempatan bagi pemberi kerja untuk menahan pembayaran PPh 21-nya. Jika sebelumnya pembayaran PPh 21 sering ditahan sampai akhir tahun dengan cara melaporkan nihil spt masanya kemudian baru menghitung kekurangan PPh 21-nya di akhir tahun, sekarang diperjelas bahwa PPh 21 harus dipotong dan dibayar pajaknya sesuai dengan waktu pembayaran gaji/upah kepada pegawai.
Dan terakhir, sesuai sifatnya yang termasuk spt masa, kekurangan bayar atas PPh 21 setahun sudah harus disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Yaitu tanggal 10 januari tahun berikutnya, tidak lagi tanggal 25 maret. Sedangkan untuk pelaporannya paling lambat tanggal 20 januari.
Memasuki bulan januari ini, perusahaan-perusahaan dan pemberi kerja lainnya mulai disibukkan untuk membuat bukti potong bagi karyawan/pekerjanya. Sebuah kesibukan yang dalam dua tahun pajak sebelumnya, yaitu untuk tahun pajak 2008 masih bisa dilakukan sampai di bulan maret. Karena SPT Tahunan Pasal PPh 21, atau yang lebih dikenal sebagai SPT Tahunan 1721 dihapuskan dan diakomodir penghitungannya dalam SPT Masa PPh 21. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU KUP No.28 Tahun 2007 pasal 3 (3), diperjelas lebih lanjut dengan SE-04/PJ.014/2008 tentang Bentuk, Ukuran dan Spesifikasi Teknis Pencetakan SPT Tahunan PPh Tahun 2008 Beserta Kelengkapannya, yang (sebagian kutipannya) berbunyi : “Berdasarkan nota dinas Direktur Transformasi Proses Bisnis Nomor : ND-184/PJ.13/2008 tanggal 13 Juni 2008 hal Penyampaian Draft Formulir SPT Tahunan PPh Tahun 2008 beserta Kelengkapannya dimana juga disebutkan bahwa sehubungan dengan tidak adanya kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 (Formulir 1721) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, maka untuk tahun 2008 Formulir SPT 1721 diusulkan untuk tidak dicetak”. Walaupun perubahan ini sudah dimulai di tahun pajak kemarin, tapi pada kenyataannya sampai saat ini masih banyak WP yang masih belum mengetahui penghapusan SPT Tahunan 1721 tersebut dan juga pengaruhnya pada perubahan tatacara pelaporan serta pembayaran SPT PPh 21. Karenanya disini akan saya ulas sedikit mengenai perubahan-perubahan tersebut.
Pertama, yang paling kentara adalah perubahan formulir SPT-nya, sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER - 32/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan bukti pemotongan/pemungutan pajak penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26, pengganti formulir 1721 Tahunan adalah Formulir 1721 untuk masa desember yang terdiri dari SPT induk 1721 dan lampiran daftar bukti potong PPh 21 yaitu lampiran 1721-I.
Selanjutnya, jika penghitungan tahunan untuk PPh 21 dulu dihitung sendiri diluar masa pajak dalam satu tahun melalui formulir spt tahunan, maka mulai tahun pajak 2009 PPh 21 sepenuhnya adalah spt masa sehingga penghitungan tahunannya dialihkan ke masa desember. Sehingga untuk masa desember pemberi kerja sudah diharuskan untuk menghitung jumlah total pendapatan dan pajak yang harus dipotong (pph 21) selama satu tahun untuk pegawai tetapnya. Jumlah total pajak yang harus dibayar inilah yang menjadi jumlah kurang bayar SPT PPh 21 Masa Desember setelah dikurangkan dengan jumlah total pajak pph 21 yang sudah dibayar untuk masa Januari sampai dengan November.
Berikutnya, dengan ditegaskannya PPh 21 sebagai SPT Masa maka semakin memperjelas tidak ada lagi kesempatan bagi pemberi kerja untuk menahan pembayaran PPh 21-nya. Jika sebelumnya pembayaran PPh 21 sering ditahan sampai akhir tahun dengan cara melaporkan nihil spt masanya kemudian baru menghitung kekurangan PPh 21-nya di akhir tahun, sekarang diperjelas bahwa PPh 21 harus dipotong dan dibayar pajaknya sesuai dengan waktu pembayaran gaji/upah kepada pegawai.
Dan terakhir, sesuai sifatnya yang termasuk spt masa, kekurangan bayar atas PPh 21 setahun sudah harus disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Yaitu tanggal 10 januari tahun berikutnya, tidak lagi tanggal 25 maret. Sedangkan untuk pelaporannya paling lambat tanggal 20 januari.
Penerimaan dan Pengolahan SPT Masa PPN 1111 dan 1111 DM
Sehubungan dengan adanya perubahan dan penyempurnaan SPT Masa PPN menjadi SPT Masa PPN 1111 dan SPT Masa PPn 1111 DM, maka Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 44/PJ/2010 mengenai Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) tanggal 06 Oktober 2010 yang ditegaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 98/PJ/2010 tentang Penyampaian Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 44/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) tanggal 06 Oktober 2010. Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan diberlakukan untuk pengisian dan pelaporan SPT Masa PPN mulai Masa Pajak Januari 2011.
Pada awal bulan Januari 2011 tepatnya tanggal 11 Januari 2011, Direktur jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 2/PJ/2011 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN). Dalam peraturan tersebut, ditegaskan mengenai SPT Masa PPN 1111 dan 1111 DM sebagai berikut :
Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disebut dengan SPT adalah:
a. Bagi PKP yang melaporkan tidak lebih dari 25 (dua puluh lima) dokumen (Faktur Pajak/dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan) pada setiap Lampiran SPT dalam 1 (satu) Masa Pajak adalah SPT Masa PPN dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk data elektronik
b. Bagi PKP yang melaporkan lebih dari 25 (dua puluh lima) dokumen (Faktur Pajak/dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan) pada salah satu Lampiran SPT dalam 1 (satu) Masa Pajak adalah SPT Masa PPN dalam bentuk data elektronik;
c. Bagi Pemungut PPN adalah SPT Masa PPN dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk data elektronik.
Lampiran SPT:
a. Bagi PKP yang tidak menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan adalah Formulir 1111 AB, Formulir 1111 A1, Formulir 1111 A2, Formulir 1111 B1, Formulir 1111 B2, dan Formulir 1111 B3;
b. Bagi PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan adalah Formulir 1111 A DM dan Formulir 1111 R DM;
c. Bagi Pemungut PPN adalah Lampiran 1 SPT dan Lampiran 2 SPT.
SPT dianggap lengkap adalah SPT yang semua elemen SPT Induk dan semua Lampiran yang dipersyaratkan telah diisi dan disampaikan dengan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya.
e-SPT adalah aplikasi pengisian SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Data elektronik adalah data SPT Masa PPN yang dihasilkan dari e-SPT.
Media elektronik adalah sarana penyimpanan data elektronik yang dapat digunakan untuk memindahkan data dari suatu komputer ke komputer lainnya, antara lain flash disk dan Compact Disc (CD).
Penyedia Jasa Aplikasi (Application Service Provider) yang selanjutnya disebut dengan ASP adalah perusahaan yang telah ditunjuk dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagai perusahaan yang dapat menyalurkan penyampaian SPT Masa PPN secara elektronik ke Direktorat Jenderal Pajak.
e-Filing adalah suatu cara penyampaian SPT yang dilakukan secara on-line yang real time melalui laman Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau ASP.
Tanda Terima SPT adalah Bukti Penerimaan Surat yang selanjutnya disebut dengan BPS, yang dihasilkan dari menu penerimaan SPT untuk disampaikan kepada PKP atau Pemungut PPN.
PKP atau Pemungut PPN menyampaikan SPT dengan kelengkapan sebagai berikut:
a. Bagi PKP yang tidak menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan, SPT terdiri dari:
1) Induk SPT Masa PPN 1111 - Formulir 1111 (F.1.2.32.04);
2) Formulir 1111 AB - Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan (D.1.2.32.07);
3) Formulir 1111 A1 - Daftar Ekspor BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP (D.1.2.32.08);
4) Formulir 1111 A2 - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak (D.1.2.32.09);
5) Formulir 1111 B1 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor BKP dan Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pabean (D.1.2.32.10);
6) Formulir 1111 B2 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP Dalam Negeri (D.1.2.32.11)
7) Formulir 1111 B3 - Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas (D.1.2.32.12)
b. Bagi PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan, SPT terdiri dari:
1) Induk SPT Masa PPN 1111 DM - Formulir 1111 DM (F.1.2.32.05);
2) Formulir 1111 A DM - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak (D.1.2.32.13); dan
3) Formulir 1111 R DM - Daftar Pengembalian BKP dan Pembatalan JKP oleh PKP yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan (D.1.2.32.14).
c. Bagi Pemungut PPN, SPT terdiri dari:
1) Induk SPT - Formulir 1107 PUT (F.1.2.32.02);
2) Lampiran 1 Daftar PPN dan PPnBM Yang Dipungut Oleh Bendaharawan Pemerintah - Formulir 1107 PUT 1 (D.1.2.32.03); dan
3) Lampiran 2 Daftar PPN dan PPnBM Yang Dipungut Oleh Selain Bendaharawan Pemerintah - Formulir 1107 PUT 2 (D.1.2.32.04).
(2) SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. huruf a atau huruf b wajib diisi oleh setiap PKP;
b. huruf c wajib diisi oleh setiap Pemungut PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3) SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan lampiran-lampiran lainnya yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
SPT dapat berbentuk:
a. formulir kertas (hard copy)
b. data elektronik, yang disampaikan :
1) dalam media elektronik
2) melalui e-Filing
SPT dapat disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN dengan cara manual, yaitu:
a. disampaikan langsung ke KPP atau KP2KP atau
b. disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir, dengan bukti pengiriman surat, ke KPP atau KP2KP.
Dalam hal SPT disampaikan dalam bentuk media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1), PKP atau Pemungut PPN harus menggunakan e-SPT dan Induk SPT tetap disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy).
Penyampaian SPT dengan cara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penyampaian SPT yang Induk SPT-nya disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy), sedangkan Lampiran SPT dapat disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk media elektronik.
SPT dianggap tidak lengkap apabila:
1. Nama dan/atau NPWP tidak dicantumkan dalam SPT;
2. Elemen-elemen Induk SPT dan Lampiran SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak atau kurang lengkap diisi;
3. Induk SPT tidak ditandatangani oleh PKP atau Pemungut PPN;
4. Induk SPT ditandatangani oleh Kuasa PKP atau Kuasa Pemungut PPN, tetapi tidak dilampiri Surat Kuasa Khusus;
5. SPT Kurang Bayar tetapi tidak dilampiri Surat Setoran Pajak/bukti Pbk;
6. SPT yang Lampiran SPT dan lampiran-lampiran lainnya yang dipersyaratkan tidak disampaikan, kecuali tidak ada data yang dilaporkan dalam Lampiran SPT tersebut;
7. SPT disampaikan dalam bentuk kertas (hardcopy) oleh PKP yang wajib menyampaikan SPT dalam bentuk media elektronik (e-SPT) sesuai peraturan perundangan-undangan perpajakan.
8. Dalam hal SPT disampaikan dalam bentuk media elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 1) berdasarkan pengujian data, diketahui:
a. induk SPT hasil cetakan yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tanpa disertai Lampiran SPT dalam bentuk media elektronik;
b. induk SPT hasil cetakan yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tidak sesuai dengan Induk SPT yang ada dalam bentuk media elektronik;
c. elemen-elemen data elektronik dalam bentuk media elektronik yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tidak diisi atau diisi tidak lengkap;
d. data elektronik dalam bentuk media elektronik yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tidak dapat diproses pada sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.
Terhadap SPT Lengkap yang disampaikan secara langsung diberikan tanda bukti penerimaan SPT setelah dilakukan proses penelitian dan/atau pengujian data. Terhadap SPT yang disampaikan secara tidak langsung melalui pos/perusahaan jasa ekspedisi/jasa kurir dengan tanda bukti pengiriman surat, tanda bukti pengiriman surat dianggap sebagai tanda bukti penerimaan SPT dan tanggal penerimaan SPT.
Dalam hal pengujian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 8 belum dapat dilakukan karena sarana komputer tidak berfungsi atau tempat penerimaan SPT belum dilengkapi dengan sarana pengujian data (SPT loader), terhadap SPT tersebut yang disampaikan secara langsung oleh PKP atau Pemungut PPN diberikan tanda bukti penerimaan SPT.
Tanda bukti penerimaan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dianggap sah, apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal tanda bukti penerimaan SPT, KPP atau KP2KP tidak menerbitkan Surat Penolakan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
KPP atau KP2KP yang bersangkutan wajib menolak:
a. SPT Tidak Lengkap yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN dengan cara manual
b. SPT yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tetapi tidak sesuai dengan SPT
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku maka Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-160/PJ/2006 tentang tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) tetap berlaku, sepanjang digunakan untuk pelaporan SPT Masa PPN sampai dengan Masa Pajak Desember 2010.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan diberlakukan untuk penerimaan dan pengolahan SPT Masa PPN mulai Masa Pajak Januari 2011.
Oleh : Yessica Lasmarito Aritonang
NPM : 0900070004
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) tanggal 06 Oktober 2010 yang ditegaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 98/PJ/2010 tentang Penyampaian Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 44/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) tanggal 06 Oktober 2010. Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan diberlakukan untuk pengisian dan pelaporan SPT Masa PPN mulai Masa Pajak Januari 2011.
Pada awal bulan Januari 2011 tepatnya tanggal 11 Januari 2011, Direktur jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 2/PJ/2011 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN). Dalam peraturan tersebut, ditegaskan mengenai SPT Masa PPN 1111 dan 1111 DM sebagai berikut :
Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disebut dengan SPT adalah:
a. Bagi PKP yang melaporkan tidak lebih dari 25 (dua puluh lima) dokumen (Faktur Pajak/dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan) pada setiap Lampiran SPT dalam 1 (satu) Masa Pajak adalah SPT Masa PPN dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk data elektronik
b. Bagi PKP yang melaporkan lebih dari 25 (dua puluh lima) dokumen (Faktur Pajak/dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan) pada salah satu Lampiran SPT dalam 1 (satu) Masa Pajak adalah SPT Masa PPN dalam bentuk data elektronik;
c. Bagi Pemungut PPN adalah SPT Masa PPN dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk data elektronik.
Lampiran SPT:
a. Bagi PKP yang tidak menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan adalah Formulir 1111 AB, Formulir 1111 A1, Formulir 1111 A2, Formulir 1111 B1, Formulir 1111 B2, dan Formulir 1111 B3;
b. Bagi PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan adalah Formulir 1111 A DM dan Formulir 1111 R DM;
c. Bagi Pemungut PPN adalah Lampiran 1 SPT dan Lampiran 2 SPT.
SPT dianggap lengkap adalah SPT yang semua elemen SPT Induk dan semua Lampiran yang dipersyaratkan telah diisi dan disampaikan dengan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya.
e-SPT adalah aplikasi pengisian SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Data elektronik adalah data SPT Masa PPN yang dihasilkan dari e-SPT.
Media elektronik adalah sarana penyimpanan data elektronik yang dapat digunakan untuk memindahkan data dari suatu komputer ke komputer lainnya, antara lain flash disk dan Compact Disc (CD).
Penyedia Jasa Aplikasi (Application Service Provider) yang selanjutnya disebut dengan ASP adalah perusahaan yang telah ditunjuk dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagai perusahaan yang dapat menyalurkan penyampaian SPT Masa PPN secara elektronik ke Direktorat Jenderal Pajak.
e-Filing adalah suatu cara penyampaian SPT yang dilakukan secara on-line yang real time melalui laman Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau ASP.
Tanda Terima SPT adalah Bukti Penerimaan Surat yang selanjutnya disebut dengan BPS, yang dihasilkan dari menu penerimaan SPT untuk disampaikan kepada PKP atau Pemungut PPN.
PKP atau Pemungut PPN menyampaikan SPT dengan kelengkapan sebagai berikut:
a. Bagi PKP yang tidak menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan, SPT terdiri dari:
1) Induk SPT Masa PPN 1111 - Formulir 1111 (F.1.2.32.04);
2) Formulir 1111 AB - Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan (D.1.2.32.07);
3) Formulir 1111 A1 - Daftar Ekspor BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP (D.1.2.32.08);
4) Formulir 1111 A2 - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak (D.1.2.32.09);
5) Formulir 1111 B1 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor BKP dan Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pabean (D.1.2.32.10);
6) Formulir 1111 B2 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP Dalam Negeri (D.1.2.32.11)
7) Formulir 1111 B3 - Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas (D.1.2.32.12)
b. Bagi PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan, SPT terdiri dari:
1) Induk SPT Masa PPN 1111 DM - Formulir 1111 DM (F.1.2.32.05);
2) Formulir 1111 A DM - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak (D.1.2.32.13); dan
3) Formulir 1111 R DM - Daftar Pengembalian BKP dan Pembatalan JKP oleh PKP yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan (D.1.2.32.14).
c. Bagi Pemungut PPN, SPT terdiri dari:
1) Induk SPT - Formulir 1107 PUT (F.1.2.32.02);
2) Lampiran 1 Daftar PPN dan PPnBM Yang Dipungut Oleh Bendaharawan Pemerintah - Formulir 1107 PUT 1 (D.1.2.32.03); dan
3) Lampiran 2 Daftar PPN dan PPnBM Yang Dipungut Oleh Selain Bendaharawan Pemerintah - Formulir 1107 PUT 2 (D.1.2.32.04).
(2) SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. huruf a atau huruf b wajib diisi oleh setiap PKP;
b. huruf c wajib diisi oleh setiap Pemungut PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3) SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan lampiran-lampiran lainnya yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
SPT dapat berbentuk:
a. formulir kertas (hard copy)
b. data elektronik, yang disampaikan :
1) dalam media elektronik
2) melalui e-Filing
SPT dapat disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN dengan cara manual, yaitu:
a. disampaikan langsung ke KPP atau KP2KP atau
b. disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir, dengan bukti pengiriman surat, ke KPP atau KP2KP.
Dalam hal SPT disampaikan dalam bentuk media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1), PKP atau Pemungut PPN harus menggunakan e-SPT dan Induk SPT tetap disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy).
Penyampaian SPT dengan cara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penyampaian SPT yang Induk SPT-nya disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy), sedangkan Lampiran SPT dapat disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk media elektronik.
SPT dianggap tidak lengkap apabila:
1. Nama dan/atau NPWP tidak dicantumkan dalam SPT;
2. Elemen-elemen Induk SPT dan Lampiran SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak atau kurang lengkap diisi;
3. Induk SPT tidak ditandatangani oleh PKP atau Pemungut PPN;
4. Induk SPT ditandatangani oleh Kuasa PKP atau Kuasa Pemungut PPN, tetapi tidak dilampiri Surat Kuasa Khusus;
5. SPT Kurang Bayar tetapi tidak dilampiri Surat Setoran Pajak/bukti Pbk;
6. SPT yang Lampiran SPT dan lampiran-lampiran lainnya yang dipersyaratkan tidak disampaikan, kecuali tidak ada data yang dilaporkan dalam Lampiran SPT tersebut;
7. SPT disampaikan dalam bentuk kertas (hardcopy) oleh PKP yang wajib menyampaikan SPT dalam bentuk media elektronik (e-SPT) sesuai peraturan perundangan-undangan perpajakan.
8. Dalam hal SPT disampaikan dalam bentuk media elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 1) berdasarkan pengujian data, diketahui:
a. induk SPT hasil cetakan yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tanpa disertai Lampiran SPT dalam bentuk media elektronik;
b. induk SPT hasil cetakan yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tidak sesuai dengan Induk SPT yang ada dalam bentuk media elektronik;
c. elemen-elemen data elektronik dalam bentuk media elektronik yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tidak diisi atau diisi tidak lengkap;
d. data elektronik dalam bentuk media elektronik yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tidak dapat diproses pada sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.
Terhadap SPT Lengkap yang disampaikan secara langsung diberikan tanda bukti penerimaan SPT setelah dilakukan proses penelitian dan/atau pengujian data. Terhadap SPT yang disampaikan secara tidak langsung melalui pos/perusahaan jasa ekspedisi/jasa kurir dengan tanda bukti pengiriman surat, tanda bukti pengiriman surat dianggap sebagai tanda bukti penerimaan SPT dan tanggal penerimaan SPT.
Dalam hal pengujian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 8 belum dapat dilakukan karena sarana komputer tidak berfungsi atau tempat penerimaan SPT belum dilengkapi dengan sarana pengujian data (SPT loader), terhadap SPT tersebut yang disampaikan secara langsung oleh PKP atau Pemungut PPN diberikan tanda bukti penerimaan SPT.
Tanda bukti penerimaan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dianggap sah, apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal tanda bukti penerimaan SPT, KPP atau KP2KP tidak menerbitkan Surat Penolakan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
KPP atau KP2KP yang bersangkutan wajib menolak:
a. SPT Tidak Lengkap yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN dengan cara manual
b. SPT yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tetapi tidak sesuai dengan SPT
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku maka Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-160/PJ/2006 tentang tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) tetap berlaku, sepanjang digunakan untuk pelaporan SPT Masa PPN sampai dengan Masa Pajak Desember 2010.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan diberlakukan untuk penerimaan dan pengolahan SPT Masa PPN mulai Masa Pajak Januari 2011.
Oleh : Yessica Lasmarito Aritonang
NPM : 0900070004
Pajak Dan Zakat
Pajak dan zakat merupakan dua istilah yang berbeda dari segi sumber atau dasar
pemungutannya, namun sama dalam hal sifatnya sebagai upaya mengambil atau memungut
kekayaan dari masyarakat untuk kepentingan sosial, zakat untuk kepentingan yang diatur
agama atau Allah SWT sedangkan Pajak digunakan untuk kepentingan yang diatur Negara
melalui proses demokrasi yang sah. Istilah pajak lahir dari konsep negara sedangkan zakat
lahir dari konsep Islam. Perbedaan penerapan kedua pungutan ini menjadi problematik ketika
dalam hal tertentu terdapat persamaan, yaitu keduanya mempunyai kedudukan sama-sama
wajib ditunaikan oleh masyarakat. Pajak dipaksa hukum Negara, Zakat dipaksa hukum Tuhan
dan bisa juga dikuatkan dengan hukuman Negara jika dilegislasi (UU atau Perda).
Muncul pertanyaan Apakah kedudukan pajak itu sama dengan zakat? Atau apa perbedaan
keduanya? Atau bagaimanakah seorang warga negara muslim dalam menyikapinya kedua
pungutan ini. Tulisan ini mencoba melihat perbedaan keduanya.
Zakat memiliki banyak arti dan hikmah sebagaimana dijelaskan sbb Kesatu Zakat adalah
ibadah menyangkut kekayaan yang mempunyaifungsi sosial dan ekonomi.
Zakat merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusian dan keadilan,
pengikat bathin antara golongan kaya dengan yang miskin dan sebagai penimbun jurang kaya
miskin. Kedua Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki daridiri orang-orang miskin
di sekitar mereka yang mewah. Ketiga Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan
Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip persatuan, Persamaan Derajat, dan Tanggungjawab
bersama. fempat Dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, memurnikanjiwa
(menumbuhkan akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan
mengikis sifat bakhi/sta serakah.
Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan bathin karena terbebas dari tuntutan Allah SWT.
Sesuai ketentuan Islam, mereka yang berhak mendapatkan zakat hanya tujuh yaitu (1) Fakir,
(2) Miskin, (3) Orang kafir yang tertarik dengan Islam, (4) Mereka yang sedang dalam
perjalanan, (5) orang yang berjuang fisabilillah, (6) Mereka yang sedang dililit utang, (7) Amil
atau pengurus Zakat.
Pengeluaran untuk diluar kelompok ini sebaiknya tidak menggunakan zakat tetapi bisa
menggunakan sumberdana lain seperti infaq, shadaqah atau wakaf.
Pajak adalah menyangkut kewajiban warga negara terhadap negara yang menjadi institusi
publik yang diuentuk dan diberi wewenang untuk mengelola kepentingan negara atau
kepentingan publik. Pemungutan pajak harus mendapatkan persetujuan rakyat melalui UU yang
harus disetujui parlemen atau DPR. Setiap pungutan pajak yang tidak didasarkan UU maka
batal demi hukum dan rakyat tidak wajibmematuhinya.Tetapi untuk pajakyang ditetapkan UU
maka pemerintah atau negara memiliki hak paksa untuk menagihnya melalui apa rat negara
yang berwenang. Pajak khususnya di negara sekuler tidak didasarkan pada kewajiban kepada
Tuhan Penggunaan pajak tidak hanya terbatas kepada kepentingan golongan tertentu seperti
Zakat hanya untuk 7 kelompok yang mustahik sedangkan Pajak dapat digunakan untuk semua
1 / 2
Pajak Dan Zakat
kebutuhan dalam kartan dengan pengelolaan keuangan negara, termasuk yang tidak sesuai
dengan tuntunan agama asal mendapat persetujuan DPR.
Pajak dan Zakat
Tidak seperti pengeluaran berupa hibah, pemberian bantuan, sumbangan dan warisan, khusus
zakat atas penghasilan di Indonesia sesuai UU No. 36 tahun 2008 {BNNo. 7723hal. 15B-26B
dst) sudah boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak atau bisa dianggap sebagai biaya.
Tetapi harus ada syaratnya. Zakat atas penghasilan yang dapat dikurangkan (dianggap sebagai
biaya) tersebut harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama
Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemelukagama Islam kepada
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang secara resmi sudah diakui, diakreditasi
pemerintah dalam hal ini Departemen Agama. Dalam UU Nomor 36 Tahun 2008, Pasal 4 ayat
(3) huruf a dan huruf b dijelaskan bahwa zakat dapat dikurangkan dari penghasilan yaitu
"zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk
agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama
Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah".
Besarnya zakat yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak adalah sebesar 2,5%
(dua setengah persen) dari jumlah penghasilan. Pemotongan zakatnya adalah sebelum
penghasilan dihitung dengan tarif progressif. Atau dengan kata lain, zakat dikenakan pada
penghasilan bruto.
Apakah zakat bisa menjadi bukan sekedar diakui sebagai biaya tetapi menjadi bagian dari
pembayaran pajak masih merupakan tuntutan dari ummat Islam. Dengan keluarnya UU No 38
pengelolaan zakat tahun 1999 (BNNo. 6408 hal. 11B-143) dan UU Pajak Penghasilan ini maka
jalan menuju pengakuan itu semakin melebar. Menurut pengalaman di Malaysia, dengan
perlakuan zakat sebagai bagian dari setoran pajak ternyata jumlah penerimaan pajak
meningkat dan penerimaan zakat juga. Fakta ini merupakan bukti bahwa ketentuan agama
Islam itu adalah rahmatan lil alamiin, yang kadang tidak mengikuti rasionalitas manusia yang
terbatas. Menurut pemikiran rasional dengan diakuinya zakat sebagai pajak maka penerimaan
pajak akan semakin sedikit dan zakat semakin besar. Jika ini terjadi maka negara akan
bangkrut dan negara Islam akan lahir. Suatu hasil angan angan yang tidak memercayai
kebesaran dan kekayaan Tuhan atau ketakutan kepada Islam yang sesungguhnya damai itu.
(SH)
Sumber : Bussiness News
2 / 2
pemungutannya, namun sama dalam hal sifatnya sebagai upaya mengambil atau memungut
kekayaan dari masyarakat untuk kepentingan sosial, zakat untuk kepentingan yang diatur
agama atau Allah SWT sedangkan Pajak digunakan untuk kepentingan yang diatur Negara
melalui proses demokrasi yang sah. Istilah pajak lahir dari konsep negara sedangkan zakat
lahir dari konsep Islam. Perbedaan penerapan kedua pungutan ini menjadi problematik ketika
dalam hal tertentu terdapat persamaan, yaitu keduanya mempunyai kedudukan sama-sama
wajib ditunaikan oleh masyarakat. Pajak dipaksa hukum Negara, Zakat dipaksa hukum Tuhan
dan bisa juga dikuatkan dengan hukuman Negara jika dilegislasi (UU atau Perda).
Muncul pertanyaan Apakah kedudukan pajak itu sama dengan zakat? Atau apa perbedaan
keduanya? Atau bagaimanakah seorang warga negara muslim dalam menyikapinya kedua
pungutan ini. Tulisan ini mencoba melihat perbedaan keduanya.
Zakat memiliki banyak arti dan hikmah sebagaimana dijelaskan sbb Kesatu Zakat adalah
ibadah menyangkut kekayaan yang mempunyaifungsi sosial dan ekonomi.
Zakat merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusian dan keadilan,
pengikat bathin antara golongan kaya dengan yang miskin dan sebagai penimbun jurang kaya
miskin. Kedua Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki daridiri orang-orang miskin
di sekitar mereka yang mewah. Ketiga Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan
Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip persatuan, Persamaan Derajat, dan Tanggungjawab
bersama. fempat Dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, memurnikanjiwa
(menumbuhkan akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan
mengikis sifat bakhi/sta serakah.
Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan bathin karena terbebas dari tuntutan Allah SWT.
Sesuai ketentuan Islam, mereka yang berhak mendapatkan zakat hanya tujuh yaitu (1) Fakir,
(2) Miskin, (3) Orang kafir yang tertarik dengan Islam, (4) Mereka yang sedang dalam
perjalanan, (5) orang yang berjuang fisabilillah, (6) Mereka yang sedang dililit utang, (7) Amil
atau pengurus Zakat.
Pengeluaran untuk diluar kelompok ini sebaiknya tidak menggunakan zakat tetapi bisa
menggunakan sumberdana lain seperti infaq, shadaqah atau wakaf.
Pajak adalah menyangkut kewajiban warga negara terhadap negara yang menjadi institusi
publik yang diuentuk dan diberi wewenang untuk mengelola kepentingan negara atau
kepentingan publik. Pemungutan pajak harus mendapatkan persetujuan rakyat melalui UU yang
harus disetujui parlemen atau DPR. Setiap pungutan pajak yang tidak didasarkan UU maka
batal demi hukum dan rakyat tidak wajibmematuhinya.Tetapi untuk pajakyang ditetapkan UU
maka pemerintah atau negara memiliki hak paksa untuk menagihnya melalui apa rat negara
yang berwenang. Pajak khususnya di negara sekuler tidak didasarkan pada kewajiban kepada
Tuhan Penggunaan pajak tidak hanya terbatas kepada kepentingan golongan tertentu seperti
Zakat hanya untuk 7 kelompok yang mustahik sedangkan Pajak dapat digunakan untuk semua
1 / 2
Pajak Dan Zakat
kebutuhan dalam kartan dengan pengelolaan keuangan negara, termasuk yang tidak sesuai
dengan tuntunan agama asal mendapat persetujuan DPR.
Pajak dan Zakat
Tidak seperti pengeluaran berupa hibah, pemberian bantuan, sumbangan dan warisan, khusus
zakat atas penghasilan di Indonesia sesuai UU No. 36 tahun 2008 {BNNo. 7723hal. 15B-26B
dst) sudah boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak atau bisa dianggap sebagai biaya.
Tetapi harus ada syaratnya. Zakat atas penghasilan yang dapat dikurangkan (dianggap sebagai
biaya) tersebut harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama
Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemelukagama Islam kepada
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang secara resmi sudah diakui, diakreditasi
pemerintah dalam hal ini Departemen Agama. Dalam UU Nomor 36 Tahun 2008, Pasal 4 ayat
(3) huruf a dan huruf b dijelaskan bahwa zakat dapat dikurangkan dari penghasilan yaitu
"zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk
agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama
Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah".
Besarnya zakat yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak adalah sebesar 2,5%
(dua setengah persen) dari jumlah penghasilan. Pemotongan zakatnya adalah sebelum
penghasilan dihitung dengan tarif progressif. Atau dengan kata lain, zakat dikenakan pada
penghasilan bruto.
Apakah zakat bisa menjadi bukan sekedar diakui sebagai biaya tetapi menjadi bagian dari
pembayaran pajak masih merupakan tuntutan dari ummat Islam. Dengan keluarnya UU No 38
pengelolaan zakat tahun 1999 (BNNo. 6408 hal. 11B-143) dan UU Pajak Penghasilan ini maka
jalan menuju pengakuan itu semakin melebar. Menurut pengalaman di Malaysia, dengan
perlakuan zakat sebagai bagian dari setoran pajak ternyata jumlah penerimaan pajak
meningkat dan penerimaan zakat juga. Fakta ini merupakan bukti bahwa ketentuan agama
Islam itu adalah rahmatan lil alamiin, yang kadang tidak mengikuti rasionalitas manusia yang
terbatas. Menurut pemikiran rasional dengan diakuinya zakat sebagai pajak maka penerimaan
pajak akan semakin sedikit dan zakat semakin besar. Jika ini terjadi maka negara akan
bangkrut dan negara Islam akan lahir. Suatu hasil angan angan yang tidak memercayai
kebesaran dan kekayaan Tuhan atau ketakutan kepada Islam yang sesungguhnya damai itu.
(SH)
Sumber : Bussiness News
2 / 2
Langganan:
Postingan (Atom)