Selasa, 25 Januari 2011

Penghindaran Pajak vs Penggelapan pajak

Nama : Herwin Wesly Edson
NPM : 0900070034


catatan :
Artikel ringan ini semula ditulis untuk keperluan internal kantor salah satu kolega saya untuk menjelaskan kenapa sih bagian finance, acctg, pajak itu ribet banget mensyaratkan berbagai dokumen dalam setiap pengeluaran biaya promosi, marketing, entertainment dan sejenisnya. Masalah administratif bikin repot aja.. heheheh. Di setiap perusahaan pasti sering terjadi gap komunikasi antar departemen. misalnya marketing vs finance, marketing vs tax, finance vs tax, HR vs marketing dst karena benturan berbagai kepentingan dan sudut pandang. Diposting di blog dengan sedikit editing dan menghilangkan bagian penutup.
Penghindaran Pajak vs Penggelapan pajak
Pengantar
Konon, di dunia ini tidak ada sesuatu yang pasti selain pajak dan kematian. Kita hidup pasti membayar pajak dan juga pasti mati. Nyaris tidak ada tempat di dunia ini yang bebas dari pajak, kecuali kita tinggal di daerah terpencil dan tidak berhubungan dengan dunia luar sama sekali. Sejak bayi lahir ke dunia ini, mulai menggunakan berbagai barang kebutuhan hidup sehari-hari (pakaian, susu, makanan dll) semua terkena pajak. Pada saat orang tua membelanjakan uangnya untuk keperluan calon buah hati tercinta, saat itu pula kita sudah membayar pajak.
Bagi perusahaan, negara adalah “pemegang saham utama” dengan porsi sebesar 30% (tarif pajak yang berlaku). Sebelum laba dibagikan kepada para pemegang saham/owner, perusahaan terlebih dahulu diwajibkan untuk membayar 30% ke kas negara sebagai kewajiban pajak.
Bagi karyawan, demikian pula. Sebelum gaji dibayarkan kepada karyawan, sebelum kita bisa membelanjakan gaji yang kita peroleh, pada dasarnya pajak yang terutang (PPh 21) sudah harus dipotong dan disetorkan ke negara.
Pajak adalah beban bagi perusahaan
Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.
Mengingat pajak adalah beban –yang akan mengurangi laba bersih perusahaan- maka perusahaan akan berupaya semaksimal mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak harus dilakukan dengan cara-cara yang legal agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari.
Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus penggelapan pajak :
Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya.
Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;
Transaksi export fiktif,
Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan
Jika kita analogikan pajak dengan karcis tol, Jika kita lewat jalan tol namun tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Sedangkan jika kita menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa, maka itulah penghindaran pajak. Menghindari membayar tol (pajak) dengan cara tidak lewat jalan tol adalah cara yang legal.
Bagaimana cara menghindari Pajak
Seperti halnya dengan menghindari jalan tol (memilih jalan biasa) agar terhindar dari kewajiban membayar karcis tol, cara yang paling mudah dan legal untuk menghindari pajak adalah dengan cara menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, misalnya dengan tidak memperoleh penghasilan. Namun tentu saja pilihan ini tidak mungkin untuk dipilih. Tentu kita tidak mau khan hanya demi menghindari pembayaran pajak, lantas kita tidak mau memperoleh penghasilan?
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah –loophole- yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.
Selain menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, langkah-langkah penghematan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain :
Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak terendah
Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan,
Memilih berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak terendah.
Memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar
Bagaimana pajak perusahaan dihitung
Pada dasarnya kewajiban pajak perusahaan dihitung berdasarkan laba bersih yang diperoleh selama satu periode (satu tahun pajak). Laba bersih perusahaan dihitung berdasarkan laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan.
sebagai gambaran, laporan laba rugi yang disusun oleh perusahaan :
Uraian
Jumlah (Rp)
Penjualan
10.000.000
Harga Pokok Penjualan
6.000.000
Laba Bruto
4.000.000
Biaya Operasional :

- Biaya Pemasaran (Promosi, sponsorship dll)
1.000.000
- Biaya Gaji karyawan
900.000
- Biaya Operasional lainnya
1.500.000
Sub total Biaya Operasional
3.400.000


Laba Bersih
600.000
PPh terutang – 30%
180.000
Laba Bersih setelah Pajak
420.000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar