Selasa, 18 Januari 2011

PENGALIHAN BPHTB MENJADI PAJAK DAERAH, ANTARA INTENSIF DAN POTENSIAL LOSS

PENGALIHAN BPHTB MENJADI PAJAK DAERAH,
ANTARA INTENSIF DAN POTENSIAL LOSS
oleh : Heru Purnama (0900070018)

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tentu tidak asing bagi masyarakat Indonesia karena merupakan pajak yang menyangkut kepemilikan tanah dan bangunan. BPTHB dapat didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Yang dimaksud perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Jadi objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, sedangkan subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
Selama ini pelaksanaan pemungutan BPHTB dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan penerimaan pajaknya diberikan kembali ke Pemerintah Daerah melalui pola bagi hasil. Jika mau berkiblat pada teori pajak properti internasional, property tax sebenarnya cenderung lebih bersifat lokal. Fisibilitas dan immobilitasnya menjadi salah satu alasan penting mengapa BPHTB lebih cenderung menjadi pajak daerah. Apalagi jika dikaitkan dengan unsur pelayanan masyarakat, dimana akuntabilitas dan transparansi menjadi isu yang paling disoroti di era otonomi daerah. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa beban pajak properti sering dikaitkan langsung dengan pelayanan masyarakat yang diberikan oleh pemerintah daerah, misalnya dalam menyediakan/memelihara sarana-prasarana, sehingga secara logika wajar bila pajak properti dikelola langsung oleh pemerintah daerah.
Pada tahun 2009 ada perubahan yang signifikan berkaitan dengan aturan pemungutan BPHTB. Wewenang pemungutan atau devolusi BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota telah diamanatkan melalui Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dengan pengalihan ini diharapkan BPHTB akan menjadi salah satu sumber PAD yang cukup potensial bagi daerah tertentu, dibandingkan dari keseluruhan penerimaan pajak-pajak daerah selama ini ada. Namun dalam Pasal 180 angka 6 UU PDRD disebutkan bahwa UU UU No. 20 tahun 2000 tentang BPHTB tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini. Maka tahun 2010 menjadi masa tenggang terakhir bagi Pemerintah Pusat untuk mengelola BPHTB dan mulai 1 Januari tahun 2011 BPHTB akan resmi sepenuhnya menjadi pajak daerah (local tax).

Siapkah Pemerintah Daerah Memungut BPHTB ?
Yang dimaksud dengan pengalihan wewenang pemungutan sebenarnya adalah merupakan pengalihan seluruh rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terhutang, pelaksanaan kegiatan penagihan pajak terhadap Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut UU PDRD adalah money follows functions, yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan tentunya masih dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada daerah. Jika dilihat secara seksama inti dari Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 adalah antara lain:
1.Pengenaan pajak yang close list, artinya Pemda tidak diperkenankan memungut jenis pajak lain selain yang disebutkan dalam UU tersebut,
2.Perubahan pola pengawasan yang semula bersifat represif menjadi ke arah preventif dan korektif,
3.Terdapat sanksi bagi daerah apabila melanggar,
4.Mulai memperkenalkan adanya earmarking system, artinya pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis pajak dan retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan pelayanan yang bersangkutan,
5.Terdapat pengalihan hak pemungutan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Pelaksanaan Pemungutan BPHTB oleh Pemerintah Daerah mulai 1 Januari 2011 sangat tergantung dari kesiapan dan minat Kabupaten/Kota. Sampai saat ini beberapa Pemerintah Daerah belum siap menjalankan fungsi pemungut BPHTB. Ketidaksiapan tersebut dilatarbelakangi beberapa hal. Pertama, berkaitan dengan investasi untuk biaya pemungutan BPHTB. Jika dihitung jumlah penerimaan BPHTB per Kabupaten/Kota yang nilai ketetapannya diatas 2 miliar rupiah berjumlah 189 (38,4%) sisanya sejumlah 303 Kabupaten/Kota penerimaan BPHTB nya dibawah 1 miliar rupiah. Artinya dengan asumsi biaya investasi PBB-P2 dan BPHTB sebesar 1-1,5 miliar rupiah dan biaya operasional sekitar 1 miliar rupiah per tahun. Artinya, secara hitungan kasar besar potensi penerimaan dari BPHTB masih sangat kecil bagi Pemerintah Daerah jika dibandingkan dengan effort dan modal yang harus dibayar oleh Pemerintah Daerah. Namun demikian perhitungan biaya pungut BPHTB sampai saat ini masih terlihat begitu tambun karena belum bisa dipisahkan dari biaya pungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perdesan dan Perkotaan. Pada tahun 2014 nanti saat pemungutan PBB sektor Perdesan dan Perkotaan juga sudah wajib dialihkan ke Pemerintah Daerah, seharusnya perhitungan pendapatannya akan lebih menggiurkan bagi Pemerintah Daerah. Kedua, dalam menjalankan fungsi sebagai pemungut BPHTB, Pemerintah Daerah memerlukan dasar hukum pemungutannya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Dengan belum adanya Perda maka Pemerintah Daerah tidak boleh memungut BPHTB. Dan sampai saat ini mayoritas Pemerintah Daerah belum menerbitkan Perda pemungutan BPHTB. Ketiga, kemampuan aparat daerah terutama dalam penentuan basis pajak dan pelayanan masyarakatnya kebanyakan masih rendah. Di sisi lain, kemauan politik daerah untuk mengenakan tarif yang memadai dan/atau menerapkan sanksi bisa jadi lemah karena bersingungan langsung dengan kepentingan politik penguasa di daerah. Dan yang keempat adalah berkaitan dengan terbatasnya pengalaman daerah dalam pengembangan sistem informasi dan pengembangan infrastruktur penunjang. Akumulasi permasalahan di masa transisi pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah ini bisa jadi merupakan penyebab sebagian daerah masih lebih suka kalau pajak ini tetap menjadi pajak pusat sementara daerah cukup menunggu bagiannya saja.

Antara Intensif Dan Potensial Loss
Antara berkah dan musibah, mungkin ungkapan ini cocok untuk menggambarkan posisi BPHTB di awal tahun kelinci ini (2011). Di sebagian besar daerah, BPHTB bisa dibilang “GRATIS”. Kenapa bisa gratis ? Permasalahannya adalah karena sebagian daerah belum menerbitkan Perda yang mengatur tentang pemungutan BPHTB. Menurut hasil survey kesiapan daerah yang dilakukan oleh Kemenkeu per tanggal 23 Desember 2010 dari 492 daerah yang akan memungut BPHTB, terdapat sekitar 160 daerah yang sudah siap memungut pajak itu (indikator kesiapan adalah Perda sudah siap). Sisanya sebanyak 108 daerah sedang dalam proses penyiapan Perda dan 224 daerah masih belum ada informasi. Dengan belum siapnya sebagian Pemerintah Daerah menerbitkan Perda BPHTB, seolah-olah hal tersebut menjadi insentif sekaligus daya tarik bagi masyarakat untuk mengembangkan bisnis properti maupun mengembangkan propertinya. Dengan belum adanya Perda maka Pemerintah Daerah tidak boleh memungut BPHTB, tapi hal tersebut tidak menggugurkan kewajiban Pemerintah Daerah untuk melakukan pelayanan berkaitan pengalihan hak atas tanah dan bangunan. Selain itu Perda yang nanti dibuat tidak dapat berlaku surut sehingga pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dilaksanakan sebelum terbitnya Perda tidak dapat dikenakan BPHTB.
Menurut kacamata pemerintah selaku pengelola kas Negara, ‘bolong’-nya penerimaan BPHTB disebagian daerah merupakan potensial loss yang sedikit banyak dapat menganggu kondisi kas Negara. Kondisi ini merupakan pekerjaan rumah bagi Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat khususnya Kementerian Keuangan. Jika kondisi ini terus berlanjut, bisa jadi selain berakibat kehilangan sumber pendapatan, pemerintah juga harus menghadapi masalah penurunan kesadaran masyarakat dalam membayar BPHTB saat Perda sudah diterbitkan. Bisa saja karena sudah lama tidak ada pemungutan BPHTB, masyarakat menganggap sudah tidak ada lagi pengenaan pajak atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan. Oleh karena itu, sedari dini seharusnya Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi mengenai UU PDRD yang baru agar masyarakat menyadari bahwa kedepannya akan terjadi keberagaman sistem dan pola pemungutan BPHTB di 492 Kabupaten/Kota, dimana disetiap Pemerintah Daerah diberikan kebebasan untuk mengelola sesuai dengan kemampuannya.
Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 yang memberikan diskresi tarif dan perluasan basis pajak, maka diharapkan kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya akan jauh meningkat. Daerah juga akan lebih mudah dalam menyesuaikan jumlah dan sumber pendapatannya. Jika kita lihat dari sisi penerimaan BPHTB, sebenarnya Pemerintah Pusat hanya akan kehilangan penerimaan sekitar 7,4 triliun rupiah (1%) saja dari total penerimaan pajak di APBN. Namun dari sisi Pemerintah Daerah khususnya bagi daerah yang penerimaan BPHTB-nya kecil, maka dengan devolusi ini akan berdampak negatif terhadap PAD-nya. Karena selama ini seluruh Pemda Kabupaten/Kota akan menerima bagi rata sekitar 2 miliar rupiah per tahun. Nah mulai tahun 2011 penerimaan pajak dari bagi rata ini tidak akan diperoleh lagi. Menurut data realisasi penerimaan BPHTB tahun 2009, diperkirakan kemungkinan hanya 89 Kabupaten/Kota (18%) saja yang penerimaan BPHTB-nya akan lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya, sisanya akan mengalami penurunan penerimaan. Tetapi dari sisi pelayanan, dengan jauh berkurangnya Wajib Pajak yang dilayani oleh Pemerintah Pusat, maka diharapkan pelayanan perpajakan akan jauh lebih baik. Pelayanan yang baik akan meningkatkan kepatuhan perpajakan, yang pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pajak. Dilimpahkannya pengelolaan BPHTB kepada Kabupaten/Kota, bukanlah sekadar untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam memenuhi kebutuhan pengeluarannya, tetapi juga dalam rangka mengefektifkan pengelolaan administrasi dan pelayanannya. Pemerintah Kabupaten/Kota tentu akan lebih memahami seluk beluk daerahnya serta mengetahui pula apa yang terbaik bagi daerahnya. Dari sisi pelayanan kepada Wajib Pajak, pengelolaan BPHTB diharapkan akan menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar