Rabu, 19 Januari 2011

Kontroversi Pengenaan Pajak Warteg di Lingkungan Pemprov DKI.

PELAKSANAAN otonomi daerah sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dititikberatkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota ditandai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan (urusan) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bersangkutan. Maka Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak daerah dan retribusi daerah, hasil usaha BUMD dan pendapatan asli daerah lainnya
UU No 32 Ta hun 2004 juga memberi kewe nangan yang sangat luas ke pada pemerintahan daerah. Kewenangan ini juga terma suk dalam soal keuangan. Ke wenangan dalam urusan keu angan daerah yang memberi kan hak untuk memberdaya kan segala potensi perekonomi an daerah yang ada menyebab kan pemerintah daerah berusa ha menggali sumber-sumber pe rekonomian daerah yang dapat dijadikan pendapatan daerah. Salah satunya adalah pendapa tan dari pajak daerah dimana mengenai pajak daerah ini dite tapkan berdasarkan peraturan daerah masing-masing daerah dengan mengingat dan meman dang kemampuan daerah da lam penarikan pajak untuk pe nerimaan daerah.
Seperti yang kita dengar beberapa pekan lalu, pemprov DKI berencana mengenakan pajak restoran sebesar 10 persen kepada usaha warteg (warung tegal) yang beromzet Rp 60 juta per tahun atau sekitar Rp 165.000 per hari. Hal ini dikemukakan ke publik tak lain untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pemprov DKI Jakarta. Memang sejatinya tindakan pemprov DKI dibenarkan menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dalam pasal 37 – 41 bagian kedelapan tentang Pajak Restoran. Tentang Pajak Restoran sendiri, pemprov DKI telah menjelaskan secara terperinci Perda No 08 Tahun 2003 tentang Pajak Restoran dengan tarif 10%.
Namun penggalian potensi pajak restoran dalam hal ini adalah warteg ternyata menuai kontroversi di berbagai lapisan masyarakat menengah ke bawah, pasalnya antara lain karena :
1.Tidak adanya sosialisasi mengenai bentuk dan jabaran substansi UU No 28 Tahun 2009, dengan kata lain pemprov DKI Jakarta tidak melakukan public Hearing kepada masyarakat terutama kepada pengusaha warteg, sehingga banyak mendapat pertentangan dari masyarakat.
2.Sebagian konsumen warteg adalah golongan kelas menengah ke bawah yang dengan dikenakannya pajak warteg akan membebani masyarakat.
3.mengenai sistem teknis pengenaan pajak warteg tidak mungkin dilakukan pemungutan kepada masyarakat mengingat tidak adanya mekanisme pembukuan yang tertib dan akuntabel pada pengusaha warteg dan diindikasikan rawan terhadap korupsi.
Dengan demikian penetapan pajak atas warteg ini perlu dikaji ulang, walaupun telah dinyatakan dan ditegaskan dalam UU No.28 tahun 2009 bahwa pajak merupakan penerimaan daerah dalam kategori pendapatan asli daerah, namun tetap harus mempertimbangkan kemampuan membayar pajak dari masyarakat, apalagi pengenaan pajak warteg ini melibatkan masyarakat secara keseluruhan. Secara yuridis kebijakan mengenakan pajak tidak dapat disalahkan karena sudah sesuai dengan amanat undang – undang akan tetapi kebijakan ini juga harus mempetimbangkan kepentingan masyarakat luas yang mempunyai tingkat perekonomian yang berbeda – beda.

Referensi :
http://www.detiknews.com/read/2010/12/06/043303/1509510/10/3-alasan-pajak-warteg-tak-bisa-diterapkan
http://bataviase.co.id/node/490871

Tidak ada komentar:

Posting Komentar