Selasa, 18 Januari 2011

Peran PBB dan BPHTB Dalam PAD

Peran PBB dan BPHTB Dalam PAD

I. Pendahuluan
Penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah baik Pusat maupun Daerah tentulah membutuhkan pembiayaan. Salah satu sumber dana bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di Daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Untuk memenuhi sumber dana bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan tersebut Pemerintah Daerah akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan realisasi penerimaannya. Melalui peningkatan penerimaan tersebut diharapkan juga dapat ditingkatkan pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah.
Sebelum melanjutkan pembahasan ini dapat kami jelaskan terlebih dahulu, bahwa materi bahasan yang diminta oleh penyelenggara kepada kami adalah :
Implementasi Pungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah setempat sesuai dengan UU 22,34 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah serta Perda 26 Tahun 2000 tentang Tata Niaga Kayu di Indonesia.
Namun setelah kami mempelajari peraturan perundang-undangan yang berhubungan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah maka untuk meluruskan kembali pengertian PAD yang dihubungkan dengan materi bahasan yang diajukan penyelenggara maka judulnya menjadi seperti di atas.
II PENDAPATAN ASLI DAERAH
Pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menurut pengamatan kami telah menimbulkan kecemasan dari kalangan dunia usaha terhadap kemungkinan pengenaan berbagai pajak, retribusi atau pungutan lainnya oleh Pemerintah Daerah terhadap dunia usaha untuk memacu peningkatan PAD. Namun menurut hemat kami hal tersebut sangat tidak beralasan, karena penetapan pajak dan retribusi daerah serta pungutan lainnya harus diatur dengan Peraturan Daerah yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan secara nasional. Upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan PAD tentu saja dilakukan sepanjang koridor regulasi yang ada, karena penetapan suatu kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah bukan lagi monopoli Pemerintah Daerah tetapi juga diawasi oleh legislatif dan masyarakat.
Baik Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah maupun penggantinya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, mengatur tentang Pendapatan asli Daerah (PAD) tersebut. Dalam UU 5/1974 dinyatakan bahwa PAD terdiri dari; 1) hasil pajak Daerah, 2) hasil retribusi Daerah, 3) hasil Perusahaan Daerah, 4) lain-lain usaha Daerah yang sah.
Kemudian dengan lahirnya kebijakan Otonomi Daerah dengan desentralisasi otoritas dan desentralisasi fiskal yang diatur dengan UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dijelaskan bahwa sumber pendapatan Daerah terdiri dari :

Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu:
Hasil pajak Daerah.
Hasil retribusi Daerah
Hasil perusahaan milik Daerah, dan hasil penge-lolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah.
Dana Perimbangan, yaitu: Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam.
Dana Alokasi Umum (DAU).
Dana Alokasi Khusus (DAK).
Pinjaman Daerah.
Lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
Jadi dari ketentuan di atas jelas bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak dan retribusi Daerah serta hasil usaha Daerah sendiri. Sedangkan jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.
Pajak Daerah Kabupaten/Kota menurut UU 34/2000 terdiri dari:
Pajak Hotel.
Pajak Restoran.
Pajak Hiburan.
Pajak Reklame.
Pajak Penerangan Jalan.
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
Pajak Parkir.
Selain jenis Pajak Daerah di atas dapat ditetapkan Pajak Daerah lainnya dengan Peraturan Daerah dengan memenuhi kriteria tertentu, antara lain; bersifat pajak dan bukan retribusi, objek pajak berada dalam wilayah Kabupaten/Kota serta dasar pengenaan tidak bertentangan dengan kepentingan umum, bukan merupakan objek Pajak Propinsi atau Pajak Pusat, tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, memperhatikan aspek keadilan, dan menjaga kelestarian lingkungan.
Sedangkan Retribusi daerah dibagi atas 3 (tiga) golongan yaitu; Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Jenis-jenis ketiga golongan retribusi tersebut ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan kriteria tertentu. Selain jenis Retribusi Daerah yang ditetapakn dengan Peraturan Pemerintah tersebut juga dapat ditetapkan Retribusi daerah lainnya dengan Peraturan Daerah sesuai dengan kewenangan Otonomi Daerah dan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan.
III KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah salah satu sumber pendapatan Daerah, tetapi bukan termasuk sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kedua pajak tersebut merupakan pajak Pusat, sedangkan Daerah hanya menerima bagian dari kedua pajak tersebut sebagai dana perimbangan. Hal ini dijelaskan oleh Pasal 80 ayat (1) huruf a UU 22/1999 dan Pasal 6 ayat (1) sampai (4) UU 25/1999.
Dengan demikian penetapan objek pajak, dasar pengenaan pajak, tarif pajak dan teknis pemungutan diatur dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan Pemerintah Daerah tidak terlibat secara langsung dalam hal tersebut. Keterlibatan Pemerintah Daerah hanya dalam membantu mengintensifkan pemungutan PBB dengan melibatkan perangkat daerah.
Bagian yang diterima Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai dana perimbangan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000, diatur pembagian hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan perimbangan 10% untuk Pemerintah Pusat dan 90% untuk Daerah. Dari jumlah 90% yang merupakan bagian Daerah tersebut diperinci sebagai berikut; 16,2% untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan, 64,8% untuk Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan, dan 9% untuk Biaya Pemungutan. Sedangkan hasil penerimaan PBB bagian Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh Daerah Kabupaten/Kota dengan alokasi; 65% dibagi merata kepada seluruh Daerah Kabupaten/Kota, dan 35% dibagikan sebagai insentif kepada Daerah Kabupaten/Kota yang pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan.
Sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 519/KMK.04/2000 ditetapkan pembagian hasil penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan perimbangan; 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Daerah. Dari jumlah 80% bagian Daerah tersebut diperinci sebagai berikut; 16% untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan, dan 64% untuk Daerah Kabupaten penghasil.
Jadi dapat disimpulkan disini bahwa dalam hal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, keberadaan Daerah Kabupaten/Kota hanyalah sebagai Daerah yang menjadi penghasil pajak dan hanya berhak menerima bagian dari dana perimbangan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Berbeda halnya dengan pajak dan retribusi Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, Daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola dan mengaturnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar