Selasa, 18 Januari 2011

BAYAR BPHTB DAN PPH FINAL UNTUK RUMAH KITA

Ruswanto

BAYAR BPHTB DAN PPH FINAL UNTUK RUMAH KITA

(BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang selanjutnya disebut pajak, yang menjadi subjek pajak adalah yang peroleh hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Sedangkan PPh Final yang dimaksud adalah pajak yang harus dibayarkan oleh yang melepaskan haknya atas tanah dan bangunan dalam hal ini yang menjadi dasar pengenaan pajaknya adalah penghasilannya. Dalam hal kita melakukan transaksi jual beli rumah maka yg membayar BPHTB adalah si pembeli sedangkan PPh dibayarkan oleh si penjual atas penghasilan dari transaksi jual beli tersebut.
BPHTB sendiri dikenakan bukan hanya untuk jual beli tetapi juga dikenakan untuk transaksi seperti , tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah, pemberian hak baru. Semuanya dikenakan PPh final kecuali kalau memenuhi persyaratan yang dapat dibebaskan PPh seperti yang diatur dalam Peraturan Dirjen No.30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemberian Pengecualian Pembayaran Kewajiban atau Pemungutan PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Tarif BPHTB sendiri menurut UU No. 20/2000 tentang BPHTB, tarifnya 5 persen dari NPOP (Nilai Perolehan Objek Pajak) setelah dikurangi NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) . Jadi rumusannya 5% x (NPOP-NPOPTKP regional). Disebut NPOPTKP regional karena besarnya NPOPTKP di tiap daerah berbeda. Ditetapkan secara regional paling banyak 60 juta. Lain daerah beda besaran. Tergantung harga tanah setempat. Untuk wilayah DKI Jakarta sendiri ditetapkan sebesar 60 juta. Serta 300 juta dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah termasuk istri/ suami. Sedangkan untuk PPh Finalnya dikenakan tarif 5 persen dari NPOP sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 243/PMK.03/2008 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 tentang pelaksanaan pembayaran pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang sesuai Pasal 2 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.Dalam hal transaksi jual beli NPOP sendiri diambil dari perbandingan terbesar antara harga transaksi dan NJOP PBBnya.
Berikut ini adalah contoh-contoh kasus yang dikecualikan dari kewajiban BPHTB, antara lain; Pertama, orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama. Misalnya orang yang mendapat tanah/rumah warisan atas nama orang tuanya, dan belum ada penggantian nama. Barulah saat ganti nama dikenakan BPHTB. Ini juga termasuk warisan antar suami, istri dan anggota keluarga. Kedua, orang pribadi atau badan karena wakaf (barang yang diberikan untuk kepentingan umum). Ketiga, orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan agama. Keempat, perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. Kelima, negara untuk penyelenggaraan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum. Terakhir, badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi.
Menurut SK Menkeu No.87/2002 dan SK Dirjen Pajak tahun 2002, wajib pajak (WP) yang boleh mendapat pengurangan pajak terutang dalam hal ini BPHTB, dibagi dalam 3 kondisi. Pertama, kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan Obyek Pajak. Ada beberapa kondisi. (a)WP tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan, mendapat pengurangan 75 persen. (b) WP pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah, 50 persen. Kedua, kondisi WP yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, contoh, (a) WP yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah NJOP, 50 persen. (b) WP yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus, 50 persen, (c) WP yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah, 75 persen. (d) WP yang punya hak baru setelah 20 tahun mengontrak, 25 persen. (e) Tanah yang tidak berfungsi lagi karena bencana alam, 50 persen, (f) WP pribadi veteran, pensiun TNI, PNS, Purnawirawan, janda/dudanya, dapat hak rumah dinas, 75 persen (g) WP badan merger, 50 persen, (h) Tanah ex Bank mandiri 100 persen. Ketiga, tanah atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan, contohnya: Tanah dan atau bangunan yang digunakan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta institusi pelayanan sosial kemasyarakatan. Potongan 50 persen. Sedangkan untuk PPh belum ada aturan yang menjelaskan, dengan kata lain tidak dapat diajukan pengurangan.
Pembayaran BPHTB dan PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan pada prinsipnya menganut sistim self assessment. Artinya Wajib Pajak Wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran BPHTB (SSB) dan Surat Setoran Pajak (SSP). Setelah dibayar kemudian proses selanjutnya adalah pemvalidasian SSB dan SSP. Proses validasi ini dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak untuk meneliti apakah sudah benar atau tidak pembayarannya.
Untuk BPHTB sendiri mulai tahun 2011 ini pengelolaannya telah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah, sehingga BPHTB menjadi salah satu pajak daerah, pengurusannya dilakukan di Unit Pelayanan Pajak Daerah. Secara garis besar aturannya masih sama namun pemerintah daerah lebih diberikan wewenang untuk menentukan NJOPTKP-nya. Sedangkan PPh Final masih merupakan pajak pusat dan pengurusannya dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak. Orang Beradab Pasti Bayar Pajak!!! Lunasi Pajak Awasi Penggunaannya!!! Hari Gini Ga Bayar Pajak Apa Kata Dunia!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar