Selasa, 18 Januari 2011

POKOK-POKOK PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Nama : Dwi Wuryanto
NPM : 0800070007
Kelas : A
Mata Kuliah : Tugas Artikel Brevet Pajak


POKOK-POKOK PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPN dan PPn BM)



Dasar pertimbangan perubahan Ketiga Undang-Undang PPN dan PPn BM adalah dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri. Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah telah mengalami tiga kali perubahan, yaitu:
1.Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
2.Undang-undang Nomor 11 tahun 1994 tanggal 9 November 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
3.Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 tanggal 2 Agustus 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1983
4.Undang-undang Nomor 42 tahun 2009 tanggal 15 Oktober 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1983

Pokok-pokok perubahan Undang-Undang PPN dan PPn BM antara lain:
1.Objek dan Non Objek Pajak
Dalam rangka menetralkan pembebanan PPN dan menambah daya saing kegiatan jasa yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Indonesia di Luar Daerah Pabean, maka atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud dalam RUU PPN dikenakan tarif 0% (nol persen).
Barang hasil pertanian yang diambil langsung dari sumbernya tetap sebagai BKP yang pengenaan PPN-nya akan menggunakan mekanisme pedoman pengkreditan Pajak Masukan (Deemed Pajak Masukan).
2.Bukan Objek
Untuk memberikan kepastian hukum, pengaturan jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, yang semula diatur dengan Peraturan Pemerintah dinaikkan ke batang tubuh UU PPN dan PPnBM.
Untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri energi dalam negeri, barang hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya termasuk batubara tetap sebagai barang yang tidak dikenakan PPN.
Dalam rangka pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan harga yang terjangkau, maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar dan buah-buahan segar ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN.
Untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap suatu objek yang sama, maka objek-objek tertentu yang sudah dikenakan pajak daerah dikecualikan dari pengenaan PPN, yaitu barang hasil pertambangan galian C, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran. rumah makan, warung dan sejenisnya, jasa perhotelan, jasa boga atau katering.
Untuk memberikan perlakuan yang sama, Jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun termasuk perbankan syariah ditetapkan sebagai bukan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dikenakan PPN.

3.Pengembalian (Retur) Jasa Kena Pajak (JKP)
Agar paralel dengan perlakuan pengembalian (retur) Barang Kena Pajak, dalam UU PPN diatur mengenai perlakuan PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan/dikembalikan sebagian atau seluruhnya.

4.Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Dengan tujuan untuk memberikan ruang kepada Pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi regulasinya, maka batas atas tarif PPnBM dinaikkan dari 75% (tujuh puluh lima persen) menjadi 200% (dua ratus persen). Tarif tertinggi sebesar 200% (dua ratus persen) akan diterapkan apabila benar-benar diperlukan.

5.Pengkreditan Pajak Masukan.
Dalam UU PPN diatur bahwa Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar atas pembelian barang modal. Namun demikian, apabila dalam kurun waktu tertentu pengusaha tersebut ternyata gagal berproduksi maka atas PPN yang telah dikreditkan dan telah dimintakan pengembaliannya wajib dibayar kembali. Pengaturan batasan jangka waktu untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang gagal berproduksi disepakati 3 (tiga) tahun sejak pengkreditan Pajak Masukan, dan berlaku untuk semua sektor usaha.

6.Restitusi PPN
Apabila dalam suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak maka atas kelebihan pajak tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara mekanisme PPN akan mengalami lebih bayar seperti eksportir dan penyalur/pemasok pemerintah, diperkenankan untuk restitusi di setiap Masa Pajak. Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas, memberikan pelayanan yang lebih baik dan mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya (self assessment), Wajib Pajak tertentu yang memiliki resiko rendah, dapat diberikan restitusi dengan pengembalian pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan dapat dilakukan kemudian bila diperlukan. Sanksi yang dikenakan lebih rendah dari Undang-Undang KUP yaitu 2% (dua persen) perbulan, kecuali terdapat indikasi tindak pidana perpajakan maka sanksi yang berlaku sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam UU KUP.

7.Deemed Pajak Masukan.
UU ini mengatur mengenai Deemed Pajak Masukan yaitu mekanisme penetapan besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bagi Wajib Pajak tertentu, baik berdasarkan omzet maupun kegiatan usaha (sektoral), yang bertujuan untuk memberikan kemudahan Wajib Pajak dalam menghitung kewajiban PPN-nya.

8.Pemusatan tempat PPN terutang.
Dalam rangka mengurangi beban administrasi Wajib Pajak, UU memberikan kemudahan prosedur penetapan pemusatan tempat terutang yaitu cukup dengan melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal pajak.

9.Saat pembuatan Faktur Pajak.
Dalam rangka meringankan beban administrasi Wajib Pajak maka saat pembuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan, atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran. Dengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.
Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN yang semula paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua puluh) setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP, diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Mengingat ketentuan ini tidak diatur dalam Undang-Undang KUP, maka ketentuan tersebut diatur dalam UU PPN.

10.Fasilitas Perpajakan.
Untuk memberikan kepastian hukum bagi pemberian fasilitas perpajakan maka diberikan penambahan fasilitas, antara lain untuk:
perwakilan negara asing/badan-badan internasional
impor dan penyerahan BKP/JKP dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai pinjaman/hibah/bantuan luar negeri
listrik dan air
kegiatan penanggulangan bencana alam nasional
menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, dimana perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
bahan baku kerajinan perak

11.Restitusi Turis Asing
Dalam UU PPN diatur mengenai pemberian pengembalian PPN dan PPn BM atas barang bawaan yang dibawa ke luar daerah pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri (Turis Asing), dengan syarat nilai PPN minimal sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu).

12.Tanggung Renteng.
Pengaturan mengenai tanggung renteng PPN yang pada waktu pembahasan UU KUP diputuskan dihapus karena merupakan pengaturan material, dimasukkan ke dalam UU PPN, mengingat ketentuan ini masih sangat diperlukan untuk melindungi pembeli maupun penjual.

13.Masa Berlaku UU PPN dan PPnBM.
Mengingat diperlukannya waktu untuk mempersiapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini, penyempurnaan sistem dan prosedur, serta pelaksanaan sosialisasi baik internal maupun eksternal maka UU PPN dan PPnBM ini diberlakukan mulai 1 April 2010.

Dampak jangka pendek dari pelaksanaan UU PPN dan PPn BM ini adalah dapat berpotensi menurunkan penerimaan pajak pada APBN 2010, namun perubahan ini diperlukan untuk menciptakan ekonomi yang lebih baik dan kompetitif dalam jangka menengah dan panjang. Sehingga diharapkan akan lebih memberikan keadilan dan kemudahan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajibannya, kesederhanaan administrasi perpajakan, kepastian hukum, konsistensi dan transparansi, meningkatkan daya saing, serta dapat meningkatkan investasi asing maupun dalam negeri di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar