Selasa, 25 Januari 2011

Pajak dan Zakat

Suwardi

Pajak dan zakat merupakan dua istilah yang berbeda dari segi sumber atau dasar pemungutannya, namun sama dalam hal sifatnya sebagai upaya mengambil atau memungut kekayaan dari masyarakat untuk kepentingan sosial, zakat untuk kepentingan yang diatur agama atau Allah SWT sedangkan pajak digunakan untuk kepentingan yang diatur negara melalui proses demokrasi yang sah. Istilah pajak lahir dari konsep negara sedangkan zakat lahir dari konsep islam. Perbedaan penerapan kedua pungutan ini menjadi problematik ketika dalam hal tertentu terdapat persamaan yaitu keduanya mempunyai kedudukan sama-sama wajib ditunaikan oleh masyarakat. Pajak dipaksa Hukum Negara, sedangkan Zakat dipaksa Hukum Tuhan dan bisa juga dikuatkan dengan Hukuman Negara jika dilegislasi (UU atau PERDA).
Lalu muncullah pertanyaan apa sebenarnya kedudukan pajak itu sama dengan kedudukan zakat? Dan apa perbedaanya???
Zakat memiliki arti dan hikmah sebagai berikut:
1.Zakat adalah ibadah menyangkut kekayaan yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi;
2.Zakat merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusiaan dan keadilan, pengikat batin antara golongan kaya dan miskin;
3.Zakat dapat memberantas penyakit iri hati, rasa benci, dan dengki dari diri orang-orang miskin di sekitar mereka yang mewah;
4.Zakat dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan islam yang berdiri atas prinsip-prinsip persatuan, persamaan derajat, ang tanggung jawab bersama.
Pajak adalah yang berhubungan dengan kewajiban warga Negara yang menjadi institusi publik yang dibentuk dan diberi wewenang untuk mengelola kepentingan Negara atau kepentingan publik. Pemungutan pajak harus mendapatkan persetujuan rakyat melalui Undang-undang yang harus disetujui parlemen atau DPR.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang boleh dikurangkan dari Penghasilan Bruto sesuai dengan pasal 1 ayat (1) berbunyi:
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a.Zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b.Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Sedangkan di pasal 2 menyebutkan bahwa “Apabila pengeluaran untuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib TIDAK dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat, atau lembaga keagamaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) maka pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.”
Oleh karena itu, apabila Wajib Pajak pemeluk agama Islam membayar zakat bukan kepada badan amil zakat atau lembaga zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah maka zakat yang dibayarkan tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Demikian juga berlaku bagi Wajib Pajak selain pemeluk agama Islam.
Hal ini juga sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak nomor SE-80/PJ/2010 tanggal 23 Juli 2010 tentang Perlakuan Zakat dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Di dalam SE-80/PJ/2010 disebutkan bahwa “Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat atas Penghasilan Kena Pajak, wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran zakat dari badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah sebagai penerima zakat pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut.
Contoh penghitungan PPh bagi karyawan yang membayar zakat
Abdul Kadir pada tahun 2010 bekerja pada perusahaan PT Khatulistiwa Abadi dengan memperoleh gaji setahun Rp 30.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 1.200.000,00 setahun. Abdul Kadir menikah tetapi belum mempunyai anak. PPh Pasal 21 terutang dipotong oleh PT Khatulistiwa Abadi (sesuai formulir 1721 A1) untuk tahun 2010 adalah sebagai berikut:
Penghasilan Bruto
Gaji 30.000.000
Pengurang
a.Biaya Jabatan 5 % x 30.000.000 1.500.000
b.Iuran Pensiun 1.200.000
Jumlah Pengurang 2.700.000
Pengahasilan Neto 27.300.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
a.Wajib Pajak sendiri 15.840.000
b.Status Kawin 1.320.000
Jumlah PTKP 17.160.000
Penghasilan Kena Pajak 10.140.000
PPh Pasal 21 terutang
5 % x 10.140.000 507.000
Pada tahun 2010, Abdul Kadir tidak memiliki penghasilan lain selain penghasilan diatas. Sebagai seorang muslim yang taat, Abdul Kadir membayar zakat profesi kepada BAZNAZ dengan jumlah Rp 750.000 (2,5% x 30.000.000)
Maka untuk penghitungan PPh terutang serta pajak yang kurang atau lebih bayar dalam SPT Tahunan Abdul Kadir tahun 2010 apabila pada tahun 2010 Abdul Kadir menghendaki zakat yang telah dibayarkan dapat dikurangkan adalah sebagai berikut:
Penghasilan Neto dari pekerjaan (sesuai form 1721 A1) 27.300.000
Zakat atas penghasilan (2,5% X 27.300.000) 682.500
Penghasilan Neto setelah zakat atas penghasilan 26.617.500
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
c.Wajib Pajak sendiri 15.840.000
d.Status Kawin 1.320.000
Jumlah PTKP 17.160.000
Penghasilan Kena Pajak 9.457.500
PPh Pasal 21 terutang
5 % x 9.457.500 472.850
Kredit Pajak: PPh Pasal 21 (sesuai form 1721 A1) 507.000
PPh Lebih Bayar (34.150)
Kelebihan bayar sebesar Rp 34.150,- bisa direstitusi oleh Abdul Kadir melalui mekanisme pengembalian pendahauluan berdasarkan Pasal 17D KUP tanpa perlu melalui proses pemeriksaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar