Rabu, 19 Januari 2011

Pajak Dan Zakat

Pajak dan zakat merupakan dua istilah yang berbeda dari segi sumber atau dasar
pemungutannya, namun sama dalam hal sifatnya sebagai upaya mengambil atau memungut
kekayaan dari masyarakat untuk kepentingan sosial, zakat untuk kepentingan yang diatur
agama atau Allah SWT sedangkan Pajak digunakan untuk kepentingan yang diatur Negara
melalui proses demokrasi yang sah. Istilah pajak lahir dari konsep negara sedangkan zakat
lahir dari konsep Islam. Perbedaan penerapan kedua pungutan ini menjadi problematik ketika
dalam hal tertentu terdapat persamaan, yaitu keduanya mempunyai kedudukan sama-sama
wajib ditunaikan oleh masyarakat. Pajak dipaksa hukum Negara, Zakat dipaksa hukum Tuhan
dan bisa juga dikuatkan dengan hukuman Negara jika dilegislasi (UU atau Perda).
Muncul pertanyaan Apakah kedudukan pajak itu sama dengan zakat? Atau apa perbedaan
keduanya? Atau bagaimanakah seorang warga negara muslim dalam menyikapinya kedua
pungutan ini. Tulisan ini mencoba melihat perbedaan keduanya.
Zakat memiliki banyak arti dan hikmah sebagaimana dijelaskan sbb Kesatu Zakat adalah
ibadah menyangkut kekayaan yang mempunyaifungsi sosial dan ekonomi.
Zakat merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusian dan keadilan,
pengikat bathin antara golongan kaya dengan yang miskin dan sebagai penimbun jurang kaya
miskin. Kedua Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki daridiri orang-orang miskin
di sekitar mereka yang mewah. Ketiga Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan
Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip persatuan, Persamaan Derajat, dan Tanggungjawab
bersama. fempat Dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, memurnikanjiwa
(menumbuhkan akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan
mengikis sifat bakhi/sta serakah.
Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan bathin karena terbebas dari tuntutan Allah SWT.
Sesuai ketentuan Islam, mereka yang berhak mendapatkan zakat hanya tujuh yaitu (1) Fakir,
(2) Miskin, (3) Orang kafir yang tertarik dengan Islam, (4) Mereka yang sedang dalam
perjalanan, (5) orang yang berjuang fisabilillah, (6) Mereka yang sedang dililit utang, (7) Amil
atau pengurus Zakat.
Pengeluaran untuk diluar kelompok ini sebaiknya tidak menggunakan zakat tetapi bisa
menggunakan sumberdana lain seperti infaq, shadaqah atau wakaf.
Pajak adalah menyangkut kewajiban warga negara terhadap negara yang menjadi institusi
publik yang diuentuk dan diberi wewenang untuk mengelola kepentingan negara atau
kepentingan publik. Pemungutan pajak harus mendapatkan persetujuan rakyat melalui UU yang
harus disetujui parlemen atau DPR. Setiap pungutan pajak yang tidak didasarkan UU maka
batal demi hukum dan rakyat tidak wajibmematuhinya.Tetapi untuk pajakyang ditetapkan UU
maka pemerintah atau negara memiliki hak paksa untuk menagihnya melalui apa rat negara
yang berwenang. Pajak khususnya di negara sekuler tidak didasarkan pada kewajiban kepada
Tuhan Penggunaan pajak tidak hanya terbatas kepada kepentingan golongan tertentu seperti
Zakat hanya untuk 7 kelompok yang mustahik sedangkan Pajak dapat digunakan untuk semua
1 / 2
Pajak Dan Zakat
kebutuhan dalam kartan dengan pengelolaan keuangan negara, termasuk yang tidak sesuai
dengan tuntunan agama asal mendapat persetujuan DPR.
Pajak dan Zakat
Tidak seperti pengeluaran berupa hibah, pemberian bantuan, sumbangan dan warisan, khusus
zakat atas penghasilan di Indonesia sesuai UU No. 36 tahun 2008 {BNNo. 7723hal. 15B-26B
dst) sudah boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak atau bisa dianggap sebagai biaya.
Tetapi harus ada syaratnya. Zakat atas penghasilan yang dapat dikurangkan (dianggap sebagai
biaya) tersebut harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama
Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemelukagama Islam kepada
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang secara resmi sudah diakui, diakreditasi
pemerintah dalam hal ini Departemen Agama. Dalam UU Nomor 36 Tahun 2008, Pasal 4 ayat
(3) huruf a dan huruf b dijelaskan bahwa zakat dapat dikurangkan dari penghasilan yaitu
"zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk
agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama
Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah".
Besarnya zakat yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak adalah sebesar 2,5%
(dua setengah persen) dari jumlah penghasilan. Pemotongan zakatnya adalah sebelum
penghasilan dihitung dengan tarif progressif. Atau dengan kata lain, zakat dikenakan pada
penghasilan bruto.
Apakah zakat bisa menjadi bukan sekedar diakui sebagai biaya tetapi menjadi bagian dari
pembayaran pajak masih merupakan tuntutan dari ummat Islam. Dengan keluarnya UU No 38
pengelolaan zakat tahun 1999 (BNNo. 6408 hal. 11B-143) dan UU Pajak Penghasilan ini maka
jalan menuju pengakuan itu semakin melebar. Menurut pengalaman di Malaysia, dengan
perlakuan zakat sebagai bagian dari setoran pajak ternyata jumlah penerimaan pajak
meningkat dan penerimaan zakat juga. Fakta ini merupakan bukti bahwa ketentuan agama
Islam itu adalah rahmatan lil alamiin, yang kadang tidak mengikuti rasionalitas manusia yang
terbatas. Menurut pemikiran rasional dengan diakuinya zakat sebagai pajak maka penerimaan
pajak akan semakin sedikit dan zakat semakin besar. Jika ini terjadi maka negara akan
bangkrut dan negara Islam akan lahir. Suatu hasil angan angan yang tidak memercayai
kebesaran dan kekayaan Tuhan atau ketakutan kepada Islam yang sesungguhnya damai itu.
(SH)
Sumber : Bussiness News
2 / 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar