Selasa, 14 April 2009

Haruskah Tax Holiday?

@ Yulius Eka Saputra @

Isu perlunya tax holiday bagi investor asing kembali menghangat. Keinginan ini disampaikan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIMPI). Alasannya untuk meningkatkan arus investasi ke Indonesia di tengah krisis global. Pendapat senada disampaikan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfie yang berjanji mengusahakan tax holiday (KONTAN, 1173/2009).

Sebegitu pentingkah tax holiday sebagai magnet yang utama untuk menarik investor ke Indonesia? Dengan kata lain, jika tidak ada tax holiday, investor tidak datang? Apakah berbagai kemudahan pajak, khususnya Pajak Penghasilan (PPh) yang ada pasca reformasi perpajakan (aa" reform) tidak ampuh? Atau, jangan-jangan justru karena investor sendiri yang kurang mendapat informasi utuh. Padahal sudah banyak fasilitas, insentif, keringanan atau apa pun namanya dalam perpajakan yang diberikan kepada investor.

Selain itu, sebenarnya masih banyak faktor penentu investasi lainnya. Kita bisa menunjuk infrastruktur, keamanan lokal, perizinan, tenaga kerja, berbagai pungutan oleh pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) dan lainnya. Justru faktor-faktor ini yang perlu dibenahi saat ini karena banyak dikeluhkan. Ini juga yang membuat iklim bisnis atau Doing Business 2009 Indonesia berada di ranking 129 dari 181 negara, berdasarkan riset International Finance Corporation (IFC) beberapa waktu lalu.

Dalam sejarahnya, rezim tax holiday memang pernah ada dalam perpajakan Indonesia, yakni tatkala dikeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967 jo UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Aturan ini mengatur berbagai kelonggaran perpajakan.

Bagaimana hasilnya? Ternyata, selama kurun waktu 15 tahun (1968-1983), jumlah investasi asing yang disetujui hanya sekitar 473 proyek atau rata-rata 28 proyek pertahun. Terkadang, realisasi proyek yang disetujui itu hanya 75%. Ini berarti hanya 355 proyek yang terealisasi atau 21 proyek per tahun. Tentu jumlah tersebut sangat jauh dari yang diharapkan.

Melalui UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984, ketentuan mengenai tax holiday tersebut dicabut. Kemudian, berlaku ketentuan umum perpajakan yang memberikan kebyak-.iii kemudahan atau fasilitas.

Namun, dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, muncul lagi mengatur tentang pembebasan pajak. Padahal, sesuai dengan prinsip kebijakan publik (public policy) yang baik, idealnya segala sesuatu hal yang mengatur mengenai perpajakan domain pengaturannya harus dalam UU perpajakan. Bukan dalam UU yang lain. Karena, kalau tidak, semua UU nanti akan bisa mengatur pajak sesuai kepentingannya Akibatnya, filosofi dan hakikat pajaknya menjadi hilang.

BISA LEBIH RINGAN

Bila kita cermati, sebenarnya perpajakan kita tidak kalah lagi dengan negara lain dalam hal kemudahan dan kemurahan (besarnya pajak). Ini bisa kita lihat dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Perubahan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) maupun UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Pajak Penghasilan (PPh).

Pertama, perilaku usaha (kecuali perdagangan dan jasa) menunjukkan bahwa hingga 3-5 tahun pertama cenderung masih merugi. Ini berarti selama itu perusahaan tidak membayar PPh badan. Bahkan, dengan kompensasi kerugian hingga 5 tahun, bisa jadi hingga maksimal 8-10 tahun perusahaan belum juga membayar pajak penghasilan.

Kedua, dengan tidak adanya PPh badan, PPh Pasal 25 yang merupakan angsuran pajak yang harus dibayar setiap bulan juga menjadi nihil.

Ketiga, bila perusahaan masih rugi, mereka bisa meminta pembebasan pajak atas objek pemotongan atau pemungutan PPh, misalnya PPh Pasal 22 impor, dan PPh pasal 23, ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempatnya terdaftar melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB).

Keempat, bertambahnya komponen biaya yang diperkenankan jadi pengurang penghasilan bruto, sehingga akan memperbesar lagi rugi perusahaan.

Kelima, penurunan tarif dari 30% menjadi tunggal 28% mulai tahun 2009. Bahkan mulai tahun 2010 turun lagi menjadi 25%

Selain itu, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan percepatan pembangunan, tersedia fasilitas pajak untuk bidang tertentu maupun daerah tertentu. Kebijakan perpajakan (tax policy) ini di antaranya tertuang di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2007 jo PP Nomor 62 Tahun 2008.

Ada beberapa bentuk fasilitasnya Pertama, pengurangan penghasilan netto 30% dari jumlah penanaman modal, yang dibebankan selama 6 tahun. Kedua, penyusutan atau amortisasi yang dipercepat Ketiga, PPh atas dividen yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri hanya 10% atau bahkan tarif lebih rendah yang ditetapkan dalam tar treaty. Keempat, kompensasi kerugian yang lebih lama dari yang umum 5 tahun hingga maksimum 10 tahun.

Ada lagi isentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Melalui PP Nomor 7 Tahun 2007, diberikan pembebasan PPN atas impor atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis. Di antaranya atas barang modal, yakni berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, namun tidak termasuk suku cadang. Dengan demikian, jelas bahwa sebenarnya banyak kemudahan, keringanan, dan kemurahan pajak untuk investor. Tidak harus ada tax holiday , karena pajak sudah memberikan lebih dari cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar