Krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 2008 telah membuat seluruh negara-negara di Dunia mengalami dampaknya, tidak terkecuali Indonesia. Meskipun pada tahun 2008 dampak tersebut belum terlalu terasa, namun diperkirakan krisis global akan mempengaruhi perekonomian di Indonesia pada tahun 2009, diantaranya dimulai dari semakin melemahnya nilai rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat, hal tersebut akan mempengaruhi perekonomian Indonesia secara umum. Menurut Menteri Keuangan, krisis finansial global yang terjadi membuat Indonesia tetap harus mencari dana global yang tersedia. Demi memecahkan krisis ini, harus ada langkah-langkah kontra siklus dengan beberapa cara. Langkah tersebut seperti meluncurkan paket stimulus di tingkat global.
Pada awal tahun 2009 Pemerintah Indonesia mengusulkan stimulus yang ditetapkan melalui Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) pada awal tahun 2009. Pemerintah menyusun pola kebijakan stimulus fiskal mengikuti kelaziman program-prgram serupa yang disusun negara lain, sehingga dapat dibandingkan satu sama lain. Perlu diketahui bahwa Stimulus Fiskal adalah kebijakan yang bersifat ad hoc, atau sementara, dan terefleksi dalam APBN baik menyangkut penerimaan maupun belanja kepada masyarakat dunia usaha. Berdasarkan usulan Pemerintah, total stimulus fiskal pada APBN 2009 dalam rangka antisipasi dan penanganan dampak krisis global akan mencapai jumlah Rp71,3 triliun atau sekitar 1,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah Stimulus Fiskal itu antara lain terdiri dari penghematan pembayaran pajak (tax saving) sebesar 43 Triliun Rupiah atau 0,8% dari salah satu paket yang diusulkan pemerintah kepada DPR pada rencana APBN. Berdasarkan kesimpulan Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR-RI, dengan Pemerintah pada tanggal 23 dan 24 Februari 2009, DPR menyetujui program stimulus fiskal APBN menjadi Rp73,3 triliun, atau ada penambahan sekitar Rp2 triliun yang ditambahkan dalam belanja infrastruktur.
Sesuai dengan kesimpulan Rapat tersebut, program stimulus fiskal antara lain diujudkan dalam program berupa fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah (DTP). Program tersebut dapat dimungkinkan sesuai dengan Pasal 25 ayat (6) huruf f Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yaitu:
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Dengan dasar tersebut di atas, diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu. Adapun pokok-pokok yang diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut adalah:
Batas Penghasilan Pekerja atau Karyawan yang berhak diberikan Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah, yaitu yang memiliki penghasilan di atas PTKP Tahun 2009 (sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan) dan tidak lebih dari Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah) dalam satu bulan.
Jenis atau Kategori usaha pemberi kerja yang karyawannya diberikan Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah yaitu:
Kategori usaha pertanian, termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan
Kategori usaha perikanan
Kategori usaha industri pengolahan
Rincian tersebut diatur di dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan
Fasilitas PPh 21 Ditanggung Pemerintah wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja.
Sesuai dengan tujuan utama pemberian fasilitas PPh 21 Ditanggung Pemerintah yaitu pemberian stimulus kepada masyarakat, maka tidak semua kategori usaha dapat diberikan. Dasar pemberian stimulus berupa fasilitas PPh 21 Ditanggung Pemerintah adalah kepada:
Sektor usaha yang cukup banyak menyerap tenaga kerja, sehingga dapat dirasakan oleh banyak karyawan yang sebagian besar adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2009 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 ditambahkan poin penting, yaitu pemberian fasilitas berupa PPh 21 DTP hanya diberikan sampai pada masa bulan Juni 2009, dan mulai masa bulan Juli 2009 hanya diberikan kepada pekerja/karyawan yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini untuk menutup kemungkinan para karyawan yang belum memiliki NPWP mendapatkan fasilitas PPh 21 DTP, mengingat pendaftaran diri untuk mendapatkan NPWP adalah kewajiban para karyawan yang telah memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Sektor usaha yang sebagian besar hasil produksinya berorientasi ekspor. Hal ini tentu saja akan men-stimulus kegiatan industri yang sebagian besar produknya akan diekspor;
Sektor usaha yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari dalam negeri, sehingga dapat men-stimulus kegiatan usaha di dalam negeri.
Untuk memudahkan pelaksanaan pemberian insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah kepada karyawan. Maka perusahaan diminta untuk melakukan pembayaran gaji dalam bentuk kotor (sebelum dipotong PPh 21), Secara mudah pemberian gaji dalam bentuk kotor dapat digambarkan sebagai berikut:
Bila gaji karyawan sebulan Rp5 juta dan dipungut pajak 15% atau Rp750.000, maka dengan adanya insentif PPh 21, upah pegawai yang harus disetor perusahaan menjadi Rp5,75 juta.
Sebaliknya, bila gaji dibayarkan dalam bentuk bersih, fasilitas PPh 21 Ditanggung Pemerintah tersebut akhirnya dinikmati oleh perusahaan atau pemberi kerja. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian PPh 21 Ditanggung Pemerintah diatur di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar