Pernah terpikir dibenak saya, kapankah bangsa ini bisa terlepas dari lilitan utang luar negeri, yang sampai sekarang jumlahnya sudah mencapai ribuan trilyun?. Tegakah kita merelakan cucu atau cicit kita harus menanggung beban utang yang tidak pernah mereka lakukan. Bukan berarti harapan untuk menjadi bangsa yang mandiri telah tertutup rapat, tetapi untuk meraihnya kita harus berjuang sekuat tenaga untuk membayar hutang sekaligus mencukupi kebutuhan negara. Harapan besar itu ada di PAJAK, baik Pajak sebagai policy atau Pajak sebagai sumber penerimaan negara.
Di Indonesia, Pajak sebagai sumber penerimaan negara mulai dirasakan gregetnya, pada era pemerintahan reformasi. Direktorat Jenderal Pajak mulai melakukan langkah konkrit dengan membentuk Kantor Pelayanan Wajib Pajak Khusus untuk mengurangi kebocoran peneraimaan pajak , dengan memperbaiki sitem perpajakan, penggalian potensi Wajib Pajak yang intensif, dan perbaikan penghasilan bagi pegawainya. Setelah beberapa tahun berjalan, dinilai program ini cukup berhasil, sehingga dibentuklah KPP modern dengan sistem yang sama dengan KPP WP Khusus diseluruh Indonesia. Hingga kini KPP diseluruh Indonesia telah dimodernisasi. Diharapakan kedepan penerimaan Pajak akan terus meningkat, sehingga kita tidak tergantung lagi terhadap utang luar negeri.
Perbaikan intern KPP modern bisa dilihat dari berubahnya susunan seksi yang berada didalamnya. Kini ada sepuluh seksi di KPP modern yang terdiri dari Pelayanan, PDI, Pemeriksaan (Ditambah dengan kelompok fungsional), Waskon I, Waskon II, Waskon III, Waskon IV, Subag Umum, Penagihan dan Eksteksifikasi Perpajakan. Dari kesembilan seksi tersebut, telah mencakup seluruh tugas pekerjaan pekerjaan yang dahulu dikerjakan oleh tiga kantor yaitu, KPP, KPPBB dan Rikpa. Kini bisa dikatakan pelayanan all taxes dapat dilayani dalam satu meja di KPP. Bagi Wajib Pajak hal ini bisa menyederhanakan prosedur administrasi dan birokrasi, efisiensi waktu dan tenaga, meminimalisasi (bisa dikatakan nol) biaya tak resmi dan kemudahan pengurusan pajak.
Struktur Organisasi KPP Pratama
Tugas KPP yang sekarang mulai disoroti sebagai ujung tombak KPP modern adalah tugas Penagihan. Dalam sambutannya saat Rapim Kepala KPP seluruh Indonesia beberapa bulan yang lalu, Dirjen Pajak – Darmin Nasution mengungkapkan bahwa ”Penagihan diharapkan menjadi ujung tombak KPP dalam menghimpun penerimaan Pajak”. Dengan kata lain, Penagihan selama ini kurang dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan pajak. Padahal potensinya sangat besar, karena potensi tersebut sudah berwujud namun belum dapat dicairkan. Potensi tersebut berupa Surat Tagihan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak. Didalamnya telah tercantum jelas, berapa jumlah yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Tugas penagihan hanya mencairkan tagihan tersebut dari Wajib Pajak ke Kas Negara, yang sampai saat ini mencapai ratusan trilyun rupiah. Bila atas utang pajak tersebut dibayarkan separuhnya saja, betapa besar tambahan penerimaan negara tiap tahunnya.
Dalam struktur organisasi KPP modern, tugas Penagihan dijalankan fungsinya oleh seksi Penagihan. Tugas penagihan berawal dari adanya ketetapan yang diterbitkan kepada wajib pajak dan belum dilunasi. Atas ketetapan tersebut Penagihan bertugas menagih kepada Wajib Pajak agar membayar seluruh utang pajaknya atas ketetapan tersebut. Prakteknya diilapangan, Penagihan dilakukan mulai dari himbauan kepada Wajib Pajak, berupa surat himbauan atau konsultasi agar Wajib pajak melunasi hutang pajaknya. Apabila sampai dengan 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran STP/SKP wajib Pajak belum melunasi utang pajaknya, dilakukan tindakan Teguran. Dalam tahap ini, Teguran masih masuk dalam penagihan pasif, karena Petugas Pajak hanya melakukan upaya administrasi tanpa melakukan tindakan penagihan, dengan mendatangi dan menagih langsung kepada Wajib Pajak. Bila sampai dengan 21 hari sejak diterbitkan Surat Teguran tersebut Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajaknya, maka penagihan aktif mulai dilakukan oleh petugas pajak, dengan cara menerbitkan Surat Paksa dan diberitahukan kepada Wajib Pajak. Petugas penagihan aktif dilakukan oleh petugas khusus yang telah dibekali pendidikan khusus pula, yang disebut dengan Juru Sita. Juru Sita mendatangi Wajib Pajak dan memberitahukan Surat Paksa. Dalam Prakteknya kendala utama Juru Sita adalah sulitnya menemukan alamat Wajib Wajak ”yang sebenarnya”, sehingga Surat Paksa kurang berpengaruh signifikan terhadap kesadaran Wajib Pajak untuk melunasi Utang Pajaknya. Sering kali Surat Paksa berakhir di meja Kepala Kelurahan dimana Wajib Pajak terdaftar. Karena bila alamat Wajib Pajak tidak ditemukan, Juru Sita harus membuat surat keterangan yang ditanda tangani pejabat kelurahan yang menyatakan Wajib Pajak tidak ada ditempat terdaftar. Bila sudah seperti ini maka tindakan penagihan aktif selanjutnya tidak dapat dilakukan. Berbeda apabila Wajib Pajak ditemukan, bila 2 x 24 jam sesudah pemberitahuan Surat Paksa Wajib Pajak belum juga melunasi Hutang Pajaknya, maka tindakan penagihan aktif selanjutnya adalah penerbitan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) terhadap aset Wajib Pajak. Bila sampai dengan 1 hari sejak terbit SPMP Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajaknya, maka dilakukan Penyitaan terhadap aset Wajib Pajak. Kendala utama dalam tahap ini adalah tidak sebandingnya aset yang dimiliki wajib pajak dengan jumlah utang pajak Wajib Pajak. Setelah dilakukan Penyitaan, 14 hari sejak tanggal Pelaksanaan Sita dilakukan Lelang terhadap aset Wajib Pajak. Secara garis besar Tindakan Penagihan dapat digambarkan sebagai berikut :
7 hari sejak jatuh tempo pembayaran
21 hari sejak diterbitkan Surat Teguran
1 hari sejar terbit SPMP
14 hari sejak tanggal pelaksanaan lelang
Sumber : SE Dirjen Pajak No SE-13/PJ.75/1998 tanggal 20-11-1998
Kondisi di lapangan sangat komplek bila dibandingkan dengan teori dan peraturan. Selain tindakan penagihan yang dipaparkan penulis diatas, masih terdapat tindakan penagihan yang dapat dilakukan kepada penunggak pajak, diantaranya adalah Pemblokiran rekening bank wajib pajak, penagihan seketika dan sekaligus, dan sandra badan (Gizeling). Pemblokiran lebih efektif dilakukan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki aset tetapi mempunyai cash flow yang besar. Kebanyakan Wajib Pajak seperti ini bergerak dalam bidang jasa. Kendala dilapangan adalah kerahasiaan bank yang tidak dapat ditembus oleh DJP. Penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila WP akan meningggalkan Indonesia, Akan membubarkan /dibubarkan negara perusahaannya atau memindahkan barang yang dimiliknya dan terjadi penyitaan barang milik WP yang dilakukan pihak ketiga, karena dalam hal ini DJP mempunyai hak mendahului. Gizeling dilakukan apabila WP akan meninggalkan Indonesia dengan niat menghindari kewajiban perpajakannya untuk selamanya.
Intinya, peran penagihan sebagai ujung tombak penerimaan pajak akan sangat efektif apabila law enforcment ditegakkan. Untuk mendukung upaya tersebut harus dibarengi dengan penciptaan SDM yang handal, Sarana dan prasarana yang memadai dan kesadaran WP itu sendiri. Sering kali ketika DJP mengalami masalah hukum dengan Wajib pajak, akan bermuara pada kalahnya DJP di pengadilan Pajak, karena banyak peraturan sumir antara peraturan diatasnya dan antara pajak dengan hukum perdata. Upaya Dirjen Pajak untuk memperbaiki sistem perundangan perpajakan di Indonesia harus kita apresiasi secara positif, karena perubahan tidak akan tercipta secara instan. Untuk itulah mari kita dukung upaya dirjen pajak, sehingga Direktorat Jenderal Pajak dapat menjadi tumpuan penerimaan negara, dan Penagihan sebagai ujung tombak penerimaan pajak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar