Kamis, 02 April 2009

Sumbangan: Haruskah Meminta Insentif Pajak?

Salah satu rahasia sukses terbesar adalah “memberi” karena dengan memberi berarti kita mempunyai “lebih”. Ketika memberi, kita mengekspresikan bahwa kita berkelimpahan. Ekspresi berkelimpahan ini terpancar ke alam semesta dan sesuai dengan Hukum Daya Tarik (Law of Attraction), kita akan menarik keberlimpahan juga, bahkan berlipat-lipat.

Di sisi lain, ada istilah ”menukar” yang berarti memberi sesuatu dengan mengharapkan imbalan. Misalnya kita mau menukar pulpen dengan pensil. Kita memberikan pulpen kepada orang lain dan seketika itu kita mengharapkan akan menerima pensil.

Menyumbang termasuk pengertian memberi, bukan menukar. Pengertian sumbangan sendiri adalah pemberian sesuatu dengan tulus ikhlas kepada pihak lain dengan tujuan untuk meringankan beban/penderitaan orang yang menerima. Misalnya ada suatu bencana di suatu daerah. Orang-orang yang tertimpa bencana tentunya membutuhkan pertolongan untuk meringankan beban mereka. Pemberian kepada mereka inilah dinamakan sumbangan.

Sumbangan yang diberikan tentunya harus didasari perasaan tulus ikhlas, tanpa mengharapkan imbalan, baik imbalan langsung dari pihak yang menerima, maupun imbalan secara tidak langsung dari pihak lain (ketiga). Imbalan yang diharapkan dari pihak ketiga ini bisa dari Pemerintah berupa insentif pajak, atau bisa juga dari Tuhan Yang Maha Kuasa, berupa anugerah yang berlimpah.

Jika kita memberikan sumbangan, tetapi kita masih mengharapkan imbalan, baik langsung maupun tidak langsung, maka sumbangan tersebut belum bisa kita kategorikan sebagai ”memberi”, melainkan baru dalam taraf ”menukar”.


Nah, bagaimana perlakuan perpajakan khususnya Pajak Penghasilan terhadap sumbangan ini? Mumpung mulai tahun 2009 nanti kita akan menggunakan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang baru, yang pada 2 September silam telah disetujui oleh wakil kita di DPR, ada baiknya kita juga ikut membahasnya.

Dalam ketentuan lama, segala bentuk sumbangan tidak boleh dibiayakan. Konsepnya waktu itu adalah menyumbang harus dilakukan dengan tulus ikhlas. Artinya, kalau kita sudah ikhlas memberikan sumbangan, kita tidak perlu lagi menghubung-hubungkannya dengan pajak. Kita tidak perlu lagi meminta kepada negara agar kita dapat keringanan pajak gara-gara kita telah menyumbang. Kalau mau menyumbang, menyumbanglah secara pribadi tanpa harus meminta negara untuk ikut membantu kita (dengan mengakuinya sebagai pengurang penghasilan kena pajak).

Sementara itu, dalam UU PPh yang baru, yang akan mulai berlaku 1 Januari 2009, beberapa bentuk sumbangan akan bisa dibiayakan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6, sumbangan yang dapat dibiayakan adalah: (a) sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional; (b) sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia; (c) sumbangan pembangunan infrastruktur sosial; (d) sumbangan fasilitas pendidikan; dan (e) sumbangan dalam rangka pembinaan olah raga.
Dalam Pasal 9 diatur juga bahwa zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, dapat dibiayakan.

Istilah ”dapat dibiayakan” di atas mengandung pengertian bahwa pihak penyumbang akan mendapatkan keringanan pajak sebesar 28% (untuk wajib pajak badan) atau 30% (untuk wajib pajak orang pribadi) dari jumlah yang mereka sumbangkan. Artinya, jika kita menyumbang dan termasuk kategori yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, maka negara akan turut serta dalam bentuk keringanan pajak yang diberikan kepada penyumbang. Misalnya, Anda seorang wajib pajak yang menyumbang Rp100.000.000,00 untuk korban bencana nasional. Pada akhir tahun pajak, pada saat mengisi SPT Tahunan, Anda akan mendapat keringanan pajak sebesar Rp30.000.000,00.

Sebenarnya tanpa diiming-imingi insentif seperti ini, antusiasme masyarakat untuk menyisihkan hartanya untuk disumbangkan kepada korban bencana tidak perlu diragukan lagi. Orang akan berbondong-bondong untuk menyumbang, baik lewat media massa (radio, TV, koran, atau majalah), maupun lewat lembaga-lembaga lain. Ataupun masyarakat akan ramai-ramai membantu secara langsung, misalnya dengan membuat dapur umum, dan sebagainya.

Demikian juga untuk sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluknya. Tanpa ada insentif pajak, mereka sudah dengan perasaan tulus ikhlas menyisihkan sebagian penghasilannya untuk disumbangkan. Mereka tidak lagi berhitung akan mendapatkan sesuatu setelah melakukan perbuatan yang memang diwajibkan ajaran agamanya.
Sejak tahun 2001, pembayaran zakat kepada lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, sudah bisa dibiayakan. Namun dalam praktiknya, wajib pajak jarang yang memanfaatkan fasilitas ini, terutama wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha. Di samping karena sudah dilakukan dengan ikhlas, jika pembayaran zakat tersebut dibiayakan, maka SPT Tahunannya akan menjadi lebih bayar. Sebagai konskuensinya aparat pajak akan melakukan pemeriksaan.

Mulai tahun 2009, di samping zakat, semua bentuk sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, dapat dibiayakan. Misalkan seorang umat Hindu yang telah membayar Dana Punia sebesar 2,5% dari penghasilannya kepada Badan Dharma Dana Nasional, maka orang tersebut akan mendapat keringanan pajak dari Pemerintah. Keringanan tersebut baru dapat dinikmati jika orang itu memperhitungkan dan melaporkannya dalam SPT Tahunan.

Kalau kita kembali pada pembahasan di awal, hal ini tentu menjadi sesuatu hal yang sangat menarik. Apakah atas sumbangan yang kita berikan, kita masih perlu meminta kompensasi dari negara dalam bentuk insentif pajak? Bukankah kita menyumbang dengan perasaan tulus ikhlas? Kalau kita masih mengharapkan sesuatu, bukankah itu sama maknanya dengan “menukar”?

Akankah kita bersedia menukar sumbangan yang kita berikan dengan hanya mendapatkan insentif pajak dari Pemerintah? Bukankah kalau kita “memberi”, kita akan mendapatkan keberlimpahan yang berlipat? Bukankah dengan sering dan banyak “memberi” (melalui sumbangan), pelanggan akan bertambah banyak, omzet akan menanjak, bisnis maju pesat, dan laba pun menjadi meningkat?

Nah, mulai tahun 2009 nanti, pada saat menghitung kewajiban perpajakan pada setiap akhir tahun, tentunya Anda akan dihadapkan pada pilihan : apakah atas sumbangan yang telah Anda keluarkan, Anda masih meminta kompensasi kepada negara ataukah diikhlaskan saja dengan tidak melaporkannya dalam SPT Tahunan? Anda sendiri yang memutuskannya.

Penulis: I Nyoman Widia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar