Kamis, 23 April 2009

PAJAK PENGHASILAN DALAM SEBUAH KEBIJAKSANAAN

Oleh : Rusfi Zulpika

Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang menurut peraturan perundang-undangan, tanpa mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Ada kebijaksanaan-kebijaksanaan penting yang terkait dengan sistem perpajakan Indonesia. Kebijaksanaan tersebut adalah jenis pajak yang akan dipungut, siapa yang menjadi subjek pajak, apa saja yang menjadi objek pajak, tarif Pajak Penghasilan dan prosedur pajak.

Jenis Pajak yang Akan Dipungut

Pada sistem Undang-Undang 1984, subjek pajak terbagi menjadi dua yaitu subjek pajak perseorangan atau orang pribadi dan subjek pajak badan. Dengan demikian pajak akan dipungut atas penghasilan orang pribadi dan penghasilan badan. Tetapi pajak apa yang dipungut tergantung dari sistem pengenaan pajak yang dianut setiap negara. Sistem pengenaan pajak ini nantinya bisa menimbulkan suatu pertentangan apakah badan layak untuk menjadi subjek pajak.

Indonesia sejak Undang-Undang Pajak 1984 menganut classical system dalam sistem pengenaan pajaknya, dimana orang pribadi dan perseroan yang dimiliki orang pribadi merupakan wajib pajak masing-masing yang terpisah satu sama lain, oleh karena itu akan timbul overtaxation. Overtaxation terletak pada pengenaan pajak atas penghasilan badan dan pengenaan pajak atas penghasilan deviden yang diterima oleh pemegang saham. Undang-Undang Pajak pada tahun 1994 tidak lagi menganut classical system, melainkan menganut the full-Integration System, dimana pajak sepenuhnya dikenakan pada orang pribadi pemilik perseroan tersebut. Pada sistem ini tidak akan terjadi overtaxation karena ada mekanisme kredit pajak.


Menurut full Integration system, badan sebenarnya tidak harus dikenakan pajak, karena menurut sistem badan tidak punya perasaan sejahtera atau tidak sejahtera (R Mansury 1996:40). Sedangkan menurut classical system, pajak harus dikenakan bukan hanya atas orang pribadi saja, melainkan juga atas badan meskipun yang membuat badan itu berpenghasilan adalah orang pribadi. Sistem ini pada dasarnya mendukung salah satu prinsip akuntansi yaitu entity principle atau prinsip kesatuan usaha. Yang pasti system perpajakan di Indonesia secara tegas mengatur bahwa badan merupakan salah satu subjek pajak. Ini berarti bahwa system perpajakan di Indonesia menganut classical system. Tetapi pada akhirnya classical system ini sendiri tidak dianut karena karena keberadaan Pasal 3 ayat 4 huruf f, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang mengatur bahwa deviden atau bagian laba yang diterima atau yang diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Mlik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat tertentu.

Yang menjadi Subjek Pajak

Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Subjek Pajak adalah :

a. 1) Orang Pribadi

    2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, yang menggantikan yang berhak.

b. Badan

c. Bentuk Usaha Tetap.

Pada ayat 2 subjek pajak dibagi menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Ayat 3 sendiri mengatur tentang syarat untuk dapat disebut sebagai subjek pajak dalam negeri adalah :

    a. Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia,

b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan d Indonesia,

    c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Ayat 4 mengatur tentang syarat subjek pajak luar negeri yaitu :

    a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,

    b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.

Sedangkan ayat 5 mengatur tentang Bentuk Usaha Tetap (BUT). Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap adalah Bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau kegiatan yang dapat berupa :

  1. Tempat kedudukan manajemen,
  2. Cabang Perusahaan,
  3. Kantor perwakilan,
  4. Gedung kantor,
  5. Pabrik,
  6. Bengkel,
  7. Pertambangan dan penggalian sumber daya alam,
  8. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan atau kehutanan,
  9. Proyek konstruksi, instalasi atau perakitan,
  10. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh orang lain atau pegawai,
  11. Orang atau badan bertindak selaku agen dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia.

Ada tiga jenis Bentuk Usaha Tetap yaitu :

  1. Attributable Income yaitu penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimliki atau dikuasai ( Penghasilan BUT sendiri )
  2. Force of Attraction Income yaitu penghasilan kantor pusatnya dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan oleh BUT di Indonesia.
  3. Effectively Connected Income yaitu pengahsilan berupa deviden, bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalty, sewa ( imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta ), imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, hadiah/ penghargaan, pensiunan/ pembayaran berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat ( Wajib Pajak Luar Negeri ) dari Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.

Yang merupakan Objek Pajak

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 mengatur bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Penghasilan yang menjadi objek pajak adalah :

  1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh,
  2. Hadiah dari undian atau kegiatan, dan penghargaan,
  3. Laba usaha,
  4. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta,
  5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya,
  6. Bunga termasuk termasuk premium, diskonto, imbalan karena jaminan pengembalian utang,
  7. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi,
  8. Royalty,
  9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
  10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala,
  11. Keuntungan karena pembebasan utang,
  12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing,
  13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva,
  14. Premi asuransi,
  15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas,
  16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

Sistem perpajakan di Indonesia menganut global taxation. Global Taxation adalah sistem pengenaan pajak atas penghasilan dengan cara menjumlahkan semua jenis tambahan kemampuan ekonomis dimanapun didapat, di Indonesia dan di luar negeri, lalu atas seluruh penghasilan tersebut diteapkan suatu struktur tarif progresif yang berlaku atas semua Wajib Pajak. Global taxation sistem pada dasarnya memenuhi konsep keadilan dalam perpajakan.

Selain Global Taxation Sistem, sistem perpajakan di Indonesia juga menganut global scheduler taxation dimana menurut sistem ini ada penghasilan – penghasilan tertentu dikenakan tarif sendiri-sendiri berdasarkan aturan yang berlaku. Tujuan dari Global Scheduler Taxation sebenarnya adalah untuk mempercepat masuknya penerimaan negara dan penyederhanaan administrasi perpajakan.

Tarif Pajak Penghasilan

Ada dua kelompok tarif Pajak Penghasilan, yaitu tarif umum dan tarif khusus. Ketentuan yang mengatur tarif umum adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Dimana terdapat perbedaan penggunaan tarif dalam menghitung Pajak Peghasilan terutang antara Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan.

Tarif Umum Pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi :

1. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sebagai berikut :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50 juta 5 %
Di atas Rp. 50 juta s.d Rp. 250 juta 15 %
Di atas Rp. 250 juta s.d Rp. 500 juta 25 %
Di atas Rp. 500 juta 30 %

2. Wajib Pajak Badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar